Monday, May 12, 2014

Sajak Jalak

Denting jam 12 malam berbunyi berkali-kali. Hingga detik inipun aku masih juga belum bisa tidur. Pikiranku dengan paksa menarikku ke masa lalu, disaat bubuk-bubuk rindu terisi penuh dalam genggaman tanganku.


Bagiku engkau adalah jelmaan kebaikan Tuhan
Tentunya yang paling membahagiakan
Walau tak kusadari dari dulu

Namun kini dirimu tumbuh
Dalam setiap inci kupunya tubuh
Bagai edelweiss si bunga abadi

Sebenarnya aku ingin mengabdi
Kepada rona indah kau punya pribadi
Menyadari telah terlambat
Menjadikanmu tempat hati bertambat
Seperti perih yang merambat-rambat
Tapi tak akan ada dendam kesumat
Karena kita selamanya kerabat


Kubaca lagi barisan sajak itu dengan hati yang telah melemas biru. Lidahku tercekat. Rasanya aku tak lagi bisa bernapas. Bulir-bulir air mata seperti ingin mengalir, tapi tak bisa, entah mengapa.

Seperti kembali pada kisah yang terlalu cepat diakhiri, dengan rasa cinta yang belum sempat diuraikan, layaknya api yang membakar kayu hingga menjadikannya hangus. Bayang itu berdiri di ambang pintu. Mengajakku bermain-main di masa lalu. Masa yang dihuni hanya aku dan dia. Meski ingin kembali, kusadari aku bukanlah gadis yang dulu lagi. Ada sebuah genggaman yang mengisi sela-sela jariku kini. Aku tak lagi sendiri.

Kamu, tuan masa lalu..
Mungkin kamu terlalu indah untuk bisa aku miliki, sehingga Tuhan tak pernah menjadikan kita bersama. Mungkin aku memang bukan jalanmu, hingga kau tak pernah benar-benar menjejaki kehidupan bersamaku. Kita memang tinggal di dimensi berbeda. Seperti yang kau tulis diakhir sajakmu, kita akan selamanya kerabat.

Kini kau sungguh terlambat.