Tuesday, April 23, 2013

Eccedentesiast



"Kamu gila!"

Ia hanya tersenyum.

"Hentikan senyumanmu itu. Jangan tunjukkan kepalsuanmu padaku. Aku tau kamu sakit. Hatimu sakit! Please, berhenti berbuat seperti ini!" Aku mulai menangis melihat sebuah wajah yang tengah berdiri di depanku. Ia tetap tersenyum, tertawa, bahkan tampak ceria seperti tak ada masalah dalam hidupnya.

"Aku baik-baik aja kok." Katanya dengan nada suara yang renyah. Ia tetap memainkan seekor kupu-kupu yang hinggap perlahan di jemarinya.

"Bohong!!"

"Apa kamu melihat kebohongan dari pancaran wajahku?" Ia membiarkan kupu-kupu itu terbang, lalu berjongkok dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Pandangan kami bertemu. Aku terdiam dan mengamati matanya dalam-dalam.

Sayu. Mata itu tak memancarkan kebahagiaan seperti yang ditunjukkan wajahnya. Tak ada segaris senyum disana, pun air mata. Yang kulihat hanya sepasang mata dengan tatapan kosong. Tak ada kehidupan. Tak ada ekspresi. Datar.

"Dorr!," suaranya mengagetkanku. "Aku suruh kamu mengamati wajahku, bukan bengong begitu."

Ia merebahkan dirinya di hamparan rumput hijau, tepat di sampingku. Melipat kedua tangannya dibawah kepala, menatap langit sore yang berwarna jingga. Lagi-lagi, ia tersenyum, "kamu terpesona melihat wajahku yah? Hahaha", matanya tak lepas dari pergerakan awan yang mulai berkemas diri, bergerak ke barat bersama deru angin.

Ia tersenyum, padahal sebenarnya tidak. Ia tertawa, padahal hatinya menangis. Ia ceria seakan tanpa beban, sebenarnya ia sekarat.

Ia seorang eccedentesiast. Ia menyembunyikan rasa sakitnya dibalik senyumannya. Ia mencoba bertahan ketika seluruh dunia telah menjauh. Ia tetap tegar meski harapannya telah hancur. Ia tetap menampakkan kebahagiaan, meski ia sudah tak punya alasan untuk hidup lagi. Ia hidup dalam keputus-asaan. ia hidup dalam kesedihan. Tapi ia tetap tesenyum. Ia tetap menjalani harinya dengan senyuman. Palsu memang, tapi setidaknya ia berhasil tersenyum. Bukankah itu lebih baik daripada ia terus menangis dan mengutuk hidupnya? Ia berhasil, tersenyum diantara tangisnya.

Seorang eccedentesiast bukanlah orang munafik. Bukan. Ia hanya berusaha tersenyum, berusaha bahagia dengan dunianya yang kelam. Tak ada yang mengerti, bahkan aku, mengapa dia, seorang eccedentesiast melakukan itu.

"Aku lupa kapan terakhir kali aku tersenyum dari hati," lirihnya. Ia bangkit, mengatur posisi duduk dan kembali menghadapku.

Aku hanya diam, memperhatikan apa yang akan dilakukannya kemudian. Ia semakin mendekatkan dirinya padaku. Ia mengulurkan tangannya dan menggamit kedua lenganku. Jemari kami bertemu, menggenggam dan menutup antara celahnya.

"Aku juga lupa kapan terakhir kali aku menangis," lanjutnya.

Tubuhnya semakin dekat. Aku yang semula duduk mulai mencondongkan diri ke belakang, mencoba menahan berat tubuhnya. Ia semakin dekat dan aku tak kuasa menahan keseimbanganku lagi. Ia mendekapku erat hingga aku terjatuh, tertidur di hamparan rerumputan. Gelap.

Ku buka mataku perlahan. Langit sore dengan warna jingganya masih tetap memancarkan keindahannya. Awan tipis juga masih tetap bergerak ke arah barat. Namun ia tak ada. Ia tak pernah ada. Aku sendirian di taman ini. Sejak tadi. Aku tersenyum dan tertawa kecil. Akulah si eccedentesiast itu.