Thursday, March 28, 2013

Edelweiss, Semeru, Kamu



"Mengapa cinta harus di lambangkan dengan bunga?", tanyaku penasaran.

Ku tatap matanya dalam-dalam, mencoba mencari tahu jawaban yang ku inginkan. Namun tak ada jawaban di sana. Dia terus saja melemparkan kerikil ke dalam danau.

"Bukan harus, Nai..", katanya terpotong. Ia mencoba mencari kerikil lagi untuk di lemparkan ke danau.

"Lalu?", aku semakin penasaran dengan jawaban yang tak selesai di terangkannya. Ku gamit jemari pria itu, memintanya untuk menyelesaikan jawabannya.

Akhirnya ia berhenti mencari kerikil dan mulai menatapku. Sejenak ia tersenyum. "Bunga itu indah, romantis dan harum. Mungkin itu alasan orang-orang menjadikannya simbol cinta."

"Tapi bunga kan bisa layu, Giz. Apa cinta juga seperti itu?"

Gizka tak menjawab lagi. Dia tertawa mendengar pertanyaan yang aku lontarkan barusan.

"Mengapa kita harus repot memikirkan soal bunga? Yang penting, bagaimana kita bisa menjaga cinta yang kita miliki. Cinta itu sebuah perasaan yang rumit, juga sederhana, yang ga bisa di lambangkan dengan apapun."

Ia membenarkan posisi duduknya, lalu mengambil sesuatu di saku celananya.

"Bulan depan, aku mau mendaki Semeru. Aku ingin kamu ikut bareng aku."

Pria itu menyerahkan tiket kereta PP padaku. Belum sempat aku berkomentar, dia sudah mulai bicara lagi.

"Jangan tolak, yah. Bulan depan kan kamu udah libur kuliah. Aku udah cek agendamu, dan kamu free di tanggal itu. Jadi, ga ada alasan untuk bilang engga."

"Sejak kapan kamu jadi manager yang mengatur segala kegiatanku?" Aku tersenyum dan menjawab permintaannya dengan anggukan kecil.

****

Sebulan berlalu. Jam 2 siang di stasiun Senen, aku berdiri di depan kereta yang akan mengantarkan kami lebih dekat ke Semeru. Namun pria yang merencanakan hal itu belum juga muncul batang hidungnya. Berkali-kali aku melihat jam tangan untuk membunuh waktu, hingga tiba-tiba pria itu sudah muncul di depanku dengan napas terengah-engah.

"Sori telat. Macet banget!"

"Ga usah banyak alibi deh. Keretanya udah mau berangkat nih. Yuk naik."

Aku berusaha menahan kekesalanku. Rasa khawatir akan ketidakhadirannya telah dikalahkan oleh perasaan lega karena dia kini duduk di sampingku.

14 jam di kereta tak terasa membosankan. Sepanjang jalan, aku menikmati pemandangan alam yang di ciptakan sempurna oleh Tuhan. Hamparan sawah, siluet pegunungan, garis tipis awan, bangau-bangau yang berterbangan rendah, semua tampak sempurna tanpa cela.

****

Ranu Pane. Desa terakhir di jalur pendakian gunung Semeru. Hari sudah sore ketika kami tiba di sini. Setelah berunding dengan senja, akhirnya kami memutuskan untuk mendirikan tenda.

Ku tatap sang mega merah yang mulai tenggelam di ufuk barat. Dari sini, aku merasa semakin dekat dengan alam. Asap lembut yang di tiupkan Semeru ke udara semakin menambah keindahan sore ini. Dan pria yang duduk sambil menyeruput teh hangat di sampingku adalah penyempurna keindahan itu.

"Mata kamu ga sakit terus-terusan ngeliatin aku sambil senyum-senyum gitu?" Kata Gizka yang tetap menyeruput tehnya dan memandang lurus ke arah api unggun.

"Geer banget, sih." Aku yang merasa telah tertangkap basah 'mengawasinya' tak dapat berkilah lebih banyak lagi.

"Kok pipi kamu jadi merah gitu?"

"Apaan sih? Efek api unggun, kali.."

"Yah, beginilah. Nasib punya wajah tampan kayak aku, di pandangin mulu. Hahaha."

"Gizkaaa..!" Sejurus kemudian, aku sudah mencubitinya. Pria itu mengaduh kesakitan. Seketika tawa kami berdua pecah.

****

"Tutup matamu..", katanya lembut.

"Buat apa?", tanyaku cuek.

"Banyak nanya deh. Tutup aja, udah." Pria itu memegang kedua tanganku dan meletakkannya tepat di depan wajahku. "Jangan ngintip!"

Kemudian ia memegang bahuku seraya menuntunku. Dengan penuh rasa takut tergelincir di antara dataran Semeru, aku coba mempercayainya.

"Sampai kapan aku harus tutup mata?"

Aku mulai cerewet menanyainya, karena dari tadi aku hanya melangkah dengan mata tertutup. Semuanya gelap. Tak ada yang bisa ku lihat selain merasakan setiap arahan darinya.

"Diem dulu. Baru juga satu menit."

Kulitku menyentuh beberapa semak yang tumbuh di pinggiran jalur Semeru. Sesekali aku tersandung akar pohon yang mencuat dari dalam tanah, namun dengan sigap Gizka langsung memegangiku lebih erat. Setelah sekian lama berjalan, akhirnya kami berhenti.

"Udah boleh buka mata?" Tanyaku tak sabar. Tak ada jawaban. Aku mulai mengomandoi diriku sendiri untuk membuka mata.

Seketika aku tertegun dengan apa yang ku lihat. Hamparan bunga edelweis membentang di sepanjang pandangan. Bunga yang hanya hidup di pegunungan itu terlihat begitu indah, kecil, namun tetap tumbuh bertahun-tahun tanpa pernah layu.

"Cantik banget..!"

"Edelweis, bunga abadi." Gizka tiba-tiba saja muncul di belakangku sambil membisikkan kalimat itu.

Aku membalikkan badan dan menatapnya. "Jadi ini alasanmu membawaku hingga ke Semeru?"

"Kamu suka?"

Aku tersenyum dan mengangguk.

"Cinta emang ga bisa di simbolkan dengan apapun, termasuk bunga. Namun, rasa itu layaknya bunga edelweis ini, indah. Untuk mendapatkan bunga edelweis yang indah, maka semakin besar resiko yang dihadapi. Sama kayak aku perjuangin cinta aku ke kamu."

Skak mat! Aku tak dapat berkata apapun lagi. Pria di depanku ini membuat bulir air mataku mengalir tanpa permisi. Jemari kami bersatu, mengisi celah diantara jemari yang lain.

"Kamu adalah sesuatu yang telah aku perjuangkan sejak awal. aku ingin, kamu juga yang aku pertahankan hingga akhir."

Di saksikan hamparan bunga edelweis, aku memeluk tubuhnya rapat-rapat. Seakan mengisyaratkan, aku tak ingin kehilangannya lagi.