Monday, November 25, 2013

[Aku] Bertemu [Dia]


Aku bertemu seseorang. Dalam kisah hidupku yang panjang, dia hadir tanpa narasi. Membuatku bertanya akan tokoh yang baru muncul ini, yang seenaknya merubah kisahku.


Aku, kopi. Kamu, gula. Kita adalah secangkir kehangatan di kala mata sungkan terpejam.


Dia tak istimewa. Dia bukan pria yang bisa memukau gadis dengan mengajak makan di restoran mewah bernuansa romantis. Dia hanya mampu mengajak gadisnya pergi ke sebuah gerobak makan pinggir jalan, dan menghabiskan selembar uang biru terakhir di kantongnya untuk membeli 2 porsi makanan mengenyangkan, juga beberapa koin untuk para musisi jalanan yang melantunkan bait-bait lagu dari para band yang sering kutonton di televisi.

Dia pria biasa saja, yang tahu aku perajuk, cengeng, namun tetap mencintaiku dan bersabar atas segala sikap menjengkelkanku.

Dia yang menjadikanku rumah untuk hatinya, dan tujuan pulang ketika ia telah lelah berkelana seharian.

Dia yang membawakanku sekotak obat untuk mengobati hatiku dari luka masa lalu, tanpa pernah bertanya mengapa aku bisa terjatuh disana.

Dia yang rela mendorong motornya melewati banjir di tengah malam yang gelap, hanya untuk menemuiku dan memastikan aku menutup hari lelahku dengan senyum yang tak kupaksakan.

Dia yang selalu memelukku, berusaha membuatku tertawa, ataupun sekedar duduk diam di dekatku, menunggu amarahku mereda. Karena kekesalanku adalah kecemasannya.

Dia yang tak pernah lelah meyakinkanku bahwa aku adalah satu-satunya wajah yang berhasil terbingkai rapi dalam hatinya.

Dia yang rela merubah penampilannya menjadi berantakan, agar tak dilirik oleh gadis lainnya. Hanya untuk memastikanku bahwa ia hanya di peruntukkan untukku, bukan mereka.


Selingkuh itu mudah. Aku suka yg lebih menantang lagi. Contohnya setia.


Aku bertemu dia. Dia yang sangat biasa. Dia yang terkadang membuatku sangat kesal, namun mengakhiri kekesalan itu dengan tawa. Dia yang membuatku tak pernah lagi merasa sendiri, meski aku tengah tenggelam dalam kesendirian.

Aku bertemu dia..

Tuesday, October 1, 2013

Kamu dan Hari Lahir

Kamu.
Sosok yang lama tak tersentuh mataku.
Mungkin sedang bersembunyi.
dibalik senyum yang kau susun rapi di kotaku.

Di usiamu yang kian terbang tinggi.
Semoga diiringi sejuta mimpi.
Dan harapan.
Yang terjadwal untuk dinyatakan.

Semoga.
Kuselip berbagai doa baik di dalamnya.
Lekaslah menjadi seorang pharmacist.
Atau sesorang yang kau inginkan.

Selamat ulang tahun, kawan!


Ragil Puputan

Thursday, September 26, 2013

Cangkang Baru




Gue inget pertama kali gue melangkah jauh dari orang tua. Waktu itu, 23 Juni 2012, pukul 7 pagi di bandara Polonia Medan. Gue berlari sedikit tergesa-gesa menuju pintu utama. Pintu yang memisahkan orang-orang yang akan pergi, dan mereka yang tetap tinggal. Pintu yang menjadi saksi bisu, tercurahnya air mata dan haru biru para keluarga, kerabat dan teman dekat.

Pagi itu, gue beranjak meninggalkan wilayah yang sejak lama gue sebut rumah, mendatangi wilayah baru yang sama sekali asing bagi gue. Pagi itu membuat gue makin percaya, dekapan ternyaman adalah dekapan orang tua. Iya, nyaman banget.

Lucu ya, dimana perpisahan bertindak layaknya kaca pembesar, membuat segalanya terlihat sangat dramatis. Perpisahan ini membuat gue mengingat segala kejadian yang pernah gue lalui bareng keluarga. Entah itu saat kumpul-kumpul bareng di ruang tv, saat gue menyuruh adek untuk tidak memberitahu umi bahwa piringnya baru saja gue pecahkan, saat gue dengan ga sengaja memasak telur rebus hingga gosong karena ditinggal main, dan berakhir dengan omelan mahadahsyat umi, saat gue berkonspirasi dengan warga di rumah untuk membuat acara sederhana ketika salah seorang anggota keluarga berulang tahun, hingga saat gue membuat kedua orang tua gue menangis haru, ketika gue lulus smk dengan sebuah prestasi yang bisa gue banggakan di hadapan mereka.

Setelah puas memeluk dan menyalami tangan kedua orang tua gue, gue berbalik arah, menyusuri lorong bandara. Seiring gue menggeret sebuah koper gede dengaan langkah terburu-buru, air mata gue tumpah. Gue sadar, gue ga bakal melihat wajah-wajah itu untuk waktu yang lama.


****


JAKARTA. Kota buas tempat gue mengadu nasib. Berada di kota ini seperti seekor liliput yang sedang berdiri di hadapan raksasa berwajah andhika kangen band dengan segala gigi taringnya, yang siap menelan gue hidup-hidup. Gue disambut dengan kemacetan dan lalu lintas yang semraut. Gue menghabiskan waktu tiga jam dari bandara untuk tiba di rumah tinggal pertama gue di Jakarta, di rumah sodaranya temen gue, tepatnya di daerah Jakarta Timur. Dari sini, gue menelusuri jalan menuju kantor tempat gue akan bekerja di daerah Jakarta Pusat. Kesan pertama gue.. anjrit jauh banget!

Kemacetan di Jakarta itu udah mirip kayak kutilnya Sogi Indra Dhuaja, melekat dan susah dihilangkan. Gue harus berangkat pagi-pagi banget agar terhindar dari kemacetan. Dan gue baru tiba lagi di rumah ketika jarum jam menunjukkan pukul delapan malam. Gelap ketemu gelap. Seminggu pertama gue tinggal di Jakarta, badan gue resmi pegal-pegal.

Setelah sebulan berlalu dan gue udah gajian yang artinya gue udah punya uang, gue memutuskan untuk mencari tempat tinggal yang lebih dekat dengan kantor. Radio Dalam menjadi pilihan gue saat itu, dikarenakan rekan kerja gue juga ada yang tinggal di situ. Masalah jarak terselesaikan. Gue bisa menyambut pagi dengan ritual yang berbeda; menggedor-gedor pintu kamar mandi karena kesiangan. Namun masalah kemacetan masih tetap berada di rating nomor satu.

Setelah cukup lama tinggal di Radio Dalam dan masalah pribadi gue dengan macet masih belum terselesaikan, akhirnya gue mencari 'cangkang' baru lagi untuk di tinggali. Selama gue menghirup udara Jakarta, gue udah pindah tempat tinggal lima kali. Bagai siput yang gonta-ganti cangkang karena penyesuaian ukuran tubuh, gue pun demikian. Ada saat dimana gue udah mulai merasa ga nyaman di daerah itu, yang akhirnya mengharuskan gue untuk (kembali) pindah.

Segala urusan tentang pindah itu benar-benar merepotkan. Mulai dari mencari tempat tinggal baru, mengemas barang-barang, mengangkut barang-barang itu ke tempat yang baru, hingga akhirnya merapikan barang-barang itu kumbali. Namun yang gue suka dari perpindahan adalah saat-saat gue harus membongkar barang dan menyusunnya kedalam kotak-kotak kecil. Terkadang gue menemukan benda-benda yang gue pikir udah hilang. Dan di balik benda-benda hilang itu, seringnya gue menemukan kepingan kenangan yang terlupakan.

Gue percaya, dibalik sebuah peristiwa pasti selalu ada hikmah. Walau terkadang gue suka ga ngerti hikmah seperti apa yang dimaksud. Begitupun dengan perpindahan ini. Di suatu langkah ketika gue menelusuri lorong jembatan penyebrangan di shelter Semanggi menuju tempat tinggal baru di Jakarta Barat, gue tertegun. Ini adalah tempat dimana gue pertama kali berkenalan dengan Jakarta, dengan desak-desakan di bis, dengan lampu-lampu jalan yang temaram di sisi kota, dengan sinar malu-malu matahari ketika ia akan beranjak pergi maupun saat menjelang pagi. Ini adalah lorong dimana gue dulu pernah berpikir, bahwa gue harus bisa berteman baik dengan masalah-masalah gue itu, yang juga menjadi masalah sebagian besar orang yang tinggal di Jakarta. Ini juga tempat dimana gue memantapkan diri, bahwa suatu saat gue akan lebih baik dari keadaan gue saat ini. Dan kini, ketika gue kembali berada di sini, gue cuma bisa bilang, lorong ini akan menjadi teman gue melangkah untuk beberapa masa ke depan.

Wednesday, September 25, 2013

Tongue Twister - Copyright

Pengen ngerasain lidah keseleo? Coba baca artikel ini secara cepat.
When you write copy you have the right to copyright the copy you write. You can write good and copyright but copyright doesn’t mean copy good – it might not be right good copy, right?
Now, writers of religious services write rite, and thus have the right to copyright the rite they write. Conservatives write right copy, and have the right to copyright the right copy they write. A right wing cleric might write right rite, and have the right to copyright the right rite he has the right to write. His editor has the job of making the right rite copy right before the copyright would be right. Then it might be copy good copyright.
Should Thom Wright decide to write, then Wright might write right rite, which Wright has a right to copyright. Copying that rite would copy Wright’s right rite, and thus violate copyright, so Wright would have the legal right to right the wrong. Right?
Legals write writs which is a right or not write writs right but all writs, copied or not, are writs that are copyright. Judges make writers write writs right. Advertisers write copy which is copyright the copy writer’s company, not the right of the writer to copyright. But the copy written is copyrighted as written, right?
Wrongfully copying a right writ, a right rite or copy is not right.

Hahaha. Gimana? Seru kan? Ini aku temuin disalah satu blog rekomendasi Paman Gugel.

Apa Yang Kucari Disini?


Bukankah menyenangkan, bila setiap hari kita bisa merasakan masakan yang diracik sendiri oleh tangan bunda? Bukankah menyenangkan, bila setiap saat kita bisa mendengarkan omelan ayah karena kenakalan kita? Ya! Memang sangat menyenangkan, bisa bermanja dengan mereka.

Aku memang tak punya album biru seperti di sebuah lirik dari lantunan suara merdu Teh Melly Goeslaw. Aku hanya punya ingatan yang lebih kuat daripada sekedar album berdebu dan usang itu. Tak ada gambar diri. Hanya beberapa wajah yang kukenali dengan pasti. Wajah letih umi, wajah lusuh buya, wajah nakal para adik-adikku. Lebih dari sekedar bayangan, aku bahkan bisa mendengar tawa riang mereka dari kejauhan. Dari jarak yang tak dapat kupastikan. Dari sebuah waktu yang telah menjadi silam.

Aku terlalu jauh dari rumah.

Aku memisahkan diri? Tentu saja tidak. Sesuatu menerbangkan aku hingga aku menepi di kota ini. Kota yang dipenuhi gedung-gedung pencakar langit dan bintang-bintang yang bertaburan di tanah. Padahal aku selalu merindukan kicauan burung yang mengusik tidurku dikala weekend. Atau benda-benda langit yang selalu kunikmati di beranda rumah bersama para kurcaci kecilku, ditiap malam. Yah, lagi-lagi tentang silam.

Apa yang kucari disini?

Kota ini terlalu memukauku. Hingga aku lupa, untuk apa aku disini. Mungkin aku tersesat, dari sebuah mimpi yang dulu ingin kujadikan nyata. Entahlah, kini semua memburam. Aku tak lagi tahu, untuk apa sebenarnya aku disini. Senyum bunda tak dapat kulihat. Apakah ia bangga padaku, ataukah sebenarnya ia telah lupa, bahwa aku pernah ada di hari-harinya?

Tak ada prestasi apa-apa. Bahkan untuk hidupku sendiri. Sehari setelah aku disini, aku berdiri dengan menggenggam satu harapan. Begitu semangat untuk merentas hari dan mewujudkan harapan itu. Kini, setelah beratus-ratus hari, aku tetap orang yang sama. Menggenggam satu harapan. Sayangnya, kini aku kehilangan semangat.

Apa yang kucari disini? Dulu, aku ingin sekali membuat hidup keluargaku lebih berarti. Mencoba berteman dengan jarak dan merelakan kehilangan dekapan suasana rumah yang hangat. Melangkah jauh, ke kota yang sangat jauh. Sendirian. Kesepian. Menjadi seorang perantau. Menjadi MANDIRI.



Orang pandai dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Pergilah kau kan kau dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang

Aku melihat air yang diam menjadi rusak kerana diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih jika tidak kan keruh menggenang
Singa tak akan pernah memangsa jika tak tinggalkan sarang
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

Jika sahaja matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
 Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Rembulan jika terus-menerus purnama sepanjang zaman
Orang-orang tidak akan menunggu saat munculnya datang
Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Setelah diolah dan ditambang manusia ramai memperebutkan

Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan
Jika dibawa ke bandar berubah mahal jadi perhatian hartawan

- Sebuah kutipan lengkap yang dituturkan oleh Imam Asy-Syafi'i -


Aku memercayai nasib baik. Keberadaanku di tempat ini pasti sebuah langkah maju untuk menaiki ribuan tangga berundak, yang diujungnya terdapat hal yang sangat ingin kuraih.

Lalu, apa selanjutnya?

Tentu saja fokus untuk menaiki setiap undakan tangga itu. Memang akan banyak peluh bercucuran, hati yang bimbang di tengah jalan dan bahkan keinginan untuk kembali pulang, mengakhiri seluruh perjalanan dan bertemu garis awal. Tapi bukankah menyerah adalah tanda orang gagal? Dan aku tak mau jadi pengikut barisan itu. Yang kumau ada di atas sana, dan aku harus bisa mencapainya. Dengan apa? Entahlah. Yang kutahu, tak boleh ada kata putus asa di dalamnya.


"Seharusnya, semakin tua umur kita, kita tidak semakin ingin mandiri dari orang tua kita. Sebaiknya semakin bertambah umur kita, semakin kita dekat dengan  orangtua kita." - Raditya Dika


Tak apa, jauh dari orang tua. Tak apa, kehilangan bahagia. Toh setelah aku menemukan apa yang selama ini kucari, aku akan kembali pulang. Siapa yang mau selamanya sendirian?

Tuesday, September 24, 2013

Pengagum Rahasia


Diam-diam, aku jadi pengagummu. Kau tahu itu? Kurasa tidak. Aku terlalu nyaman untuk menikmatimu dalam diam. Dalam jarak yang bahkan aku sendiri tak dapat memperhitungkan.

Kau tahu, kita selalu bertemu. Kau tak menyadarinya, bukan? Aku selalu menatapmu lekat-lekat, dari sudut yang tak pernah dapat kausadari. Kukagumi kau dari balik jamahan pointer mouseku. Yah, kita hanya terhalang dunia luas yang kusebut maya. Sebuah anugrah bagimu, dari sekian banyak wajah, kuperintahkan bola mata ini hanya untuk menatapmu. Harusnya kau bangga akan prestasi itu.

Sesekali, temuilah aku. Walau hanya di dalam mimpiku, aku sangat senang. Bahkan hal itu sudah kutulis dalam list doaku pada Tuhan. Apalagi bisa berjabat dan bersenda gurau denganmu. Sampai disini, itu masih sebuah khayalan. Aku tak ingin meminta banyak pada Tuhan. Hanya satu pinta, kusemat lamat-lamat dalam doa. Tuhan itu baik. Jadi, siapkan dirimu. Kita akan bertemu di sebuah waktu. Kuharap aku tak terlalu gerogi dalam pertemuan pertama kita. Tentu saja, di mimpiku.

Menyapa Rasa


Hai cinta!
Kemana saja?
Aku hampir lupa bahwa kau pernah ada.
Kenalkan lagi aku pada bahagia.
Aku tak lagi bisa mengingat wajahnya.

Hai, rindu!
Kemana kamu?
Akhir-akhir ini suka menghilang dari pikiranku.
Lekas kembali. Aku ingin merasakanmu lagi.

Takut, mengapa kau bergelayut?
Terdiam di sudut?
Ayolah, aku sedang tak ingin bertemu dirimu.
Kau hanya membuat hatiku kian kusut.

Ada apa dengan kalian?
Hati ini tak lagi nyaman?
Mengapa kalian berseliweran?
Minta di selamatkan?
Yah, begitupun aku.

Ilusi


Terdiam di seluk malam.
Wajah menekuk, hati gemeretuk.
Sepi menepi, simpuh berpeluh.

Hilang ingatan menjadi keinginan.
Harapan bimbang, rasa itu tak pernah datang.
Yang membawa cahaya sempurna kedalam relung hati hampa.
Yang mencoret segala sisi dengan pelangi, hingga aku tersenyum-senyum sendiri. Geli.

Untuk satu nama, dua huruf, berjuta makna.
Katakan padaku, kalau kita tak pernah ada.
Katakan padaku, ini hanya ilusi.
Katakan padaku, bahwa aku juga benar-benar mencintaimu.

Berikan nama pada rasa aneh ini.
Yang beringas menggerogoti perasaanku.

Yakinkan aku..
Bahwa kau akan membebaskanku dari rasa tak percaya yang selama ini kubawa.
Rasa ragu yang kupangku dibalik sembilu.
Rasa kalut dan takut.
Yang entah sejak kapan menggantikan gerlap cinta di nadiku.

Pelangi yang dulu sangat berwarna, entah mengapa kini mulai pudar.
Mungkin tertutup awan.
Mungkin menunggu hujan.
Mungkin pula akan hilang.

Aku terjerembap. Kembali memeluk bumi.
Mungkin aku terbang terlalu tinggi.
Pijakanku tak pasti.
Aku melayang di sebuah ilusi.
Tertampar waktu.
Tertegun dan kehilangan bayangmu.
Sosok yang dulu suka menyanyikan lagu.
Kamu. Bayang tak pasti. Ilusi.

Thursday, September 19, 2013

Peri Malam

Kenalilah aku sebagai peri malam. Gadis cantik yang menari di balik gelapnya sinar rembulan. Senyumku adalah candu sekaligus jerat bagi para lelaki hidung belang. Tubuhku adalah madu yang menunggu untuk dikecup dan dimanjakan. Bajuku yang terbuat dari helai kain yang minim bak selendang, melindungiku dari hawa malam yang dingin.



Kenalilah aku sebagai kupu-kupu malam. Beberapa orang menjulukiku wanita jalang. Mengiris hati, memang, karena sebenarnya aku hanyalah pelacur jalanan. Bukan murahan. Aku adalah pemuas nafsu. Aku lihai dalam mencumbu. Dan aku mencari penjelajah yang berani mengarungi tubuhku. Semakin liar mereka, semakin mengerangnya aku, maka semakin banyak uang yang kuhasilkan. Semakin aku dapat mengisi kekosongan sejengkal perutku yang selalu meronta minta makan.


Temukan aku di lorong-lorong jalanan remang, atau di balik bilik-bilik bambu, atau di sudut taman. Aku bekerja sepanjang malam, mengerjapkan mata hingga pagi menjelang, bersama sang rembulan yang selalu bertengger sendirian.


Terkadang aku ingin menemani bulan, mengajaknya bercerita tentang segala keluh kehidupanku. Aku juga ingin menanyakan bulan, mengapa ia begitu senang melamun sendirian? Karena aku juga sering berlaku demikian. Melamunkan seseorang yang akan membawaku ke pelaminan. Lamunan yang mungkin tak lebih dari sekedar mimpi. Karena tubuh kotorku ini, mungkin tak seorangpun sudi untuk benar-benar memiliki. Siapapun pasti berpikir berkali-kali, adakah sesuatu yang bersih dari ragaku?


Ada!


Ingin aku lontarkan kata itu. ADA! Lihatlah lebih jelas. Lebih dekat. Kenali aku. Maka kau akan mengerti, aku punya cinta yang masih murni, yang belum pernah kuberikan pada lelaki manapun yang kutemui.


Kenali aku, namun bukan sebagai peri malam. Kenali aku layaknya seorang perempuan. Aku punya nama, aku punya hati, aku punya cinta. Kenali aku, maka kau kan kuajak bermain-main di taman hatiku.

Friday, September 6, 2013

Celoteh Tentang SMS dan BBM



Siapa yang ga kenal sama aplikasi BBM atau Blackberry Messenger yang cuma ada di smartphone Blackberry ini? Aplikasi chatting yang memudahkan para penggunanya untuk saling berkabar dan berbagi file.

Ada yang pernah bilang sama aku, BBM itu mampu mendekatkan hubungan yang jauh. Pada setuju ngga? Aku sih setuju banget! Dengan BBM, kita bisa dengan mudah jadi 'lebih dekat' dengan seseorang. Karena apa? Aplikasi BBM ini punya beberapa fitur seperti Personal Message, Display Picture, Recent Updates, dan yang paling keren adalah BBM ini punya semacam mbah dukun yang bakal ngasi tau kita kalo pesan yang kita kirim ke orang itu udah nyampe, pending, atau bahkan udah dibaca. Nah, fungsi-fungsi inilah yang membuat BBM jadi aplikasi chatting nomor satu di kelasnya.

Aku sendiri adalah salah satu pengguna BB sejak tahun 15 SM. Udah lamaaa banget aku berteman baik dengan si BBM ini. Meski aplikasi di Blackberry (sebenarnya) itu-itu doang, aku tetep betah mempertahankan BB-ku karena aplikasi BBM-nya. Ada beberapa teman ngobrol di BBM-ku yang bikin aku makin betah menimang-nimang si BB.

Harus aku akui, BBMan itu emang seru. Lebih seru dari SMS. Kita bisa dengan mudah ngobrol sama orang di negeri antah-barantah hanya dengan bermodalkan tukeran pin. Kita bisa ngirim pesan seberapa panjangpun, tanpa harus takut pesan itu hanya terkirim sebagian, atau takut pulsa kita abis kalo ngobrol terlalu panjang-lebar.

Tapi pernah ga sih terbersit di pikiran kalian kalo BBM itu sebenarnya ga asik-asik banget? Pernah ga kalian merindukan saat-saat kalian penasaran, apakah sms kalian terkirim, dibaca, bahkan dibalas oleh seseorang? Aku pernah banget!!

Seberapa canggihpun aplikasi BBM, entah kenapa, ada feel yang ga bisa dia ciptakan, seperti feel saat kita smsan..

Di BBM, kita bakal dengan mudah tau bahwa pesan kita terkirim dan dibaca. Kita tau bahwa lawan bicara kita sedang menulis pesan balasan untuk kita. Kita bakal nethink kalo sekiranya BBM kita cuma di baca doang, atau lebih ironisnya.. langsung di end chat tanpa membaca pesan kita terlebih dahulu. Itu kayak kita lagi suka-sukanya sama gebetan, tapi dia malah patahin harapan kita berkeping-keping. Nyesek!!

Biasanya, orang yang lebih intensif ngobrol di BBM bakal terkesan 'jauh' di dunia nyata. Mereka yang dari bangun tidur sampai tidur lagi selalu BBMan, update status, update foto, dan sebagainya, akan terasa sangat dekat di dunia maya, namun akan berbanding terbalik di dunia nyata. Ga ada yang salah dengan teori ini, karena aku sendiripun ngalamin hal yang serupa. Aku dekat dengan orang-orang di dunia BBM, sering banget ngobrol dan udah ngerasa klik banget buat dijadiin temen seru-seruan. Tapi ketika aku berhadapan langsung dengan orang itu, kita berdua jadi ngerasa canggung nyari topik yang pas untuk di obrolin. Endingnya, kita berdua sama-sama autis dengan BB kita masing-masing. Miris.

Di BBM, bakal ada orang-orang iseng yang suka nge-broadcast message aneh-aneh. Sebuah broadcast yang sering aku dapetin itu tentang BBM error, trus seluruh pengguna BB DIHARUSKAN ngebroadcast sebuah message agar ID Blackberrynya terdaftar oleh RIM. Hiih. Cuma orang-orang berpikiran engga wajar yang bakal percaya sama isu itu.

Satu hal yang sering aku sayangkan dari para pengguna BBM adalah.. mereka (yang katanya) para pengguna smartphone tapi engga bisa mempergunakan phone itu secara smart.

Eniwei, aku kangen masa-masa ketika sms masih berjaya luar biasa dan luar angkasa. Aku merindukan feel penasaran ketika aku nge-sms seseorang. Saat aku menunggu balasan dari orang itu tanpa aku tau sebenarnya sms aku sampai dengan selamat di handphone dia, atau malah nyangkut di jemuran tetangga. Mencari-cari tukang jual pulsa ketika tiba-tiba pulsaku habis di tengah obrolan yang seru.

Di sms, ga ada yang namanya auto text, yang kebanyakan kaum alay mengisinya dengan teks-teks yang kasat mata dan jika dipaksakan untuk dibaca, malah bikin mata berair, merah-merah bahkan menimbulkan kebutaan sementara.

SMS ngebikin aku engga selfish, karena aplikasi sms ada di segala tipe hp apapun. Mulai dari hape lempar anjing sampe hape lempar banci. Dari hape terjadul hingga hape paling gaul. SMS bikin aku engga ansos (anti sosial), karena biasanya aku bakalan nge-sms-in orang untuk sesuatu yang penting-penting di bicarain aja. Takut pulsa cepat habis adalah salah satu faktor utama aku.

Oleh karena itu, aku menceraikan Blackberry dan mulai menjalani hidupku dengan normal dan netral. Terkadang, aku emang kangen BBMan sama orang-orang yang tak bisa kutemui setiap waktu, sekedar untuk menghangatkan hubungan yang mulai mendingin karena kesibukan masing-masing. Tapi, ngobrol ga harus di BBM, kan? Lagipula, udah banyak aplikasi chatting lain yang muncul ke permukaan, menggeser ke-eksis-an BBM dari muka bumi.

Yah, pada akhirnya, secanggih apapun smartphone kalian, sekeren apapun aplikasi chatting kalian, kalau engga ada pulsa, sama aja bohong.


NB: Ini cuma celotehku. Kalo ada yang ngerasa ga suka, tersinggung atau bahkan pengen ngais tanah, silahkan aja. Ini cuma pemikiran liar yang aku coba tuangkan melalui tulisan..

Thursday, September 5, 2013

Kepingan Kenangan Yang (Berusaha) Dilupakan

Waktu adalah sesuatu yang tak bisa diulang kembali. Meski kau melewati hari yang sama, tanggal yang sama, bulan yang sama, kau takkan pernah berhadapan dengan tahun yang sama. Waktu adalah pusara yang terus berjalan maju. Waktu tak bisa di perlambat ataupun di percepat. Namun waktu bisa membawamu bermain-main ke masa lalu. Memutar ingatan yang pernah tercipta melalui sebuah tulisan maupun senyuman di dalam figura.

September, setahun yang lalu. Kejadian yang random membuat aku bertemu dengannya. Sederhana. Hanya sapaan hai yang mencuat dari layar blackberry-ku. Sebuah kata yang mampu merajut pertemanan, meski dalam dunia maya.

Awalnya, semua berjalan tanpa apa-apa. Obrolan yang tercipta hanya basa-basi yang seringnya malah terlalu basi. Dari obrolan basi itu, aku mulai mengenalnya. Dia yang kukenal dengan nama Gizka (tentu saja bukan nama asli), adalah seseorang yang berpikiran kritis. Aku menyukai cara berpikirnya. Hampir setiap malam, aku berdebat argumen dengannya. Kami membahas segala. Mulai dari politik yang sebenarnya sama sekali tak kumengerti, namun kuracau seolah-olah aku paham tentang itu; Indonesia dan segala keadaannya yang menyedihkan; para penikmat hidup yang bernaung di bumi dengan hanya berbekal mimpi; hingga membahas tentang mimpi kami sendiri.

Aku ingin menjelajah Indonesia. Bukan hanya berada di wilayah itu, tapi benar-benar tinggal sementara waktu disitu.
Mimpi gila yang saat ini sedang dia wujudkan.

Aku ingin mengabadikan sisi-sisi indah dari alam bumi pertiwi. Biar semua orang tau, Indonesia itu punya sisi lain yang bisa dibanggakan hingga ke kelas dunia.
Mimpiku yang (belum) kuwujudkan ke dunia nyata.


Dia pernah membuatku begitu mencintai malam, hingga aku berteman baik dengan insomnia. Dia pernah membuatku begitu nekat, berjalan sendirian, mendekatkan jarak Jakarta-Jombang dalam waktu tempuh 14 jam. Menjelajahi wilayah asing bersama sebuah ransel yang kusandangkan di punggungku. Merasakan gerahnya siang dan dinginnya udara malam dari dalam gerbong kereta. Bertemu dengan wajah-wajah baru dan membuat warna berbeda dari cerita hidupku. Membuatku berusaha lebih hebat dari biasanya. Membuatku percaya bahwa tak ada usaha yang sia-sia, selama aku tak menyelipkan rasa putus asa di dalamnya.

Dia mengajarkanku cara mencintai dengan cara yang berbeda; bahwa mencintai tak harus bertatapan, tak harus bertemu.. dan tak harus memiliki.

Dia mengajarkanku untuk membedakan kata ingin dan butuh. Bukan berlari mengejar sesuatu yang terus pergi, namun berhenti, lebih peka untuk melihat sekitar. Lebih peka untuk menyadari sebuah perhatian yang berada di dekatku selama ini. Sebuah kesungguhan yang mampu melengkapi kata butuh.

Setahun setelah September itu, waktu terus bergerak maju. Kini, aku tak banyak mendengar kabarnya. Berita terakhir yang aku tau, dia kembali mencicipi dunia pendidikan, mendedikasikan hidupnya di bidang Hubungan Internasional. Kuharap beberapa tahun kedepan ia mampu menjadi duta negara, dan kembali membuat jejak baru di sebuah wilayah, yang mungkin lebih jauh dari impiannya dulu.

Aku memilih jalanku sendiri. Menikmati hidupku dengan orang-orang yang kusayangi. Menyibukkan diri dengan hobi yang kusuka. Mengisi setiap waktuku dengan hal-hal yang mungkin suatu hari dapat kuingat dan membuatku tersenyum karena itu.

Waktu emang ga bisa diputar lagi untuk membawa kita kembali mencicipi masa lalu. Waktu cuma bisa bikin kita mengenang, dan akhirnya menyadari bahwa kenangan itu selamanya hanya akan menjadi kenangan. Waktu juga yang akhirnya menyuruh kita menentukan pilihan, apakah kenangan itu harus pergi, dilupakan, atau tetap tinggal. Pada akhirnya, kita cuma bisa tersenyum dan menangis dalam satu waktu, ketika kita menemukan kembali kenangan yang pernah terlupakan.

Wednesday, September 4, 2013

Empat ke Empat


Bilangan angka yang masih sangat belia; yang terlahir sempurna, bukan tanpa luka, bukan pula tak bertawa. Bilangan yang dimasa silam masih berbentuk harapan, angan, mimpi dan rencana-rencana yang semuanya tersusun rapi di kepala. Bilangan yang menghidupkan rasa, entah sejak kapan, tumbuh dan terus tumbuh tanpa bisa ditunda, tanpa bisa ditanya, mengapa dan bagaimana. Bilangan yang dimasa depan entah berwujud seperti apa; fana, ataukah semakin nyata.

Empat. (Mungkin) masih terlalu singkat. Aku masih bisa merasakan dinginnya atmosfer kala itu, mendengar tiap detail bisikan paraumu merentas di telingaku, merasakan eratnya jabatan yang kau ciptakan di sela jemariku, mendengar degub jantungku yang berdetak cepat diantara ritme denting waktu.

Perjalanan hati itu bukannya tanpa resiko. Lekat-lekat kudalami dirimu, menjawab keingintahuanku akanmu. Terkadang kumelihat kau keluar jalur, dan rasanya aku ingin berhenti dari jalan yang kupilih. Namun sekali lagi, aku memilih terus berjalan. Mengampuni segala resiko yang kutemui. Memahamimu lagi, dan berharap aku dapat menemukan cahaya yang selama ini kucari.

Empat bulan setelah kau menjadi milikku, tak ada yang berubah. Kau tetap bayangan tunggal yang hidup di dalam benakku, aku tetap kisah nyata yang mengganggu hari-harimu. Hari-hari yang kita jalani dengan penuh memori, terbingkai sesukanya di sebuah figura. Hari-hari yang membuat kita terjatuh, terluka, kesal, dan tetap mau mencinta.

Empat bulan setelah aku menjadi milikmu, satu pinta dengan cermat ku rapal ke hadirat Tuhan. Kutak berharap kita selamanya, namun di setiap jeda, di setiap waktu yang kita jalani, bisa terus membuat kita bersama dan sama-sama bahagia.



- NSR -
- #Empat #Ke #Empat-

Friday, August 30, 2013

Philophobia



"Cinta seperti penyair berdarah dingin yang pandai menorehkan luka. Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya"


Dahulu sekali, aku pernah berangan-angan untuk menjadi seorang pecinta. Seorang pujangga yang kan mangalunkan beribu sajak yang kutulis dengan tinta emas. Ribuan kata yang kukumpulkan dari semai hati yang kau pupuk dan bersemi. Dahulu sekali, aku pernah begitu ingin, merasakan kasih sayang seorang pria. Kasih sayang tulus, yang hanya disematnya untukku seorang.


Dahulu sekali, kenangan dan angan-angan itu terasa begitu indah. Membawaku ke pintu-pintu nirwana, tempat dimana para pecinta tinggal dan melayang bahagia. Mimpi-mimpi itu begitu manis untuk diwujudkan. Begitu syahdu untuk di dendangkan. Begitu candu dan buatku mati dalam haru.


Dahulu sekali semuanya terlihat tanpa ragu. Sampai aku tahu, keinginanku berubah biru. Katakutanku tak lagi semu. Dikala aku mencicipi rindu, merasakan dicinta olehmu. Dikala hatiku meletup-letup dan pipiku memerah. Kau pernah buatku begitu merasa teristimewa, merasa aku satu-satunya, merasakan semanis-manisnya cinta. Namun yang tersisa dari segala prasangka adalah luka. Yang tertoreh di hati hanyalah benci. Dan aku tak mau jatuh cinta lagi.


Kini aku hanya membaca kisah-kisah manis yang tertulis di tumpukan novel-novel cinta di rak bukuku. Aku mendengar tawa-tawa gadis yang terhanyut buai asmara. Melihat tangis-tangis pilu akibat manusia belang yang tak tahu malu. Tak ada. Tak ada bersit yang menempel di dada. Semuanya hampa. Tangisku mendera, ketakutanku kian melara. Aku takut jatuh cinta. Aku takut mereka kan menebar racun yang membuat lukaku menganga, kian terbuka, membusuk dan perih.


Ku perban semua siksa dan kukubur deritaku dalam-dalam. Aku ingin merasakan lagi, apa yang dahulu sekali pernah kumimpi. Nyatanya, saat jemariku mulai terisi, ketakutan itu muncul lagi. aku bagai di rajam jeruji besi.


Akankah kau selamanya mencintaiku?
Tidakkah kau kan menyakitiku?
Bagaimana bila aku sakit hati lagi?
Bagaimana bila kau, pria yang kucintai, ternyata tega mengkhianati?


Aku ingin mencinta. Sangat-sangat ingin merasakan senyum di hatiku, akibat nama seorang pria yang kutemui di ujung waktu. Tapi aku takut. Sangat-sangat takut melakukannya. Aku tak ingin merasakannya. Rasa yang entah apa namanya. Yang membuatku sesak. Yang membuatku gila. Aku, philophobia..

Thursday, August 29, 2013

Sebut Saja Dia..


Dia seorang gadis sederhana, yang sesungguhnya sangat istimewa. Aku menemukannya di sela waktuku, kala aku mencicipi masa smk. Di sebuah ruang kelas yang berisik, dia muncul dengan gaya yang klasik.

Dia tak seperti gadis kebanyakan. Dia tak suka berdandan, tak tampil rupawan seperti para gadis sekolahan yang ingin menjadi idaman. Dia hanyalah dia, gadis slenge'an yang lebih suka memakai sepatu kets hitam dan ransel yang terkadang lebih besar dari tubuhnya. Dia apa adanya, tak sombong dan ke-pria-an.





Suaranya mengalahkan kemerduan kicau burung yang sering kudengar di pagi hari, disaat hiruk pikuk rumus matematika mengambang di otakku. Senyumnya seteduh tenses english yang diulas oleh guru terfavorit seantero sekolahan, dengan gaya yang seru. Ia sangat mencintai masakan ibunya, dan selalu menyantapnya di jeda istirahat, ketika kebanyakan siswa lain memenuhi perutnya dengan masakan ibu kantin. Berteman dengannya membuatku lupa apa itu malu, dan mengerti apa itu persahabatan.

She's like an angel with endless joy.

Segala masalah hidup dilumat habis oleh keceriaannya. Hingga kau takkan mengenalnya sebagai wanita pemurung atau pengeluh. Karena dia dengan suka rela akan membagikan tawa pada siapa saja yang ditemuinya.

Dia lebih suka menghabiskan uang untuk membeli kaos daripada dress-dress lucu keluaran terbaru. Kemanapun ia pergi, kaos oblonglah yang selalu menemaninya. Jangan pinta ia memakai rok, karena aku pun tak pernah melihatnya begitu cantik layaknya seorang perempuan dengan balutan pernak-pernik. Namun ia terlihat lebih cantik, sangat-sangat cantik dengan ia yang apa adanya.

Rambut sebahu adalah ciri khasnya, sejak pertama kali ia kutemui, hingga kini, ketika aku hanya bisa menatapnya dari beberapa foto yang ia pajang di akun sosialnya. Jarak tak membuat aku dan dia kehilangan keakraban. Karena dulu sekali, kami pernah begitu dekat hingga aku menyebutnya mami. Dan kini, ketika aku terpisah beribu-ribu kilometer dari tempatnya mengukir cerita hidup, ia tetap orang yang sama untukku. Ia mamiku.

Sebut saja dia Mila, gadis pemusik yang suka membuat jarinya menari diatas senar gitar. Gadis yang juga suka membuat mouse dan keyboard kewalahan mematuhi perintah imajinasinya. Gadis yang suka mengotori halaman-halaman bukunya dengan sketsa dan gambar yang ia temukan dalam benaknya. Gadis luar biasa yang mendedikasikan hidupnya di bidang keperawatan. Gadis pecinta yang menyayangi satu nama dengan sangat. Gadis istimewa, yang takkan lagi diciptakan Tuhan untuk kedua kalinya. Dia satu-satunya. Dia, yang kukenal dengan nama utuh Hariyati Karmila, adalah sahabat yang hebat. Dan aku yakin, siapapun pasti menyetujuinya.

Teruntuk gadis manis yang sedang intensif menimba ilmu di USU, tulisan singkat ini kutujukan untukmu..

Monday, August 26, 2013

Kriteria Cinta




"Gue suka cowo yang cool"

"Kalo gue yang cakeeeep. Jadi ga malu kalo diajak jalan"

"Kalo gue yah, pengennya cowo yang smart. Pasti keren abis.."


...


Gue pengen cowo yang begini.. Cowo yang begitu.. Bisa ini.. Bisa itu..
Haloh.. Haloh..
Setiap orang terutama cewe, pasti punya kriteria cowo idaman. Iya, cowo yang (kata mereka) perfect yang nantinya bisa mereka pacarin. Mungkin ga sedikit dari cewe-cewe ini yang ngebuat list kriteria cowo idaman mereka, trus list itu di pajang di tembok kamar, tepat di samping poster Mr. Bean (cowo ter-perfect sepanjang masa), dan berdoa setiap malam agar mereka di pertemukan dengan cowo idaman mereka itu.


Anyway, setelah mengumpulkan butiran-butiran debu yang bertebaran tak tentu arah di kepingan hati para gadis jomblo, gue menyimpulkan beberapa kriteria yang dianggap pantas dijadikan kriteria cowo idaman.


Satu.
Cowo idaman itu harus yang cool.
Setiap gerakan yang dia lakukan bikin kita berasa kayak lagi nonton film slow motion, semua bergerak lambat, dan ada bling-bling cahaya berkerumun di sekitar wajahnya. Cara dia melangkah, menoleh, tersenyum, membuka kaca mata hitamnya, mengibaskan rambut hingga ia terjungkal di gorong-gorong jalan Sudirman, harus terlihat kuwl dan berkharisma. Setiap dia melangkah, angin kayak berkejaran menghampirinya, dan dengan lembut membelai kulit-kulitnya yang bebas dari jerawat. Ngomongin soal cowo cool, pikiran gue langsung menyeret nama Taylor Lautner. Cuma cewe normal yang bilang Lautner itu.. perfect. 


Dua.
Cowo idaman itu ialah cowo yang romantis.
Cowo yang bisa ngebikin segala suasana jadi terasa manis, sampe-sampe kita jadi meringis. Cowo yang bikin hati jadi klepek-klepek saat dia ngebawain bunga ketika kita sakit, dan bunga ini bukan segerobak bunga mawar merah yang udah mainstream banget dikalangan konglocinta, tapi bunga Raflesia Arnoldi, bunga langka yang buat ngedapetinnya aja mesti bertarung dengan pasukan lalat hijau. Kurang romantis apa, coba?


Tiga.
"Cowo idaman itu, ga usah muluk-muluk. Asal dia setia, jujur, perhatian, sayang sama aku, tajir, cakep, pinter, asik, lucu, tinggi, six pack, pokoknya yang sederhana dan apa adanya aja deh.."
Kalo segitu dianggap apa adanya, gimana yang ada apanya??


Ga munafik sih, kalo kita berharap ngedapetin cowo yang terbaik buat dijadiin teman hidup kita. Ia yang kita temui dengan perkenalan yang absurd, hingga ia yang akan duduk di samping kita di beranda rumah, ditemani dua gelas teh hangat, menatap senja sambil saling bergandengan tangan, tersenyum dengan penuh cinta. Beeh..

Tapi sebelum kita berkhayal terlalu tinggi dan akhirnya terjatuh dengan sangat sakit, kita harus sadar kalo kita engga hidup di dunia dongeng, di film drama ataupun di novel cinta. Kita hidup di dunia nyata, dan segala hal yang kita hadapi adalah realitas!

Realitas.. terkadang emang bisa ngebikin kita jauh lebih bersyukur karena kita ngedapetin apa yang sesungguhnya kita butuhkan, bukan kita inginkan. Realitas, menyambungkan benang merah kita dengan seseorang yang mungkin jauh dari kata sempurna. Realitas mengambil perannya, menciptakan momen terbaik hingga gue bertemu dengan dia. Yah, dia. Pria (yang bukan) idaman gue.

Dia engga cool seperti Taylor Lautner. Dia malah berpakaian sesukanya, bahkan sering terkesan dekil. Tapi dia bisa bikin gue mematung dan lupa apa itu bernapas di saat-saat tertentu. Disaat dia ingin, dan ketika dia 'harus' tampil layaknya seorang pria.

Dia engga romantis. Dia ga pernah ngebawain gue bunga, coklat, atau apapun yang bikin kebanyakan cewe-cewe pada meleleh. Dia ga bisa ngebikin setiap suasana jadi kerasa manis. Malahan dia sering jadi sosok paling ngeselin dan bikin bete. Tapi dia engga pernah absen untuk ngebikin gue tersenyum, meski dengan hal-hal sepele, misalnya dengan goyang itik di tengah taman, atau memasang wajah paling jelek setingkat orang utan.

Iya, dia engga romantis, tapi dia bisa bikin gue ngerasa nyaman. Dia engga manis, tapi bisa ngebikin segala moment jadi berkesan. Dan itu, bagi gue, cukup untuk mencoret kata "romantis" dari list cowo idaman.

Dia bukan pangeran berkuda putih yang datang secara keren untuk menarik simpati gue. Dia melakukan segalanya seadanya, dengan cinta yang apa-adanya. Dia engga sempurna, tapi dia punya rasa sayang yang luar biasa. Dia engga istimewa, tapi gue bakal meyakinkan segala tanya, bahwa dia satu-satunya.

Ketika kalian mencari kesempurnaan, maka kalian harus sanggup selamanya sendirian. Namun ketika kalian menerima kekurangan, maka kalian akan mendapatkan apa yang sesungguhnya kalian butuhkan. Cinta itu buta, namun bukan mati rasa. Kita engga butuh kriteria, namun cinta.




Dari gue yang terkece,
Suci..

Wednesday, August 21, 2013

Dendang Sore Hari


Sore tadi sunyi menghampiriku, memintaku menemaninya berbincang, menunggu senja datang. Ia bercerita, tentang sebuah sosok yang kini hilang. Sebuah sosok yang sering mencuat dari lamunannya, menguasai alam bawah sadarnya, dan menciptakan buih-buih rasa di hatinya.

Sosok itu, yang menciptakan satu kata bernama rindu dengan lantang menusuk rongga-rongga hati kecilnya. Merobek kenangan yang ia susun rapi dalam kotak kayu yang ia namakan "kamu". Kenangan, yang mungkin berjuta jumlahnya, berlabelkan kata yang sama, kamu. Sang sunyi begitu menggilai sosok itu, dan merindukannya dengan sangat. Entahlah, aku tak mengerti mengapa sebuah rasa bisa menimbulkan ekspresi yang begitu menggebu.

Aku mendengarkan. Aku paham. Ia hanya sedang mencoba mencicipi rasa yang tak bisa kau wakilkan hanya dengan satu kata. Rasa yang dulu, dulu sekali pernah ada dan bermain-main di taman hatinya. Rasa yang kemudian memudar, dan hambar. Rasa yang mengejang diterpa langkah waktu yang merentang panjang. Rasa yang dulu hingar terikat ikrar, kini terkulai bagai semai dihempas badai.

Senja datang, menjemput sang sunyi. Dengan mega merah yang selalu menemaninya melintasi sore, yang dengan diam-diam memilih malam dan temaram untuk menghapus siang.

hening.

Sunyi pergi, aku sendiri.

Brak! Sunyi melemparkan kotak kayunya. Kudapati sebuah sosok; kamu.

Tuesday, August 20, 2013

Surat Untuk Mama

Kau adalah sosok yang paling kupuja, sejak pertama kali aku membuka mata dan menyambut dunia dengan tangis kerasku. Kau tersenyum dan memelukku erat. Saat itulah aku terdiam, merasakan tempat ternyaman setelah bergumul selama sembilan bulan di dalam rahimmu.

Kau merawatku dengan penuh kasih sayang. Menyaksikanku tumbuh besar di sela kurun usiamu yang kian senja. Kau membelaiku manja, merawatku dengan jari-jarimu yang sarat sejuta cinta.

Kurekam semua hari, menit bahkan detik yang kulalui bersamamu. Senyum simpulmu yang merekah ketika aku lulus sekolah. Peluhmu yang mengucur deras akibat kegarangan matahari. Tawa yang sering terlepas saat kita bercanda.

"Jadilah anak yang baik seperti yang Umi inginkan", sebaris harapan singkat yang kau selipkan dalam kalimatmu, dan kubalas dengan anggukan.

Ya, aku berjanji pada diriku sendiri untuk menuruti setiap keinginanmu, setiap hal yang membahagiakanmu, apapun yang bisa membuatmu tersenyum. Aku melakukannya, semua yang kau pinta. Kujalani semuanya, setiap jalan yang kau tunjukkan untukku. Aku melakukannya. Meski tak sempurna, kulihat senyum kebanggaan menggantung manis di antara kelopak matamu. Meski tak terlalu hebat, gadis kecilmu berhasil menghiaskan bahagia di hidupmu. Meski kutau perjuanganku takkan bisa membalas semua pengorbananmu dalam hidupku.

Aku hanya melakukan satu kesalahan. Kesalahan seorang manusia yang terjebak hingarnya dunia. Aku jatuh cinta pada seorang makhluk, seorang pria yang kutemui di salah satu lembaran hidupku. Seorang pria yang berhasil mencuri seluruh perhatianku, namun tidak perhatianmu. Seorang pria yang telah mengambil hatiku, namun tak bisa merebut hatimu. Seorang pria yang kuharap menjadi teman hidupku, namun tidak bagimu. Seorang pria yang membuatku lupa bahwa aku pernah terluka.

Aku hanya berbuat satu kesalahan. Bisakah mama memaafkanku, dan membiarkanku, kali ini saja, melangkah di jalan yang aku pilih?

Wednesday, July 3, 2013

Untukmu, Tuan



"Ketika kepulan asap dari kopi hangat membumbung ke udara,
tulisan ini tercipta.."





Selamat ulang tahun, kamu. Di tanggal yang sama, bulan yang sama, namun tahun yang berbeda, jumlah lilin di kuemu bertambah satu. Aku berdoa yang terindah, Tuhan mengabulkan yang terbaik. Seadil dan sesederhana itu.


Hei, Tuan.
Tahukah kamu? Bukan hal mudah untuk menciptakan moment "tak biasa" di hari paling luar biasa bagimu. Membagi waktu bukanlah keahlianku. Memunculkan ide kreatif juga bukan kepandaianku. Aku hanya berusaha semampuku, agar usahaku tak bernilai sia-sia di matamu.


Semua itu..
Ah, sudahlah. Aku tak ingin menceritakan bagaimana kehebohanku dalam mempersiapkan ide konyol itu. Kamu hanya perlu tahu akhirnya, ketika aku sangat mengharapkan senyummu muncul dari buih-buih usahaku. Dan benar saja, aku melihat senyum itu. Begitu tulus, begitu bahagia. Aku tahu, itu tak sepenuhnya karena aku. sebab kejutan kecil yang kupersiapkan takkan mampu membuatmu sebahagia itu. Semua karena kamu. Karena hari itu begitu spesial bagimu.


Tuan pemilik senyum yang sangat kusanjung, selamat ulang tahun. Aku tak akan memaparkan sederetan doa disini. Ini urusanku dengan Tuhan. Biarkan Dia mengabulkan apa yang terbaik bagimu dari sederetan doa yang kurapalkan tengah malam itu. Tak usah penasaran, doaku selalu berisi hal-hal yang baik, dan itu kuperuntukkan buatmu.


Tersenyumlah selalu, agar hatimu juga ikut tersenyum. Tetaplah menjadi yang istimewa di hatiku, menjadi yang terhebat di keluargamu. Tetaplah menjadi sosok yang selalu kurindu.







Dari aku,
Pemilik hatimu.

Wednesday, June 26, 2013

Preman Dan Sorban




Kyla
"Haram dan tidaknya tatto-ku bukan manusia hakimnya", ia memamerkan sebuah tulisan yang tersablon di kaosnya. Aku mengamati tulisan itu, memahami maksud dibalik tiap kata-katanya.

Aku tersenyum hambar, "kamu mau bilang kalo tatto kamu itu seni?"

"Yap. Tatto itu engga selalu bermakna negatif, kan? Lagian urusan aku sama Tuhan ya cuma aku dan Tuhan yang mengerti. Engga perlu ikut campur tangan manusia." Dia menyeringai lebar, mengelus tatto di tangannya yang telah terukir permanen.

"Seni itu sakit, yah. Sampe ngerusak kulit gitu", ucapku datar.

Aku sungguh tak suka dengan apa yang ia lakukan dengan dirinya. Aku mengerti, itu hanya sekedar tatto. Bukan, tatto itu bukan sekedar. Tatto itu penghalang jalan seorang hamba kepada Tuhannya. Yah, aku tak berhak menilai. Bukankah bukan manusia yang menghakimi halal ataupun haramnya tatto seseorang. Itu urusan mereka dengan Tuhannya. Bila begitu, apakah aku harus diam dengan kelakuannya ini?

"Emang sakit. Tapi aku suka. Ini semacam sebuah kesenangan. Bahkan aku pengen nambah lagi", kedua bola matanya menatapku, seakan memberi isyarat untuk meminta izin padaku, membolehkannya melakukan hal itu.

Aku tak melanjutkan kata-kataku. Kubuang pandanganku hingga aku tak bisa melihat sosoknya bahkan dari sudut mataku. Rasanya seperti ada yang menusuk hatiku, sesaat setelah ia mengucapkan kalimat terakhirnya.

"Udah zuhur, aku mau sholat", aku beranjak dan meninggalkannya. Namun setelah beberapa langkah, aku berbalik dan menatapnya, "mau ikut?"

Ia terdiam, memberikan jeda pada angin untuk berhembus getir. Ditatapnya ukiran tatto berwarna hitam yang memenuhi setiap permukaan kulit lengannya. "Nih, gimana mau sholat?", disodorkannya gambar tatto itu ke arahku.

Aku melangkah, mendekat. Kugenggam sebuah sisi dari kaos yang dikenakannya. "HARAM DAN TIDAKNYA TATTO-KU BUKAN MANUSIA HAKIMNYA", kubaca tulisan di kaosnya dengan tegas, lalu menatapnya dalam-dalam.

"Bukankah itu yang tadi kamu bilang? Kenapa sekarang kamu bertindak seolah-olah kamu adalah hakim? Kamu ngerasa malu menghadap Tuhan karena senimu itu?"

"Butuh proses, Kyla..", lirihnya. "Engga ada yang bisa berubah drastis, kan?"

Aku masih lekat menatapnya, tak memberikan ekspresi apapun. Aku mengerti, ketika kita mencintai seseorang, maka kita harus menerimanya secara sepaket. Menerima kekurangan hingga kelebihannya. Menerimanya apa adanya. Namun, hati kecilku berontak. Aku hanya ingin ia berada di jalan Tuhan, itu saja.

"Jadilah anak yang baik", kataku kemudian, sambil mengacak-acak rambutnya.



****



Ega
Aku menyayangi Kyla. Sangat. Aku ingin melihatnya terus tersenyum. Namun yang kulakukan hanyalah terus membuatnya kecewa dengan kelakuanku. Aku dan Kyla sangat berbeda. Aku seorang pria bertatto, perokok, bahkan pemabuk. Aku menjalani hidup semauku. Aku tak peduli apa yang orang katakan tentang diriku. Bagiku, semua manusia yang berjalan di bumi ini adalah kumpulan badut yang memakai topeng. Tak ada yang benar-benar baik. Lebih baik menjadi nakal sekalian, daripada baik dalam kepura-puraan. Dan inilah jalan hidup yang kupilih, menjadi seseorang yang benar-benar lari dari jalur kehidupan.

Kyla benar-benar berbeda denganku. Ia gadis yang baik. Ia gadis lugu, yang begitu menuruti liku hidup yang dijalaninya. Ia sangat sabar menghadapiku. Ia tak pernah menuntutku untuk merubah kebiasaanku. Aku tahu, dalam batinnya, ia protes ketika tahu aku minum, ketika aku menyembulkan asap rokok ke udara, dan tiap kali ia melirik tatto yang kuukir di lenganku. Ia hanya diam. Selalu diam. Terkadang aku sedikit khawatir dengan kediamannya. Siapa sih yang mau pacaran sama cowo tattoan sepertiku?

Kyla.

Hingga kini aku bahkan tak mengerti mengapa ia bisa begitu tulus menyayangiku.

Sebenarnya, aku juga ingin berubah. Aku tak ingin selamanya hidup di dunia kacau seperti ini. Aku ingin meninggalkan semua kelakuan burukku. Namun tak ada yang instan, kan? Aku berusaha, meski entah sampai kapan aku bisa benar-benar terlepas dari belenggu ini. Setidaknya, aku mencoba.



****



Kyla
"Mama pengen kamu ngedapetin pasangan hidup yang terbaik, Kyla", ucap mama di seberang telepon.

"Ma, Kyla belum mau nikah sekarang, loh."

"Iya, tapi kamu harus mulai serius dari sekarang. Cari calon kan engga semudah beli barang di toko."

"Iya, Ma. Ini juga lagi di seriusin kok", lagi-lagi, mama menasehatiku seputar pasangan hidup. Aku memakluminya. Setiap orang tua pasti menginginkan sosok yang terbaik untuk anaknya.

"Mama engga mau kamu salah memilih pasangan. Setelah nikah, pengabdian kamu itu berpindah ke suami, bukan orang tua lagi. Cari calon yang bisa membimbing kamu lebih dekat kepada Tuhan. Seorang pria yang menyayangi keluarga, seperti papamu."

Aku hanya mengangguk, diam dan mendengarkan nasehat yang terus mengalir dari perkataan mamaku.

"Mama punya kenalan ustadz. Anaknya sholeh, rajin sholat, pintar, baik lagi."

"Ma. Aku udah punya Ega", aku berusaha mengucapkan setiap kalimatku dengan hati-hati. Aku tak ingin salah bicara kali ini. "Ustadz engga menjamin kebahagiaan aku, Ma.."

"Iya, mama ngerti", mama melembutkan suaranya. "Mama cuma pengen yang terbaik buat kamu. Mama cuma pengen kamu bahagia, nak." Entah mengapa, perkataan mama membuatku ingin menangis. Aku sudah dewasa. Saatnya aku menentukan pilihan hidup. Bayangan Ega tiba-tiba saja terpikirkan.

"Apakah aku sudah memilih pria yang tepat?", batinku.

"Ega pria yang baik, Ma", kataku, mencoba mengenalkan sosok Ega, pria yang belum pernah dilihat orang tuaku secara langsung. "Dia jagain aku, disini. Dia selalu nolongin aku kalo aku kesulitan. Dia sayang sama aku."

Mama menaruh seluruh kepercayaannya padaku. Aku tak ingin mengecewakannya. Hanya saja, aku tak ingin berperan sebagai Siti Nurbaya. Namun aku juga tak boleh mengabaikan nasehat orang tuaku. Mereka pasti lebih mengerti apa yang terbaik untuk anaknya.

Satu hal yang mama belum tau, Ega jauh dari sosok calon suami yang diidamkannya.



****


Ega
"Kalau nanti orang tuaku engga suka kamu, gimana?", pertanyaan Kyla hampir saja membuatku tersedak. Kuhentikan kegiatan makanku. Sederetan kalimat tanyanya berhasil mengubah moodku.

"Aku udah nyangka, pasti hal ini bakalan terjadi", kutatap raut mukanya yang sendu.

Mungkin dia sedang bingung, menuruti harapan orang tuanya atau suara hati kecilnya. Aku sudah tau hal ini sejak awal. Halangan terberat yang menghambat hubungan kami adalah keluarga. Keluarga Kyla tak mungkin dengan mudah menerima keberadaanku yang seperti ini. Namun apa yang bisa kulakukan? Aku tak ingin berubah menjadi orang lain. Seperti inilah seorang Ega. Dan aku takkan mengubah ega menjadi sosok yang tak kukenal.



****



Kyla
Hati cuma satu. Yang bisa ia lakukan hanyalah memilih. Memilih untuk mengikhlaskan, atau tetap tinggal. Pilihan memang tak pernah mudah. Ketika kita harus memilih sesuatu, kita harus rela kehilangan sesuatu pula. Kali ini, aku dihadapkan lagi pada pilihan itu.

Aku menetapkan sebuah pilihan, membagi cerita hidupku bersama Ega. Membagi suka dan dukaku, membagi tawa dan tangisku, membagi bahu untuk saling bersandar.

Rasa yang tak bisa kujelaskan, tumbuh subur kian waktu aku mengenalnya. Aku bahkan tak tahu mengapa hati ini memilih dirinya. Yang kutahu, dia membuatku merasa nyaman. Dia menjelma menjadi sebuah kebutuhan bagiku. Dia menjadi sosok yang tak ingin kulepas.

Kini, aku dihadapkan lagi pada sebuah pilihan. Harapan keluargaku, atau keinginan hati kecilku. Lagi-lagi pilihan yang sulit. Aku tak ingin mengecewakan siapapun. Aku tak ingin kehilangan siapapun.

Kuyakin, akan ada sesuatu yang baik pada akhirnya. Jika aku tak menemukan hal baik itu, berarti aku belum bertemu garis akhir. Aku akan memperjuangkan pilihan yang saat ini kutautkan di jemariku. Hingga nanti aku lelah. Hingga nanti aku kalah. Hingga nanti garis finish mengumumkan pemenangnya. Hingga nanti aku harus menerima pilihan yang terbaik untuk hidupku. Sebuah kisah yang telah dirangkai Tuhan dengan sangat indah. Sebuah cerita, yang mungkin tak sama dengan apa yang kucoba tulis dalam buku kehidupanku.



****

Ega
Membimbing diriku sendiri ke jalan yang benar saja aku belum mampu. Bagaimana mungkin aku bisa begitu egoisnya untuk mengajak Kyla mencicipi kehidupanku? Ah, aku bodoh sekali. Ia pastilah akan memilih seseorang yang bisa membimbingnya di jalan Tuhan. Di jalan yang lurus, pengabdian seorang hamba pada penciptanya. Aku cuma sampah. Aku tak berteman baik dengan Tuhanku. Aku tak mungkin membiarkan Kyla terjebak dalam hidupku yang seperti ini.

Mungkin sebuah perjuanganku tak akan berarti apa-apa. Akan kuikhlaskan dia. Ya. Cinta adalah bahagia melihat orang yang kita sayangi bahagia. Aku mencintai Kyla. Ralat. Aku sangat mencintai Kyla. Aku hanya ingin ia bahagia, meski bukan bersamaku, meski bukan karenaku. Ia wanita baik-baik. Ia pantas mendapatkan pria yang terbaik pula. Jika nanti perjuanganku dikalahkan oleh keadaan, ikhlasku akan selalu kutujukan padanya. Demi senyum yang harus selalu tersungging di bibirnya, kutarik diri, mengendap pergi bahkan menghilang dari sentuhan pikirannya.


****

Tuesday, June 25, 2013

Membicarakan Cinta



"Saat itu akan tiba, ketika kau benar-benar menerima kenyataan bahwa kini tak ada lagi ‘kita’ hanya ada kau minus dirinya"




Berbicara tentang cinta. Apa itu cinta? Mereka bilang, cinta adalah ketika kita menyayangi seseorang dengan tulus. Begitukah? Mungkin. Cinta adalah pengorbanan. Yah, ada benarnya juga. Cinta adalah rasa. Itu kataku.

Cinta itu sederhana. Dua orang yang saling bertemu dan membagi rasa sayang mereka, itu bisa disebut cinta. Tak perlu komitmen, hanya saling mengetahui bahwa segenap hati itu ditujukan hanya untuk kita. Semanis itukah? Kurasa tidak.

Dia Azka, pria yang memperkenalkanku dengan rasa itu. Sesederhana sebuah pertemuan, perkenalan dan pilihan hati. Aku sangat menyayanginya, begitupun dia. Semua berjalan dengan semestinya, seolah-olah kami memanglah dua makhluk yang ditakdirkan untuk saling berbagi cerita hidup.

Kita. Ku ulang kembali kata itu berkali-kali. Kita, kita, kita, kita.. Semakin sering kuucap, semakin aku ingin melupakan kata itu. Kita takkan pernah selamanya menjadi kita. Ada jurang lebar yang menganga di depan kita. Sekuat apapun kita terus bertahan, kita akan tetap berdiri di tepi yang sama, di sisi yang berbeda. Bila kita mendekat, kita akan terjatuh ke jurang itu. Tuhan, ini cuma masalah cinta. Mengapa harus ada jurang pemisah yang begitu dalam?

Aku mencintainya. Sangat. Katanya cinta itu sederhana. Namun mengapa aku merasakan hal serumit ini? Salahkah aku mencintainya? Salahkah bila aku ingin menulis kisah hidupku hanya bersamanya? Nyatanya, rosario dan tasbih takkan pernah bisa bersatu. Meski Tuhan cuma satu, meski keyakinan hati ini hanya untuk-Nya, tapi Dia tak pernah mengizinkan kami untuk menggenggam tangan, menautkan jemari, mengikrarkan sebuah janji. Kami berbeda. Aku menggenggam Al-Kitab dan ia menggenggam Al-Qur'an. Kita, dua manusia yang berusaha menyamarkan perbedaan; agama.


****


Aku mengendap-endap pergi. Kubiarkan waktu menyapu perasaan ini. Kesibukan baru mungkin akan mengalihkan perhatianku. Kurentangkan jarak dan melangkah menjauhi jurang itu. Kutau, dia telah lebih dahulu beranjak, menyusun hidupnya yang baru.

Aku senang, senyum yang sejak lama menjadi milikku, senyum yang beberapa waktu tak tampak, kini kulihat tersungging lagi diantara bibir manisnya. Mungkin gadis itu bisa memberikan harapan yang tak bisa kuberikan. Kutebak, dia telah menemukan jalannya. Siapapun gadis yang kelak akan menghiasi lembar ceritanya, kuharap akan ada kisah indah di tiap goresan tintanya.

Bagiku, melupakannya tak semudah mencintainya. Aku kalah, meski aku terus berusaha menerima sosok baru di hidupku. Tempat yang dulu kutata rapi hanya untuk sebingkai namanya, kini kubiarkan kosong. Kunci itu masih di pegangnya. Pintu ini masih miliknya. Terlalu banyak kenangan. Terlalu banyak harapan yang menunggu untuk diwujudkan. Ruang itu begitu penuh tentang dirinya. Bahkan bayangnya masih tergambar jelas, memenuhi tiap sudut ruang di hatiku. Bagaimana bisa aku membiarkan orang asing menempati ruang itu?


"Kamu nakal. Mengapa selalu muncul di mimpiku?", kalimatnya mencuat dari kotak chattingku.

"Kamu lebih nakal. Selalu muncul di pikiranku", godaku.

Kami terdiam. Rasa itu kembali bergetar. Meski aku berusaha melupakan, meski ia berusaha mengabaikan, namun rasa itu tak pernah hilang. Waktu tak menjadikannya musnah, malah membuat rasa ini terus membesar dan bergejolak tak karuan. sesuatu yang kini kumengerti, hati tak bisa di bohongi.


****


Thursday, June 20, 2013

Hey June!


Hey, June!
Selalu ada yang menarik di bulan ini. Denting jam terasa lebih berirama. Cakrawala terlihat lebih indah. Sudahlah, aku sedang tak ingin puitis kali ini.



Hey, kalian para pria tampan di rumah. Apa kabar? Kakak senang, Juni kali ini Kakak masih bisa mendengar tawa kalian. Meski hanya lewat benda tak bernyawa itu. Kalian menyebalkan, seperti biasanya. Tidak, buya tak termasuk dalam kategori ini. Hanya kalian, laskar rewel yang selalu kakak rindukan.

Selamat tambah tua, yah. Lilin-lilin di atas kue kalian bertambah satu. Semoga tambah dewasa dan tambah bijak. Berdoalah, akan kakak aminkan.

Doa dimulai..

...................................

Amin :)



Buat para laskar rewelku, Rizky dan Hafiz..
Lucu yah. Kita pernah memikirkan betapa uniknya hari lahir kalian. Buya, Hafiz dan Rizky. 10, 15 dan 20 Juni. Takdirkah? Yang pasti, deretan tanggal itu ngebikin bulan Juni terasa spesial, terutama buat kalian. Jadilah laskar yang berbakti sama umi-buya, yah. Kita enggak bisa selamanya sama-sama. Tapi kakak tetep ada kok buat kalian. Meski dari sini, di seberang pulau, di seberang selat Sunda. Di kota dengan pusat pemerintahan negara kita.

Sebenarnya kakak iri, kalian masih bisa ngerasain kasih sayang dan bisa manja-manjaan sama Umi-Buya. Masih bisa melihat senyum simpul mereka setiap saat kalian ingin. Jaga mereka yah. Janga senyum mereka agar terus menyungging.

Bagaimana dengan mimpi-mimpi kita? Suatu saat, akankah kita tak hanya memikirkannya, namun juga mewujudkannya? Secepatnya! Belajarlah yang rajin. Segeralah lulus dan menjadi orang sukses. Oke?!



Buat ayah terhebat di dunia..
Buya makin tampan kok, dengan umur yang kian bertambah. Sungguh. Keriput itu tak menghalangi wibawamu. Sungguh, ini kejujuran dari hati kakak.

Buya apa kabar? Kapan kita keliling Medan dengan vespa ringkihmu lagi? Kakak rindu dibonceng buya. Kakak rindu diantar ke sekolah, seperti yang biasa buya lakukan dulu. Sejujurnya, kakak hanya merindukan berada di sisi buya. Kakak pengen peluk buya. Boleh kan, kakak manja-manjaan sama buya? Enggak ada batas usia buat manja kepada ayahnya, kan?



****


Selamat ulang tahun buat kalian bertiga.

Kakak merindukan kalian..

Wednesday, June 19, 2013

Disana



Ku gulung lagi selembar rindu yang berserak di lantai kamarku.
Jumlahnya beribu.
Meski ku berusaha merapikan, tetap saja, denting waktu memunculkan lembaran baru.
Aku letih.
Kubiarkan lembaran itu berserakan.
Sebagian telah kusimpan di bilik kayu.
Takkan kubuka lagi.
Hingga berdebu.
Hingga rapuh.
Hingga ia hilang diambil waktu.


Tersudut di kamar.
Mencium isak tangisku yang luruh oleh senja.
Mendengar bayang-bayang yang melintas di lorong langit.
Berteman dengan kesendirian.
Menepuk bahu keheningan yang kian terasa mencekam.


Setangkup harapan kini terasa usang.
Mungkin ia lelah..
Mengharapkan tindakanku yang tak kunjung membuahkan arti.
Aku terus bermain dalam kesendirian.
Menunggu senja menghilang.
Menunggu pagi datang.
Meski kutahu, cahaya matahari kan menyilaukanku.
Guratan cahaya dan keramaian kan menyipitkan semangatku.
Namun langkah gontaiku kan tetap menciptakan jejak.


Diantara retakan harapan.
Bersama kesendirian.
Aku melangkah.
Meski kutak tahu kemana tujuan ini berakhir.
Meski kutak tahu apa yang kucari.
Meski sendiri.
Kutetap berjalan pasti.
Menghanyutkan sekotak gulungan rinduku.
Mengusir sepiku.
Aku tahu, ada rentangan bahagia yang menungguku disana.


Disana, entah dimana..

Bintang Langit



"Hoi, Bintang! Ngapain lo disana?"

Aku menunduk, mencari asal suara. "Nyari angin. Sini..", kataku memanggil pria itu.

"Oke. Bentar yah", dia segera masuk ke dalam gedung tua, menaiki beberapa anak tangga dan akhirnya tiba di lantai atap, tempat dimana aku duduk merenung.

"Akhir-akhir ini lo sering main kesini..", katanya seraya duduk di sampingku. Kakinya yang jenjang dibiarkannya menggantung di tepian gedung, mengikutiku.

"Gue suka aja di tempat ini. Tenang. Damai. Enggak ada suara berisik", kupandangi langit sore yang mulai berwarna jingga.

"Gue juga suka tempat ini", Langit menimpali. Deru angin sore menerpa rambutnya, membuat wajah pria itu terlihat manis.

Aku tersenyum dan menghempaskan nafas panjang. Dalam diam tanpa kata, kami berdua menikmati suasana tenggelamnya matahari diantara gedung-gedung tinggi yang mulai menyalakan lampu-lampunya. Kedua tangan kami tergenggam, saling menguatkan.

"Bahkan matahari merasa lelah untuk terus bersinar..", rangkulan hangat Langit terasa di pundakku. Kusenderkan kepalaku di bahunya, dan membiarkan mataku terpejam.


****


Brakk!!
Aku tertunduk diam, mengepal tanganku kuat-kuat agar hatiku tak menangis. Di sebuah ruangan berukuran 4x4 meter itu, aku dihadapkan dengan bos dan managerku.

"Kami berharap kamu bisa bekerja dengan lebih baik lagi, Bintang. Nilaimu lebih rendah dibandingkan dengan teman-teman seangkatanmu yang lain. Cobalah untuk ikut berpartisipasi, lebih aktif di dunia kerjamu", nasehat bosku dengan nada lembut. Namun aku tau, sebenarnya mereka kesal terhadap kelakuanku di kantor yang acuh dengan segala problema kantor.

Tanganku bergetar. Ingin rasanya aku segera pergi dari ruangan itu. Tatapan mereka terlalu sinis bagiku. Tak ada pembelaan. Aku hanya mengiyakan nasehat mereka.

Aku terus berpikir, apakah yang aku lakukan selama ini masih kurang dimata mereka? Apakah pekerjaanku tak terlihat? Apakah aku tak terlihat?

Kuakui, aku tak menyukai atmosfer ini. Aku benar-benar tak bisa bernafas disini. Aku merasa seperti ikan yang dipaksa untuk memanjat pohon. Aku berusaha menyukai pekerjaanku, berusaha menjadi ahli dengan apa yang aku geluti, tapi nyatanya aku gagal meski aku terus mencoba.

Semua pandangan dan cibiran tajam itu, aku mengetahuinya. Namun kutebalkan mata dan telingaku. Aku hanya harus bertahan sedikit lebih lama, sebelum akhirnya aku benar-menar meninggalkan hidupku kini. Bukankah hidup itu adalah pilihan? Bagaimana jika aku tak punya pilihan? Bagaimana jika aku harus hidup di dunia yang kubenci? Bagaimana jika aku memilih mati?


****


"Jadi gimana, Kak?", tanya mamaku di ujung telepon. Nada suaranya terdengar lirih. Aku tau ia sedang menangis.

"Kita cari jalan keluarnya sama-sama yah, Ma. Kakak disini juga lagi dalam masa sulit", aku menggigit bibirku, menahan air mata yang sebentar lagi akan tumpah.

"Mama bingung harus ngasi alasan apa lagi. Kemarin petugas bank itu datang lagi, nagih uang. Mereka ngancam bakal menyita rumah kita kalo hutang-hutang kita di bank enggak segera dibayar. Belum lagi adik-adikmu yang nuntut biaya sekolah mereka yang udah tertunggak beberapa bulan."

Aku terdiam. Berpikir, bagaimana caranya agar mama merasa lega dengan segala pikirannya.

"Iya Ma, tunggu beberapa hari lagi, yah. Kalo sekarang Bintang belum ada uang..", alibiku. Syukurlah, mama bisa lebih tenang dengan perkataanku. Meski aku sendiri bingung, gimana caranya membagi gaji kecilku untuk segala kebutuhan itu.

Tuhan, apa aku boleh bersandar dan menangis di pundak-Mu?


****


"Langit, apa aku boleh bermimpi?", tanyaku pada Langit, saat kami berdua tengah berbaring di lantai atap sebuah gedung tua, tempatku biasa mencari ketenangan.

"Kenapa enggak? Semua orang berhak bermimpi", jawabnya.

"Aku pengen jadi awan kecil itu", kataku sambil menunjuk sebuah awan yang bertengger di langit biru.

"Kenapa?"

"Kayaknya asik. Menari di langit, bebas, enggak ada beban hidup sama sekali."

"Lo mikirnya gitu?", tanyanya seakan meremehkan. "Enggak selamanya awan itu bakal terus disitu dan seperti itu. Di saat tekanan udara berubah, dia bakal luruh, berubah menjadi hujan dan jatuh ke bumi. Awan itu makhluk rentan, tau", terangnya.

"Oh, gitu yah? Padahal kalo di lihat, kayaknya jadi awan itu asik banget."

"Kelihatannya doang.."

Aku terdiam, tak melanjutkan pengandaianku. Kubiarkan pikiranku menguap ke langit, menghilang tersapu angin.

"Jadilah bintang..", katanya tiba-tiba.

"Bintang?", kutatap kedua matanya dalam-dalam dengan penuh tanda tanya.

"Iya, bintang.. Ia tetap bersinar meski di sekitarnya penuh kegelapan. Ia bersembunyi dari cahaya matahari yang menyilaukan, namun ia tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya mempersiapkan diri, menjadi seorang bintang terang di waktu yang tepat", Langit tersenyum dan membalas tatapan mataku.

"Bintang itu tempatnya di langit. Ia berada di tahta tertinggi di alam semesta. Bintang engga pernah takut apapun, meski ia sendirian. Ketika sinar matahari semakin menyala, bintang malah semakin bersinar. Emang, dari bumi bintang engga bakal terlihat kalo siang hari. Karena ngeliat keindahan bintang itu engga pantes kalo dari bumi. Angle-nya salah. Coba dari sisi lain. Luar angkasa, misalnya. Bintang bakal selalu kelihatan setiap saat. Bahkan mungkin lebih indah daripada kita melihat dari bumi", tambahnya.

"Jadi maksudnya, gue cuma harus ngeliat bintang dari sisi yang berbeda, gitu?"

"Yap. Bintang bakal kelihatan bersinar bila ia di lihat dan berada di tempat yang semestinya." Langit terdiam beberapa saat, tak melanjutkan perkataannya.

"Atmosfer lo sekarang bukanlah atmosfer yang cocok buat lo. Emang, itu hidup lo. Tapi lo pernah ngerasa hidup dan bahagia disitu? Enggak kan?!", lanjutnya kemudian.

"Bukankah bintang bakal kelihatan bersinar bila malam semakin gelap?", tanyaku.

"So?"

"Dengan masalah hidup gue yang sekarang, harusnya gue bisa lebih kuat ngadepinnya. Bukannya nyerah. Bukannya memadamkan sinar gue."

Langit mengangguk, tersenyum puas dengan jawabanku.

"Tapi suatu saat nanti, gue bakal hidup dengan atmosfer yang benar-benar bisa ngebikin gue bernafas lega. Atmosfer kehidupan yang bikin gue lebih bersinar. Mungkin sekarang rasanya sakit. Tapi bukannya untuk sampai ke puncak, gue mesti ngerasain jatuh dan terluka berkali-kali? Kalo kebahagiaan itu di dapat dengan cara instan, kita enggak bakal ngerasain gimana kerennya sebuah perjuangan. Ya nggak?", aku tersenyum puas. Tiba-tiba saja aku merasa lebih bersemangat.

"Tetaplah menjadi bintang. Tetaplah menjadi diri lo sendiri. Ikuti kata hati lo", Langit mengusap kepalaku. Aku mengangguk.

Demi senyuman mama, demi mimpi-mimpiku, demi Langit, aku bakal berjuang. Mungkin sekarang aku benar-benar merasa sakit, merasa kehabisan nafas, merasa semuanya seakan tak berpihak padaku, namun semua itu kuanggap sebuah kegelapan yang kan terus membuatku bersinar. Seperti bintang di langit. Terus bersinar saat gelap terus menyeruakkan cahaya kelamnya.



****





"Jadilah langitku, yang terus menemaniku bersandar, menghadapi kelamnya kegelapan"