Thursday, March 28, 2013

Edelweiss, Semeru, Kamu



"Mengapa cinta harus di lambangkan dengan bunga?", tanyaku penasaran.

Ku tatap matanya dalam-dalam, mencoba mencari tahu jawaban yang ku inginkan. Namun tak ada jawaban di sana. Dia terus saja melemparkan kerikil ke dalam danau.

"Bukan harus, Nai..", katanya terpotong. Ia mencoba mencari kerikil lagi untuk di lemparkan ke danau.

"Lalu?", aku semakin penasaran dengan jawaban yang tak selesai di terangkannya. Ku gamit jemari pria itu, memintanya untuk menyelesaikan jawabannya.

Akhirnya ia berhenti mencari kerikil dan mulai menatapku. Sejenak ia tersenyum. "Bunga itu indah, romantis dan harum. Mungkin itu alasan orang-orang menjadikannya simbol cinta."

"Tapi bunga kan bisa layu, Giz. Apa cinta juga seperti itu?"

Gizka tak menjawab lagi. Dia tertawa mendengar pertanyaan yang aku lontarkan barusan.

"Mengapa kita harus repot memikirkan soal bunga? Yang penting, bagaimana kita bisa menjaga cinta yang kita miliki. Cinta itu sebuah perasaan yang rumit, juga sederhana, yang ga bisa di lambangkan dengan apapun."

Ia membenarkan posisi duduknya, lalu mengambil sesuatu di saku celananya.

"Bulan depan, aku mau mendaki Semeru. Aku ingin kamu ikut bareng aku."

Pria itu menyerahkan tiket kereta PP padaku. Belum sempat aku berkomentar, dia sudah mulai bicara lagi.

"Jangan tolak, yah. Bulan depan kan kamu udah libur kuliah. Aku udah cek agendamu, dan kamu free di tanggal itu. Jadi, ga ada alasan untuk bilang engga."

"Sejak kapan kamu jadi manager yang mengatur segala kegiatanku?" Aku tersenyum dan menjawab permintaannya dengan anggukan kecil.

****

Sebulan berlalu. Jam 2 siang di stasiun Senen, aku berdiri di depan kereta yang akan mengantarkan kami lebih dekat ke Semeru. Namun pria yang merencanakan hal itu belum juga muncul batang hidungnya. Berkali-kali aku melihat jam tangan untuk membunuh waktu, hingga tiba-tiba pria itu sudah muncul di depanku dengan napas terengah-engah.

"Sori telat. Macet banget!"

"Ga usah banyak alibi deh. Keretanya udah mau berangkat nih. Yuk naik."

Aku berusaha menahan kekesalanku. Rasa khawatir akan ketidakhadirannya telah dikalahkan oleh perasaan lega karena dia kini duduk di sampingku.

14 jam di kereta tak terasa membosankan. Sepanjang jalan, aku menikmati pemandangan alam yang di ciptakan sempurna oleh Tuhan. Hamparan sawah, siluet pegunungan, garis tipis awan, bangau-bangau yang berterbangan rendah, semua tampak sempurna tanpa cela.

****

Ranu Pane. Desa terakhir di jalur pendakian gunung Semeru. Hari sudah sore ketika kami tiba di sini. Setelah berunding dengan senja, akhirnya kami memutuskan untuk mendirikan tenda.

Ku tatap sang mega merah yang mulai tenggelam di ufuk barat. Dari sini, aku merasa semakin dekat dengan alam. Asap lembut yang di tiupkan Semeru ke udara semakin menambah keindahan sore ini. Dan pria yang duduk sambil menyeruput teh hangat di sampingku adalah penyempurna keindahan itu.

"Mata kamu ga sakit terus-terusan ngeliatin aku sambil senyum-senyum gitu?" Kata Gizka yang tetap menyeruput tehnya dan memandang lurus ke arah api unggun.

"Geer banget, sih." Aku yang merasa telah tertangkap basah 'mengawasinya' tak dapat berkilah lebih banyak lagi.

"Kok pipi kamu jadi merah gitu?"

"Apaan sih? Efek api unggun, kali.."

"Yah, beginilah. Nasib punya wajah tampan kayak aku, di pandangin mulu. Hahaha."

"Gizkaaa..!" Sejurus kemudian, aku sudah mencubitinya. Pria itu mengaduh kesakitan. Seketika tawa kami berdua pecah.

****

"Tutup matamu..", katanya lembut.

"Buat apa?", tanyaku cuek.

"Banyak nanya deh. Tutup aja, udah." Pria itu memegang kedua tanganku dan meletakkannya tepat di depan wajahku. "Jangan ngintip!"

Kemudian ia memegang bahuku seraya menuntunku. Dengan penuh rasa takut tergelincir di antara dataran Semeru, aku coba mempercayainya.

"Sampai kapan aku harus tutup mata?"

Aku mulai cerewet menanyainya, karena dari tadi aku hanya melangkah dengan mata tertutup. Semuanya gelap. Tak ada yang bisa ku lihat selain merasakan setiap arahan darinya.

"Diem dulu. Baru juga satu menit."

Kulitku menyentuh beberapa semak yang tumbuh di pinggiran jalur Semeru. Sesekali aku tersandung akar pohon yang mencuat dari dalam tanah, namun dengan sigap Gizka langsung memegangiku lebih erat. Setelah sekian lama berjalan, akhirnya kami berhenti.

"Udah boleh buka mata?" Tanyaku tak sabar. Tak ada jawaban. Aku mulai mengomandoi diriku sendiri untuk membuka mata.

Seketika aku tertegun dengan apa yang ku lihat. Hamparan bunga edelweis membentang di sepanjang pandangan. Bunga yang hanya hidup di pegunungan itu terlihat begitu indah, kecil, namun tetap tumbuh bertahun-tahun tanpa pernah layu.

"Cantik banget..!"

"Edelweis, bunga abadi." Gizka tiba-tiba saja muncul di belakangku sambil membisikkan kalimat itu.

Aku membalikkan badan dan menatapnya. "Jadi ini alasanmu membawaku hingga ke Semeru?"

"Kamu suka?"

Aku tersenyum dan mengangguk.

"Cinta emang ga bisa di simbolkan dengan apapun, termasuk bunga. Namun, rasa itu layaknya bunga edelweis ini, indah. Untuk mendapatkan bunga edelweis yang indah, maka semakin besar resiko yang dihadapi. Sama kayak aku perjuangin cinta aku ke kamu."

Skak mat! Aku tak dapat berkata apapun lagi. Pria di depanku ini membuat bulir air mataku mengalir tanpa permisi. Jemari kami bersatu, mengisi celah diantara jemari yang lain.

"Kamu adalah sesuatu yang telah aku perjuangkan sejak awal. aku ingin, kamu juga yang aku pertahankan hingga akhir."

Di saksikan hamparan bunga edelweis, aku memeluk tubuhnya rapat-rapat. Seakan mengisyaratkan, aku tak ingin kehilangannya lagi.

Wednesday, March 27, 2013

Kamalei


Hai, namaku Kamalei. Aku seorang anak yang terlahir cacat. Amak bilang, aku lahir prematur, 7 bulan sudah menyapa dunia. Mungkin itu sebabnya fisikku berbeda dari teman-temanku yang lain. Aku hanya tinggal berdua dengan amak, di sebuah gubuk kecil di pinggir kota Jakarta.

“Malei..! Pulang nak, sudah senja.”

“Iya, Mak. Sebentar lagi.”

Itu amakku. Ia wanita yang hebat. Setiap sore ia selalu berkeliling menelusuri jalanan, menyinggahi satu rumah ke rumah yang lain, menawarkan dagangannya; air bersih. Di daerahku, sulit sekali untuk mendapatkan air bersih. Meski desa kami di lalui sebuah sungai yang cukup besar, namun airnya tak dapat di gunakan karena sudah tercemar. Airnya berwarna hitam, mengeluarkan bau yang menyengat. Alirannya pun sudah tak jelas, mengarah ke timur atau ke barat. Namun beberapa warga masih saja mau mencuci dan mandi dengan keadaan seperti itu.

Untunglah di dekat rumahku ada sumur yang airnya lumayan jernih. Jadilah amak menimba sumur itu dan mendagangkannya. “Untuk membantu tetangga,” ujar amak. Beliau tak mematok harga untuk setiap sekaleng penuh air jernih. Seikhlas hati saja, karena warga di sini hanya bekerja sebagai buruh. Bahkan sebagian dari mereka hanya pengamen dan pemulung jalanan. Untuk mengeluarkan uang seribu saja pasti sangat berat bagi mereka.

“Dinda, aku pulang dulu yah. Besok kita belajar bersama lagi. Oke?!”

“Oke, Malei.”

Gadis manis yang baru saja aku ajak mengobrol tadi bernama Dinda. Dia temanku. Emm, temanku satu-satunya. Aku tak punya banyak teman di sini. Mereka mengolok-olokku karena aku cacat. Padahal, mereka tak lebih hebat dariku. Hanya saja, mereka bisa bebas bersekolah dan aku tidak.

Aku sangat ingin bersekolah. Memakai seragam, ikut upacara, belajar, pasti seru sekali. Namun mimpi itu terpaksa aku kubur dalam-dalam.

“Kamu mau sekolah di sini? Hahaha. Anak miskin dan cacat sepertimu ga pantas untuk bersekolah di sini. Harusnya kamu ke SLB (Sekolah Luar Biasa) saja. Itu lebih cocok untuk menampungmu. Pulanglah, kamu membuang-buang waktu saja berada di sini, nak. Hahaha!”

Begitulah cercaan yang ku dapat dari seorang kepala sekolah yang menjabat di sebuah sekolah, satu-satunya sekolah di desaku. Aku pulang hari itu. Namun aku kembali di hari berikutnya, dan berikutnya, dan berikutnya. Namun nada suara dan air mukanya tetap sama kepadaku. Terakhir kali aku kembali ke sekolah itu, seorang satpam mengusirku dan mendorongku hingga aku terjerembab di depan gerbang sekolah.

Di perjalanan pulang, ku lihat sebuah poster sisa kampanye cagub-cawagub beberapa bulan lalu. Masih tertulis jelas di poster itu, “sekolah gratis bagi anak tidak mampu.” Andai saja aku bisa bertemu dengan gubernur penebar janji itu, aku ingin bertanya padanya, dimana sekolah gratis yang anda janjikan, Tuan? Apa anda melupakan janji anda? Apa semua orang besar seperti itu? Apa aku tak berhak mendapatkan ilmu dan belajar yang layak seperti anak-anak yang lain?

****

“Kamu belajar bersama gadis itu lagi?”, kata amak seraya menuangkan teh untukku.

“Iya, Mak. Tadi Malei mengalahkan dia dalam soal matematika,” senyumku mengembang, "lalu karena kesal, Dinda mencubit pipiku.” Kataku sambil menunjukkan pipi kananku yang habis di cubiti oleh Dinda.

“Hahaha. Malei.. Malei..”, amak tertawa, lalu mengelus kepalaku. Ah, aku suka sekali kalau amak sudah melakukan ini. Tanpa menunggu detik berikutnya, aku telah berada di pelukan amak.

“Maafkan amak, Malei, tak bisa menyekolahkanmu.”

“Belajar itu tak harus di bangku sekolah kan, Mak. Amak mengajarkan Malei tentang hal yang tak bisa Malei dapatkan di sekolah. Dan Dinda mengenalkan Malei seperti apa pendidikan itu. Malei senang, Mak. Tak usahlah Amak sedih begitu.”

Ku lihat pipi amak basah. Sepertinya perkataanku tadi menyentuh hatinya. Di antara bulir air mata amak, aku berdiskusi dengan diriku sendiri, lalu membuat janji. Sekolah, kelas, papan tulis, guru. Suatu saat nanti, aku akan duduk di situ, memakai seragam dan belajar seperti anak-anak yang lain. Meski aku cacat, tapi aku punya mimpi yang sempurna.

Hai dunia! Kenalkan, aku Kamalei.



Thursday, March 21, 2013

3 Sahabat, 2 Pangeran, 1 Cinta




"Abis ini kita kemana lagi nih?", tanya Naira sambil menghabiskan sisa minumannya yang tinggal setengah botol.

"Temenin gue cari senar gitar dong. Senar si biru udah pada putus", pinta Afdal seraya mengeluarkan dompet. "Santai, minuman lo lo pada, gue yang bayarin deh. Asal lo mau nemenin gue. Ya ya ya!"

"Beeh, perasaan lo baru ganti senar seminggu yang lalu deh, kok udah putus aja?!" Gizka yang baru saja mematikan puntung rokoknya langsung buru-buru mengambil uang yang di sodorkan Afdal sebelum pria itu berubah pikiran, lalu menghampiri kasir dan membayar minuman mereka.

"Yaudah, gue temenin deh. Sekalian gue juga mau liat-liat lensa tele." Naira tersenyum dan menatap Afdal dan Gizka secara bergantian.

"Oke! Yuk cabut!" Gizka merogoh saku celananya, mengambil kunci vespa dan berjalan menuju parkiran. Naira dan Afdal mengikuti.

"Kamu bareng aku aja yah, Nai", kata Gizka lembut seraya menyerahkan sebuah helm vespa berwarna merah kepada Naira yang langsung di balas anggukan oleh gadis manis itu.

"Berangkaaaat!" Deru suara vespa dan motor bebek memecah suasana gerah siang itu.

Tiga sahabat.
Berasal dari tiga latar belakang yang berbeda, tiga jalan kehidupan yang berbeda, tiga kepribadian yang berbeda, namun mempunyai satu tujuan yang sama; mewujudkan mimpi mereka. Meski tak sering bertemu, mereka selalu menyempatkan diri untuk sejenak berkumpul bersama.

Naira, satu-satunya gadis di kelompok ini. Cewe manis yang selalu tampil tomboy ini penggila fotografi. Objek yang selalu jadi sasarannya adalah alam. Tuhan itu desainer plus arsitektur terhebat, dan alam adalah salah satu maha karya-Nya. Alasan apa lagi yang ngebuat gue ga tertarik untuk ngabadiin objek sesempurna itu?, begitulah yang selalu ia katakan.

Dua pangeran.
Gizka dan Afdal adalah anggota lainnya dalam komplotan yang mereka namai "Penantang Mimpi" ini. Dan mereka jugalah dua pangeran itu. Dua pria yang dilahirkan dengan penuh keistimewaan.

Afdal adalah pria yang mempunyai pemikiran kritis dan paling netral diantara mereka bertiga. Bakat terpendamnya akan terlihat bila dia mulai memeluk lekuk tubuh benda seksi berwarna biru; gitar kesayangannya. Pria satu ini dianugrahi 10 jemari yang sangat lihai menari diantara barisan senar si biru. Setiap kali ia mulai berkolaborasi dengan si biru, rerumputan seakan berhenti bergoyang, diam menikmati alunan suara petikan gitarnya. Sayangnya, dia sering ceroboh sehingga senar-senar gitar itu sering putus karenanya.

Gizka, si pria bervespa, punya sisi lain untuk menikmati hidup. Seperti Naira, ia juga pecinta alam. Bukan hanya mengaguminya, Gizka lebih tertarik untuk terjun langsung dan menelusuri maha karya Tuhan itu. Dia suka mendaki gunung, menyusuri hutan dan menikmati sunset dari pinggir tebing curam. Dalam setiap kesempatan, dia suka mengajak Naira ikut menjelajah bersamanya. Dan tentu saja, Naira tak pernah menolak ajakan sahabat baiknya itu. Selain ia bisa menambah koleksi foto-foto alamnya, ia juga bisa lebih dekat dengan Gizka, pria yang entah berapa lama diam-diam telah mengisi tiap ruang di hatinya.

***

"Siang, Bang Tigor. Biasa, satu set senar yah." Sapa Afdal pada Tigor, pemilik toko musik langganannya.

"Bah! Cemananya kau ni? Baru minggu lalu kau beli senar di tokoku, udah balek lagi kau kesini beli senar baru. Nanti orang-orang pada ngira senar yang awak jual tak bagus kualitasnya, padahal kau yang anarkis kali pake barang", omelan logat batak yang sangat tidak diharapkan Afdal di terik siang begini keluar begitu saja dari mulut Bang Tigor.

Naira dan Gizka hanya tertawa geli melihat wajah Afdal yang berubah kecut setelah di sembur Bang Tigor.

"Maap lah Bang, laen kali bakal lebih hati-hati aku..", jawabnya santai sambil mengikuti logat batak bang Tigor.

"Ah, suka-suka kau lah. Ku pikir-pikir, bagus jugalah senarmu itu sering-sering putus. Paling tidak, laku jualan aku ini. Hahaha."

Afdal mengeluarkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan dan mengambil satu set senar yang di sodorkan bang Tigor. "Thanks yah bang!"

Selanjutnya mereka meluncur ke toko kamera. Mata Naira seketika bersinar melihat lensa Canon yang selama ini ia idamkan terpajang anggun di dalam sebuah lemari kaca. Kini baris senyumnya juga ikut melebar dan terlihat manis, saat melihat lensa idamannya itu tengah turun harga.

"Tunggu apa lagi? Buruan beli." Bisikan setan dari Gizka membuatnya melenggang masuk ke dalam toko tersebut, menunjuk lensa yang dia inginkan dan menggesekkan kartu ATM; tabungannya selama ini, di mesin kasir. Tak sampai 10 menit, Naira keluar dari toko itu sambil menimang sebuah lensa tele idamannya.

"Ciyeeeh, lensa baruuu," ledek Afdal.

"Gilaa, harusnya gue baru bisa dapetin ini dua bulan lagi. Secara tabungan gue masih belum cukup. Untung banget senar lo putus, Af, jadinya gue bisa beli nih lensa."

"Harusnya lo bilang makasih ke gue. Kalo ga ada bisikan setan gue, lo ga kan terhasut buat beli tuh lensa." Gizka mengangkat dagunya cukup tinggi, bergaya sok cool.

"Iya deeh, gue makasih banget ama lo berdua, pangeran-pangeran kere. Hahaha."

"Selamat yah, si item punya lensa baru." Secara spontan Gizka mengusap kepala Naira. Usapan yang membuat hati Naira seketika berdesir tak karuan.

"Fotoin aku dong pake lensa baru kamu", lanjutnya lembut sambil menatap lurus ke dalam mata Naira. Pandangan mereka bertemu, kemudian saling tersenyum.

Naira segera men-setting timer di dSLRnya. "Camera rolling aaanndd..", dengan sigap Naira menghampiri kedua pria itu yang telah siap memasang pose paling kece mereka, "..cheeeeese..!"

***

Naira berlari secepat yang ia bisa tanpa mempedulikan sudah berapa orang yang ia tabraki di lorong bandara sore itu.

"Bodoh! Mengapa tak mengabariku?", air matanya mulai berjatuhan bersama peluh keringatnya. Di antara keramaian, akhirnya ia melihat Afdal.

"Gizka mana?", katanya dengan napas terengah-engah.

"Baru aja masuk. Pesawatnya udah mau terbang."

"Kenapa gue ga di kabarin?!" Naira menatap Afdal dengan tajam. Mata itu terus berair, meski Naira telah berusaha menghapusnya berkali-kali.

"Gue kira lo udah tau.." Nada suara Afdal terdengar menyesal. "Bukannya lo berdua deket banget?"

Naira memeluk Afdal dan menangis sejadinya. Bendungan yang selama ini ia tahan akhirnya pecah.

"Maafin gue ya, Nai. Gue ngerti kok perasaan lo."

"Kenapa selalu elo yang ngerti sih, bukan dia?"

"Anggep aja lo ditakdirkan jadi pejuang cinta yang hebat."

"Gue ga ngerti, kenapa gue mempertahankan perasaan gue buat dia yang begitu misterius?"

"Kalo ngga ada hal seperti itu, buat apa ada kata "sabar" dalam kosakata?" Afdal mengambil sapu tangan dari saku celananya. "Nanti pasti ada waktunya kok..", katanya seraya menyerahkan sapu tangan itu kepada Naira.

"Kapan kita tau kita sabar ke orang yang tepat?", Naira terduduk lesu di pinggiran koridor. Afdal  mengambil tempat di samping Naira. Ia melihat sudut mata gadis itu, yang kini kosong karena objek yang selalu mengisi celah itu telah pergi.

"Ketika kita tak cepat lelah melakukan itu, Nai. Ga akan ada yang namanya sia-sia, kalo elo ngelakuin itu dengan ketulusan."

Afdal hanya bisa menenangkan hati Naira, seperti yang selalu ia lakukan selama ini. Ia mengerti bagaimana gadis itu menahan perasaan yang selama ini ia tujukan hanya pada Gizka. Ia paham dengan segala curhatan yang selalu Naira tumpahkan padanya tiap malam, dan topik itu tak lepas dari Gizka. Ia tahu, bahwa hanya Gizka, sahabat terbaiknya, yang selalu Naira jadikan objek fotonya, secara diam-diam. Dan seperti selama ini, ia hanya ingin sahabat baiknya itu tersenyum, bukan menangis seperti yang sedang dilihatnya sekarang.

Naira menghapus air matanya, mencoba tersenyum. Kini ia harus belajar mengikhlaskan sesosok sahabat yang mungkin menempati kasta yang lebih tinggi di hatinya, pergi mengejar cita-citanya. Amerika. Negara yang akan di naungi Gizka selama bertahun-tahun untuk mempelajari budaya negri Paman Sam itu.

Tanpa sempat mengucapkan kata pisah, tanpa sempat menjelaskan arti senyuman yang selama ini selalu diciptakannya hanya untuk Naira, tanpa sempat menatap wajahnya yang mungkin untuk terakhir kali, Gizka membawa rasa ketidakpastian itu terbang bersamanya. Di tangannya tergenggam sebuah foto; dua pangeran dan satu gadis manis yang tersenyum di antara mereka.

Satu cinta.
Tak semua rasa itu harus di ungkapkan, namun cukup di rasakan. Pada akhirnya, hanya waktu yang akan menjawab semua pertanyaan kita, kapan kita harus lanjut, atau berhenti memperjuangkan hati dan perasaan ini untuk dia.

Namun seberapa jauhpun waktu melangkah, takkan ada yang berubah. Penantang Mimpi tetaplah berisi tiga sahabat yang selalu diiringi kegilaan, meski orang-orang di dalamnya tak lagi berada di tempat yang sama. Dua pangeran tetaplah menjadi pangeran di hati Naira. Dan satu cinta takkan pudar rasanya, bila setiap rasa itu di hiasi dengan ikhlas dan ketulusan.

Wednesday, March 20, 2013

Kamu Sibuk, Tuan?



Di sela hiruk-pikuknya kesibukan dunia kantor, aku memutar arah kursiku ke jendela ruangan, menatap Jakarta dari lantai 29 dimana kantorku berada. Sejenak melepas penat, ku dekati pandanganku pada burung-burung yang tak sengaja terbang melintas langit yang kini tampak semakin gelap. Sepertinya hujan akan segera turun. Burung-burung itu mengepakkan sayapnya dan meluncur dengan cepat, kembali pulang.

Ku terka, mereka sudah menjelajahi langit di sepanjang hari ini. Jauh dari rumah, jauh dari keluarga yang senantiasa mengkhawatirkan mereka, juga menyelipkan doa untuk keselamatan mereka. Burung-burung kecil itu terbang menembus awan, seakan langit tak berujung itu menjadi arena yang sangat nikmat untuk di cicipi. Bermanufer kesana kemari, menantang bahaya yang siap menelan mereka bulat-bulat.

Meski begitu, sang induk tak pernah melarang mereka menjadi pengembara langit. Mungkin induknya telah memahami bahwa anak-anaknya takkan sehebat sekarang bila mereka terus di pingit dan di kurung walau dalam sangkar emas sekalipun. Mungkin induknya telah mengikhlaskan anak-anaknya untuk pergi hingga ke seluruh penjuru manapun yang ingin mereka jejaki, meski hal itu akhirnya menciptakan jarak yang terus merentang panjang, jauh dan dingin. Semakin dingin dan beku ketika mereka tak saling berkabaran.

Seketika aku tertawa geli atas pemikiranku barusan. Bagaimana para burung berkomunikasi dalam jarak ribuan kilometer? Mereka tak punya handphone seperti manusia. Mungkin keikhlasan itu. Ikhlas melepas, ikhlas dengan ketidaktahuan, ikhlas dengan rentangan jarak. Pada akhirnya, kemanapun burung-burung kecil itu mengudara, apapun yang akan mereka temui di perjalanan mereka, hanya satu tempat yang akan selalu mereka rindukan, dan nantinya tempat mereka kembali; rumah, berkumpul dengan induknya.

Mataku menerawang luas. Langit Jakarta semakin gelap. Gemuruh mulai bertabuh silih berganti. Ku ganti pandanganku ke sebuah benda putih yang tergeletak kaku di samping komputerku. Benda yang ku kenal dengan nama handphone itu tampak begitu dingin dan sendu. Tak ada led hijau yang menyala; led yang hanya ku khususkan untuk setiap notifikasi darimu. Beberapa hari ini benda putih itu tersungkur, naas sekali. Aku mulai mengasihani tubuhnya yang dingin, tak tersentuh hangatnya jajaran pesan yang dulu sering kamu kirimkan.

Genggaman jariku mungkin cukup membantu. Ku buka history chat darimu, mungkin saja hal itu akan membuat tenang perasaan si putih yang terus merindukanmu. Aku ikut tertawa membaca setiap tulisanmu yang begitu konyol. Sepertinya aku jauh lebih merindukanmu melebihi si putih.

Aku mencoba bersikap tenang dengan ketiadaan kabarmu, meski hatiku bergejolak hebat. Beribu-ribu pertanyaan kucoba tekan dengan sangat rapat agar ia tak membuncah memecah tangisku.

Kamu sibuk sekali yah? Ya, aku cukup mengerti. Kamu adalah sesosok pria yang begitu memperjuangkan masa depanmu. Kamu sosok pekerja keras yang tak peduli aral. Kamu begitu ingin membawa mimpi-mimpimu ke dunia nyata. Bukankah begitu, Tuan? Kejarlah. Jadilah seperti apa yang kamu inginkan. Aku mendukungmu. Sungguh.

Kesibukanmu itu mungkin telah menggeserkan posisiku dari sel-sel di otakmu, hingga aku tak lagi sempat terpikirkan. Kesibukanmu itu mungkin membuatmu sangat lelah, hingga sebuah kabarpun tak sempat kamu kirimkan padaku. Tak mengapa, aku akan segera terbiasa dengan ini. Aku hanya sedang berusaha ikhlas, seperti induk burung itu. Kamu tetaplah begitu, bersinar dengan apa yang sedang kamu tekuni. Pada akhirnya, saat kamu merasa rindu, aku berharap kamu akan kembali menyapaku.

Hujan telah membasahi tiap sisi Jakarta. Burung-burung itupun tak terlihat lagi. Mungkin mereka telah tiba di sarangnya. Mataku juga menurunkan hujan, sayup-sayup membasahi wajahku. Namun mengapa kamu belum juga kembali? Apa kamu tersesat di tengah perjalananmu, Tuan?




Monday, March 18, 2013

Puzzle




Berkali-kali aku melihat jarum jam tanganku, berharap ia tak terlalu cepat berputar dan mengisyaratkan bahwa siang akan segera berganti tugas dengan senja. Sesekali aku mengetukkan sepatuku ke lantai angkot yang kini ku naiki agar rasa resahku berkurang. Namun semuanya tak membuat aku merasa lebih baik. Ingin rasanya aku turun dari kendaraan kaleng ini, dan berlari secepat yang aku bisa; ke kotamu.

Kota itu tak terlalu asing bagiku. Sewaktu kecil, aku sering melewatinya. Namun baru kali ini aku benar-benar menyinggahinya. Ada rasa asing yang tiba-tiba menyeruak dalam hatiku. Tak ada yang ku kenal di sini selain kamu. Namun dimana kamu? Entah berapa kali wanita cantik yang berbicara padaku dan mengatakan bahwa nomormu tak dapat di hubungi. Aku mulai tak dapat mengontrol emosi. Bukan marah, aku hanya tak ingin usahaku menemuimu sejauh ini, segila ini, senekat ini, hanya berakhir sia-sia.

Ku coba menelponmu sekali lagi. Ah, untunglah tak lagi wanita itu yang menjawab telponku. Suaramu yang menelusuri tiap lekuk rongga telingaku terdengar parau. Suara khas orang yang baru bangun tidur. Aku tersenyum kecil; sudah ku duga.

Terkadang aku jengkel dengan rutinitasmu itu. Kamu sering meninggalkan percakapan kita karena kamu tertidur di siang hari dan akan terbangun dikala senja. Menyebalkan memang, ketika seseorang yang tak bisa selalu kamu temui, seseorang yang hanya bisa kamu peluk lewat tulisannya, seseorang yang berjarak ribuan kilometer dari tempatmu berada, membiarkanmu menunggu balasan sms dan BBM darinya berjam-jam, dengan penuh harap, dengan rasa khawatir, dengan berjuta rasa penasaran. Tapi itu jauh lebih baik daripada kamu mengetahui dia mengacuhkanmu karena dia ada urusan dengan wanita lain. Benarkan?

Senyumku melebar ketika ku lihat siluet tubuhmu berada hanya beberapa meter dari tempatku berdiri. Ku dekati kamu, memastikan bahwa pria yang saat ini berada di depanku benar-benar dirimu.

"Kamu ngapain kesini?"

"Untuk menemuimu, bodoh!", kataku dalam hati. Aku tersenyum kecut dan duduk di trotoar, tepat di sampingmu. Aku memperhatikan jalanan, tak kunjung menatap wajahmu yang sudah sangat ku rindukan. Pertanyaanmu barusan agak membuatku jengkel. Apa kamu tak mengharapkan kedatanganku? Apa memang semua yang ku lakukan ini hanyalah sia-sia? Apa harusnya aku tak pernah datang ke kotamu? Menemuimu?

"Kamu sama siapa kesini? Naik apa tadi? Kok sendirian aja? Kenapa ga minta di temenin? Udah makan?"

Ia melontarkan bertubi-tubi pertanyaan padaku. Kini aku mengerti, ia hanya mengkhawatirkanku atas kenekatan ini. Ku palingkan muka dan mulai menatapnya, tepat di depan kedua matanya, "aku merindukanmu", kataku mantap.

Tak banyak kegiatan yang kita lakukan di sore ini. Hanya duduk, menatap jalan lintas kota yang banyak dilewati mobil dan beberapa truk. Namun kian banyak truk yang melintas dan menerbangkan debu-debu jalanan, aku kian menyukai senja ini, karena ada kamu di antaranya.

Sinar jingga matahari yang hangat jatuh tepat diwajahmu, membuatmu terlihat makin sempurna diantara sela-sela ceritamu. Aku menyukai itu. Ketika kamu merangkai kata demi kata menjadi sebuah kisah perjalanan hidupmu yang terdengar begitu menyenangkan di telingaku. Selalu ada senyum dan sesekali tawa kecil di setiap akhir ceritamu. Aku suka itu. Mendengarkanmu, menatap mata beningmu, memperhatikan senyummu. Terkadang aku ikut tertawa dengan kisah konyolmu. Sungguh, aku benar-benar menyukai itu.

Satu setengah jam berlalu dan pertemuan singkat ini harus ku akhiri karena matahari semakin bersembunyi di ufuk barat.

"Kamu hati-hati di jalan yah.."

Sekali lagi, entah bagaimana, kamu membuatku semakin menyayangimu. Sayang yang muncul secara sederhana. Perasaan yang bergelayut dalam rongga dadaku, semakin membesar dan memenuhi syaraf otakku tiap kali bayangmu hadir menyapaku.

Kamu istimewa, kamu berbeda, kamu luar biasa. Kata-kata itu yang selalu memekik keras di hatiku. Kamu pandai bercerita dengan sangat baik, sedangkanku hanya mampu menuliskan kisahku. Kamu mampu membuatku tertawa, sedang aku hanya mampu tersenyum tiap kali mengingatmu. Kamu mampu mencairkan suasana, sedangkan aku hanya terpaku diam tiap kali berhadapan denganmu. Kamu mampu membuat setiap sel di otakku dipenuhi dengan namamu, sedangkan aku, aku bahkan tak tau bagaimana cara membuatmu merindukan aku. 

Mungkin aku yang telah menemukanmu. Mungkin juga kamu yang telah menemukanku. Atau mungkin Tuhan yang telah mempertemukan kita. Seperti kepingan puzzle terakhir, kamu menyempurnakanku.

Sunday, March 17, 2013

Tujuh Belas Dan Kamu



Selamat pagi, Mr. Koala. Semoga kamu tak bosan menerima salam pagi dariku, seperti aku yang tak pernah bosan menyelipkan namamu di setiap doaku.

Tujuh belas. Kita bertemu lagi di tanggal itu. Tanggal yang penting menurutku, namun mungkin tak berarti apapun bagimu. Tuan, biarkan aku menulis tentang ini. Aku ingin membawamu merobek masa dua bulan silam, tepat di tanggal 17 Januari 2013. Mungkin kamu tak ingat, namun bagiku, rasanya peristiwa itu baru terjadi kemarin.


17 Januari 2013.

Banyak orang yang akan mengenang tanggal itu. Namun bukan sebagai hari yang baik, terlebih untuk warga Jakarta. Banjir besar melanda ibu kota pemerintahan Indonesia ini. Air mengepung dan menggenangi seluruh daratan, termasuk wilayah sekitar rumahku. Tak ada yang mampu ku lakukan selain terduduk diam di rumah. Jakarta telah di sulap menjadi waterboom raksasa, begitulah yang ku lihat dari kotak kaca dan deru berita yang menghiasi suasana pagi ini.

Namun tidak seburuk itu bagiku. Bercengkrama denganmu membuat tujuh belas itu terasa begitu manis. Walau aku tak dapat mencubit lenganmu ketika kamu terus saja meledekku, walau aku tak dapat mendengar tawamu ketika kita bersama-sama menertawai hal bodoh, walau aku tak dapat bersandar di bahumu ketika asa ini terus meluap liar.

Jakarta terus tenggelam, begitupun aku; tenggelam dalam rajutan kata bersamamu.

"Kita pacaran aja yuk!" Sederetan kata darimu yang cukup mengagetkanku.
Betapa tidak, kalimat itu begitu santai terlontar dari layar ponselku. Dengan keadaan riuh banjir kota Jakarta, dengan percakapan kita yang jauh dari cinta, kata itu muncul tiba-tiba. Aku suka.

Disaksikan genangan air keruh yang membanjiri ibu kota, dan hawa basah yang berhembus dingin, ada kehangatan dan jutaan rasa yang menari di balik arus air yang mengalir tak tentu arah.

Cinta itu sederhana. Tak perlu moment spesial ataupun tindakan yang romantis untuk menyatakannya. Bahkan euforia banjirpun dapat menjadi pilihan yang cukup gila untuk menyatakan cinta. Dan mencintaimu adalah hal tergila yang pernah aku lakukan.

Thursday, March 7, 2013

Aku, Kamu, Sama!



"Kenapa kamu kembali?!", tanyaku tajam yang langsung menusuk hatinya.

Ia terdiam cukup lama. Pandanganku lurus ke depan, tak melirik dia yang sejak tadi duduk di sampingku. Aku tak ingin menatap mata itu lagi, mata yang selalu berhasil membuatku luluh. Mata yang berhasil membuatku tak ingin berpaling. Mata yang sanggup membuatku mengatakan bahwa aku mencintainya.

"Mengapa kamu begitu sinis padaku?", tanyanya lembut.

"Sinis katamu?!"

Kali ini aku benar-benar menatap mata hitam kecoklatan itu. Pandangan kami bertemu. Cahaya dari penerangan lampu taman yang redup membuatku samar melihat wajahnya. Ia tak berubah, wajah yang sama yang ku temui beberapa bulan yang lalu. Namun kini aku benci melihat wajah itu. Setiap lekuk pipinya membuat masa lalu kembali mencabik-cabik ingatanku.

****

Semuanya masih tergambar jelas. Ketika dia pertama kali menggenggam jariku. Ketika dia mengatakan bahwa dia juga mencintaiku. Hari itu menjadi salah satu hari terindah dalam hidupku. Dekapan hangat yang tak bisa aku lupakan, seolah aku menemukan sebuah sandaran hati yang begitu nyaman, hangat dan tak pernah ingin aku lepaskan. Sebuah rasa yang muncul dari kecil sekali, semakin lama semakin membesar. Rasa yang hanya aku tujukan untuk dia. Sebuah rasa yang didalamnya terselip doa agar dia selalu bahagia.

Dia selalu ada mengisi celah di hari-hariku. Selalu memberiku semangat dengan senyumannya yang begitu manis, menurutku. Semua berjalan seperti hembusan angin di padang rumput; sejuk dan menyenangkan. Meski tak ada ikatan dalam hubungan ini, namun aku cukup bahagia karena aku memiliki hatinya. Setidaknya untuk beberapa saat, sebelum aku tau kalau semua perkataan dan perlakuannya hanya kebohongan semata.

Dia tak pernah mencintaiku. Itulah kalimat yang pertama kali dia tusukkan tepat di jantungku. Aku meringis, mengasihani diriku sendiri. Betapa bodohnya aku, begitu percaya dengan segala bualannya. Aku berharap kamu tak pernah membuat janji bila kamu tak mampu mewujudkannya. Karena bersamaan dengan janji, ada harapan yang mengiringinya. Harapan yang percaya bahwa janji itu akan terjadi suatu saat nanti. Suatu saat, entah kapan saat itu tiba.

Aku membiarkannya mengendap pergi, bersama gadis itu, gadis yang sangat disayanginya; bukan aku. Perlahan ku susun kembali bingkai demi bingkai kehidupanku. Cukuplah malam itu saja aku merasa sakit yang luar biasa. Menguras air mata untuk kesalahan konyolku hanya akan membuatku semakin terlihat konyol. Karena dalam mencintai seseorang, haruslah dengan rasa ikhlas, sehingga kita takkan merasa sakit bila pengharapan akannya tak pernah sampai.

Ikhlas. Sungguh sulit bagiku untuk mengikhlaskan cinta ini memudar. Bayanganmu terus saja muncul di celah kosong tiap molekul di otakku. Semakin aku berusaha lupa, semakin kuat ia mencengkramku. Seiring itu pula, rasa benci muncul di hatiku. Yah, aku membencimu karena aku tak bisa tidak mencintaimu. Bodohkah aku? Mungkin. Aku telah menjadi bodoh sejak pertama kali hatiku mengenalmu.

****

Aku dan dia masih terpaku di bangku taman. Ku tatap beberapa burung di langit yang terbang beriringan, pulang menuju sarangnya. Langit jingga kini tak terlihat lagi, berganti dengan langit gelap tanpa bintang. Tak ada suara yang timbul selain degub jantungku yang semakin jelas ku dengar.

Pria itu berdiri. Sepertinya ia kesal karena daritadi aku mengacuhkan segala kalimatnya. Meski begitu, sebenarnya aku mendengar setiap kata yang ia ucapkan. Ada rasa senang di hatiku ketika dia berkata bahwa ia tak lagi bersama gadis itu. Aku tak tau apa yang terjadi dengan hubungan mereka. Aku melirik sudut matanya, ada kesedihan dan kekecewaan disana. Seperti yang pernah aku alami beberapa bulan yang lalu.

Mungkin aku mengerti. Dia juga sama sepertiku, ingin memperjuangkan cinta yang diam-diam menggerogoti hati dan pikiran. Ingin merasakan kebahagiaan saat rasa yang kita pelihara itu juga dirasakan olehnya, yang namanya selalu ada dalam doa yang kita rapalkan di setiap sujud. Dia sama sepertiku, belajar ikhlas untuk mencintai, bukan terus menerus mengharapkan.

Kini ia berlutut di depanku, menggamit tanganku dan memasangkan sebuah cincin di jari manisku.

"Aku ingin mencintaimu.."

Aku tak berusaha melepas lingkaran cincin itu. Entah mengapa, aku ingin mempercayainya sekali lagi. Ada ketulusan yang aku lihat di matanya. Mungkin sudah saatnya aku belajar memaafkan. Aku ingin menyembuhkan rasa sakit ini bersamanya. Cinta itu bodoh. Mencintaimu adalah kebodohan yang kedua. Namun aku akan memilih menjadi seorang yang bodoh, hanya untuk melihat sebaris senyum terus menggantung diantara pipimu.

Wednesday, March 6, 2013

Yang Mereka Sebut Maya


Hanya sekali. Kita menyaksikan matahari terbit di timur, dan menghabiskan hari itu hingga pangeran siang digantikan tugasnya oleh ratu berwajah pucat yang kita namai bulan. Pertama kalinya, aku melihat baris wajahmu secara nyata. Senyum yang selalu muncul di garis bibirmu, tawa yang selalu kamu ciptakan di akhir celotehmu, juga sorotan tajam dari matamu yang jatuh tepat di depan mataku.

Aku hanya diam. Mencoba mangacuhkan rasa rindu yang semakin mengganggu, setiap kali aku membaca jejeran huruf yang kamu kirimkan di sela hari-hariku. Namun aku tak pernah berhasil. Bayangmu selalu berhasil menarikku untuk mencicipi rasa ini. Rasa yang hanya bisa memudar ketika jarimu mengisi setiap sela jariku; pertemuan.

Kamu di sana, di sebuah kota yang dinaungi istana yang kini kehilangan masa jayanya. Sedangkan aku disini, kota dimana roda pemerintahan negara berputar dalam sebuah gedung putih. Beribu jarak terbentang memisahkan kita. Tak ada yang mampu aku lakukan selain memeluk kata-kata dan suaramu. Sesekali aku memandang langit, berharap kamu juga melakukannya. Setidaknya, kita berada di bawah langit yang sama meskipun kita memandangnya dari tempat yang berbeda.

Entah bagaimana kamu menamai hubungan ini. Sebuah kata yang kamu ucapkan dari percakapan konyol kita. ketika aku dan kamu, menggenggam janji yang mungkin orang lain takkan mengerti; kita. 

Aku akan segera pulang; menemuimu. Bisakah sejenak kamu duduk disampingku? Aku ingin menunjukkan pada mereka kalau cinta yang kita jalin secara maya, bukanlah cinta yang fana. Ada buih-buih rasa yang membumbung tinggi hingga mengetuk pintu nirwana. Cinta ini tak bersifat maya seperti ruang yang kita gunakan untuk menyatukannya.

"Janji kelingking?"
"Janji kelingking."
Sesederhana itu, cerita kita tercipta.

Tuesday, March 5, 2013

13 Heksa




"Pengen banget yah?"

"Udah dari dulu..", aku membereskan beberapa buku yang berserakan di meja, lalu menatap Arinda kembali, "tapi ga pernah kesampean".

"Kalau gitu beli lah.."

Ku sodorkan jejeran angka yang ku tulis di buku agendaku tadi tepat di hadapan Arinda, "lebih besar pasak daripada tiang, Rin.." Aku melongos lesu.

"Sejak kapan seorang Naira jadi manusia pesimis gini?"

"Sejak realiti mengalahkan mimpi-mimpiku"

"Hahaha!" Arinda tertawa meledek.

Aku hanya tersenyum ketus sambil menjitak lembut kepalanya. "Ah elu ngeselin deh!"

Arinda mengambil kalender duduk yang selalu terpajang rapi di meja kerjaku. Di tunjuknya sebuah tanggal yang aku lingkari dengan simbol hati lengkap dengan sebuah note 'my 13 hexa'.

"Nih, masih ada beberapa bulan lagi. Nabung doong. Ngeharapin kado dari orang-orang di hari ulang tahun itu udah mainstream banget. Kenapa kamu ga bikin sesuatu yg spesial untuk dirimu sendiri di tanggal itu?", Arinda berbicara dengan semangat berkobar-kobar.

"Apaan sih lo? Berisik deh!", aku mengambil kalender itu dan meletakkannya kembali.

"Batu deh! Ya udah, gue cuma nyaranin. Kalo lo mau ngikutin ya alhamdulillah, kalo kagak, gue paksa lo buat nurut. Hahaha."

"Yee, rese!" Aku mencubit tangan Arinda. Gadis itu melompat-lompat kesakitan. Dia membalas dengan mencubitku lebih keras. Seketika suara tawa kami membahana keseluruh penjuru kamar.

Ku lirik lagi sebuah tanggal yang tampak begitu bersinar di kalender dudukku. "13 heksa..", gumamku.

Sebenarnya, tanpa sepengetahuan Arinda, aku udah membuat sebuah rencana untuk merayakan tanggal itu. Hari dimana angka 18 akan digantikan oleh angka 19. Aku semakin tua saja. Dan kali ini, aku emang pengen ngelakuin sesuatu yang berbeda. Setidaknya aku ingin membuat hari itu menjadi spesial untuk diriku sendiri. Buat apa berharap banyak pada orang lain bila kita bisa menciptakan kebahagiaan kita sendiri? Ku tatap sebuah gambar yang terselip diantara buku agendaku. "See you on my birthday." Ku dekap gambar itu erat, seakan aku benar-benar sedang memeluk wujud nyatanya.

****

Kriiing! Kriiing!

suara alarm dari hapeku berhasil memaksaku bangun. Sudah jam 06.30 pagi, namun mataku masih sangat mengantuk. Pasalnya, aku baru tidur jam 4 pagi tadi. Tepat jam 12 malam, Arinda dan teman-temanku yang lain membuat kejutan yang konyol. Mereka berpakaian serba putih dengan wajah berlumuran bedak, lalu menakutiku hingga aku meringis.  Sepertinya mereka tau banget kalo aku takut sama hal mistis kayak gitu. Yak, mereka berhasil membuatku ingin melempar mereka dengan CPU.

Setelah itu aku digeret ke ruang tengah. Semua lampu dimatikan. Gelap sekali. Tak berapa lama, Arinda membawa kue kecil seukuran cupcake yang berhias lilin angka 0 diatasnya.

"Kok angka nol sih?", aku bertanya heran.

Arinda tersenyum, "dimulai dari nol yah!", katanya sambil memperagakan slogan khas pertamina itu.

Aku tersenyum haru. Namun dari semua itu, aku masih mengharapkan satu kejutan lagi.

****

Telunjukku terus saja mengetuk meja, menunggu seseorang yang sejak tadi ku nantikan. "Lama banget sih!" Tak lama terdengar seseorang mengetuk pagar rumah.

Itu dia!
Aku segera melompat dari ruang tamu dan membukakan pintu. Kehadiran pria itu langsung ku sambut dengan senyum sumringah. Setelah menandatangani sebuah berkas, ia menyerahkan sebuah box persegi berukuran sedang.

"Makasih ya, Mas", kataku pada kurir JNE itu.

Tanpa aba-aba, aku langsung membuka kotak itu secara perlahan. Sebuah benda hitam tampak duduk manis diantara sterofoam yang memeganginya kokoh. Dengan hati-hati dan rasa yang campur aduk, ku ambil benda itu dan mulai menjajalnya. Mata kiriku kini sudah menempel di viewfindernya. Lensa itu kuputar ke kiri dan kanan, berusaha mencari fokus manual.

Ciklek!

Foto pertamaku terpampang di layar; strip merah bertuliskan Canon.

"Selamat ulang tahun, Naira", bisik hatiku mantap.



Friday, March 1, 2013

Kelingking

"Kebesaran..!", pekik Kiena sambil melepas sebuah cincin polos yang melingkar di jari manisnya.

"Tidak mungkin. Ukurannya pas dengan kelingkingku", Galvin mengambil cincin itu dan mencobanya di jemarinya.

Kiena menghembuskan napas seraya menenggelamkan punggungnya di sofa. Dibuangnya pandangan ke arah langit-langit yang didominasi cahaya kuning temaram dari sinar lampu kristal yang menggantung di tengah ruangan.

"Harusnya aku ikut, kemarin", suaranya tipis namun cukup jelas di pendengaran Galvin.

"Pernikahan kita masih ada satu bulan lagi kok. Besok pagi kita kembali saja ke toko perhiasan itu, minta ukuran cincin yang pas buat kamu", tukas pria itu seraya mendaratkan telapak tangannya di kepala Kiena, membelai rambut wanita itu dengan lembut.

Kiena menatap pria di sampingnya. Mata bening berwarna coklat, hidung mancung, lekuk pipi yang terlihat kekar namun teduh, bibir tipis yang selalu berhias senyum. Wajah sempurna dari seseorang yang akan menjadi imam hidupnya, sebulan lagi.

Tangan kiena mulai menyelusuri jemari pria itu, hingga akhirnya sela jari mereka terisi satu sama lain. Sebuah anggukan dan sebaris senyum darinya membuat pria itu tampak bersemangat.


****

Drrt.. Drrt..
Handphone Kiena bergetar. "Mama", begitu tulisan yang terpampang di layarnya.

"Mama nelpon, aku angkat bentar yah..", bisik Kiena pada Galvin yang sedang sibuk mencocokkan ukuran cincin pernikahan mereka. Setelah isyarat oke dari Galvin diluncurkan, wanita itu beranjak keluar toko.

"Iya, Ma?"

"Mama denger cincin pernikahannya kebesaran yah di tangan kamu?"

"Iya Ma, longgar dikit."

"Kamu sih kemarin ga ikut kita waktu pengukuran."

"Maaf Ma. Kemarin aku bener-bener sibuk ama urusan kantor."

"Kamu lebih mentingin kantor apa pernikahan kamu yang tinggal sebulan lagi?!", nada suara mama meninggi.

"Kantor itu kehidupan aku, Ma", Kiena mencoba mengatur nada bicaranya. Ia tak senang bila urusan kantor dan Galvin harus dijadikan topik perbandingan. Baginya, kedua hal itu sama pentingnya. Galvin adalah pria yang sangat dicintainya sejak 5 tahun yang lalu. Pria yang selalu ada di setiap hari-harinya, bahkan di saat tersulit sekalipun. Dan kantor adalah kehidupannya. Orang-orang takkan mengerti mengapa dia begitu mencintai kantornya. Ada hal yang sangat mengikat hatinya di tempat itu. Seperti sebuah payung yang selalu melindunginya dari rintik hujan. Namun kini ia sedang berbicara dengan mamanya, tak mungkin ia membentak wanita yang telah mempertaruhkan seluruh hidupnya pada Kiena itu.

"Sudahlah, mama tak ingin berdebat lagi soal ini. tinggal sebulan lagi nak, cobalah fokus pada pernikahan kalian", kata mama mengakhiri pembicaraannya.

"Iya Ma.."

Kiena ingin berbalik memasuki toko perhiasan ketika ia tiba-tiba di tubruk oleh seseorang. Wajahnya terhempas ke tubuh orang itu. Sejenak ia dapat menghirup parfum yang dipakainya. Harum yang khas, yang dahulu sangat ia kenal.

"Maaf udah nubruk kamu", Kata pria yang mengenakan hoodie abu-abu dan kupluk di kepalanya itu.

"Aku yang minta maaf, jalan ngga liat-liat", tatapan mereka bertemu. Kini wajah pria itu terlihat lebih jelas. Mata hitam yang tegas, seperti sebuah mata yang dahulu sangat dikagumi Kiena. Ia tak mengira bahwa kini ia bertemu lagi dengan sosok itu.

Tanpa pamit, pria berhoodie itu segera meninggalkan Kiena. Derap langkah kakinya yang berlari kecil cukup menggambarkan bahwa ia sedang terburu-buru. Kiena terus memandang punggungnya hingga menghilang di persimpangan jalan. Seketika satu persatu sketsa masa lalu melintas di otaknya.

"Hei Kie. Lagi mandangin apa?", Galvin yang kini telah berdiri di sampingnya membuyarkan lamunan Kiena.

"Oh, bukan apa-apa. Udah?"

"Udah. Nih..", Galvin mengangkat sebuah tas kertas kecil berisi sepasang cincin pernikahan mereka yang baru. "Ke cafe Ragusta yuk."

"Yuk!"
****

Mereka sampai di sebuah cafe ice cream yang tak jauh dari toko perhiasan tempat mereka membeli cincin tadi. Setelah bertegur sapa sejenak dengan seorang pelayan yang mereka kenal akrab, mereka langsung menuju sebuah meja di sudut cafe. Meja yang selalu mereka tempati tiap kali mereka datang ke cafe ini. Tanpa perlu memberi pesanan, seorang pelayan tadi langsung menyodorkan dua porsi ice cream. Dua scoop ice cream vanilla milik Kiena dan dua scoop ice cream coklat bertabur almond milik Galvin.

Kiena yang sangat suka dengan ice cream langsung menyantap hidangan di depannya itu.

"Pelan-pelan dong Kie, makannya", Galvin menyapu sudut bibir Kiena yang belepotan es krim dengan jempolnya. Kiena tersenyum malu, membuat lesung pipit di pipinya terlihat jelas. Sinar matahari yang menembus kaca jendela sore itu semakin menambah pancaran kecantikan Kiena.

"Setelah ini mau kemana?"

"Aku ada urusan mendadak, kamu gapapa yah pulang sendiri"

Kiena mengangguk.

Di perjalanan pulang, tiba-tiba handphone Kiena bergetar. Bukan, itu bukan handphone milik Kiena. Itu handphone Galvin yang tak sengaja terbawa Kiena saat berpisah di cafe tadi. Nomor tak dikenal. Kiena mencoba menjawab panggilan itu, namun keburu terputus sesaat sebelum ia sempat menekan tombol hijau. Tak berapa lama, handphone itu berdering lagi. Kali ini sebuah sms masuk. Kiena tergelitik untuk membuka folder inboxnya.

Aku udah sampai di cafe Ragusta nih.
Kamu di meja berapa, yang?


Seketika darah Kiena mengalir dengan cepat. Ia memfokuskan matanya ke kata terakhir di pesan itu, berharap ia salah membaca.

"Yang?"

Ada perasaan aneh yang kini merasuk di hati Kiena. Ia memutar setir mobilnya dan kembali menuju cafe tadi. Tidak membutuhkan waktu lama untuk tiba disana. Sekarang ia sudah mendapati dirinya beberapa meter di depan Galvin.

Galvin masih disini? Dan, oh siapa wanita itu? Sepertinya mereka terlihat akrab. Mungkin itu rekan kerjanya Galvin. Atau seseorang yang tadi mengirim sms dengan kata YANG di akhir kalimat. Stop Kie, jangan berpikiran negatif!


Kiena bermaksud mendatangi meja mereka dan menyapa wanita itu, namun alangkah terkejutnya dia dengan apa yang baru saja dilihatnya. 
 
Galvin? Bukankah itu cincin pernikahanku yang kebesaran itu? Mengapa ia memakaikan cincin itu di jari manis si wanita yang aku tak kenal? Apa yang terjadi? Siapa wanita itu sebenarnya?

Beribu pertanyaan memenuhi kepala Kiena. Pelupuk matanya mulai basah.

"Galvin?!", pekik Kiena memenuhi setiap sudut ruangan. Galvin terperanjat melihat Kiena yang tiba-tiba sudah berada di hadapannya.

"Kie, maaf.. Aku.."

PRAK!!

Sebuah tamparan mendarat mulus di wajah Galvin. Kiena menatap wanita itu dengan penuh amarah, namun dibalas oleh senyuman sinis.

Kiena berlari keluar cafe. Ia tak menyangka Galvin tega melakukan itu. Ia memang tak memberi waktu bersama cukup banyak kepada pria itu karena kesibukan kantor yang mengharuskannya sering pergi keluar kota, namun bukan berarti ia harus dikhianati seperti ini. Apa salah dia? Pernikahan tinggal sebulan lagi, namun kejadian 10 detik yang lalu menghancurkan semuanya. Kini rasa sayang yang selalu dia tujukan hanya untuk pria itu, perlahan berubah menjadi kebencian.

Bruk!

Kiena menabrak seseorang. "Ah, pria berhoodie itu lagi. Mengapa ia selalu muncul disaat aku sedang sedih begini?". Kali ini tubrukan itu membuat mereka berdua terjatuh di lantai.

"Sepertinya kamu senang sekali menubruk seseorang", kata pria itu dengan suara renyahnya.

Kiena tak menggubris perkataannya. Ia buru-buru bangkit dan segera pergi. Namun tanpa diketahuinya, pria itu menangkap bulir air mata yang telah membasahi pipinya.

"Kie..!"
****

Kiena duduk di sebuah beranda bangunan tua. Matanya menatap langit yang hanya dihiasi bulan yang tertutup sapuan awan tipis. Ia terdiam.

Saat sedih, ia suka pergi ke tempat ini. Sebuah bangunan tua yang setengah jadi, ditinggalkan begitu saja oleh kontraktor karena kekurangan dana. Ia teringat Nathan, pria yang dulu sering menemaninya menatap bintang di sini. Tiba tiba saja ia begitu merindukan sosok pria itu. Pria yang pertama kali mengajarkannya apa itu cinta dan sebuah ketulusan. Pria yang membantunya mencari jejak-jejak cinta yang tercipta dari suara renyah Nathan yang selalu memberi masukan pada setiap curhatan Kiena. Pria yang tiba-tiba saja menghilang ketika Kiena yakin dengan perasaannya.

Ia menangis, menekuk lutut dan menutup matanya dengan kedua telapak tangannya.

"Di Jakarta udah susah ngeliat bintang yah", suara pria berhoodie tadi mengagetkannya. Pria itu lantas mengambil tempat duduk di samping Kiena.

"Nathan? Mengapa kamu tau aku disini?"

"Kalau sedih, kamu selalu datang ke tempat ini. Menyeretku dengan alasan melihat bintang. Lalu kamu akan menyerocos sesukamu tentang semua keluhan hidupmu, kemudian tanpa komando kamu akan memelukku", terang pria itu yang sukses membuat Kiena terdiam.

"Mengapa kamu menghilang 6 tahun belakangan ini?"

"Untuk ini..", Nathan mengeluarkan sebuah cincin. Tanpa sebuah izin dari Kiena, ia memasangkannya ke jari manis gadis itu. Pas.

"Darimana kamu tau ukuran jariku?"

"Aku hanya mencobanya di jari kelingkingku"

"Apa ini mitos? Mengapa jika ukuran jari manis seorang cewek dan kelingking seorang cowok ukurannya sama, pertanda jodoh?"

"Aku tak mengerti apa itu jodoh yang disimpulkan dengan kelingking dan jari manis. Yang aku tau, aku sangat mencintaimu sejak pertama aku tau kamu juga menyukai bintang. Sejak aku tau tentang perasaan aneh yang membuncah di dadaku setiap kali kamu mulai menyerocos. Sejak aku pertama kali melihatmu tersenyum dan menampakkan lesung pipitmu, setelah matamu membengkak karena kehabisan air mata. Seperti yang kamu lakukan sekarang."

Kiena tak lagi ingat dia baru saja menangis karena pengkhianatan Galvin. Ia tersenyum, manis sekali. Hembusan udara malam membuat harum parfum Nathan kembali tertangkap oleh indra penciuman Kiena. semakin jelas dan menyenangkan.

"Dan aku suka, tanpa komandoku, kamu memelukku erat seperti ini."