Tuesday, June 25, 2013

Membicarakan Cinta



"Saat itu akan tiba, ketika kau benar-benar menerima kenyataan bahwa kini tak ada lagi ‘kita’ hanya ada kau minus dirinya"




Berbicara tentang cinta. Apa itu cinta? Mereka bilang, cinta adalah ketika kita menyayangi seseorang dengan tulus. Begitukah? Mungkin. Cinta adalah pengorbanan. Yah, ada benarnya juga. Cinta adalah rasa. Itu kataku.

Cinta itu sederhana. Dua orang yang saling bertemu dan membagi rasa sayang mereka, itu bisa disebut cinta. Tak perlu komitmen, hanya saling mengetahui bahwa segenap hati itu ditujukan hanya untuk kita. Semanis itukah? Kurasa tidak.

Dia Azka, pria yang memperkenalkanku dengan rasa itu. Sesederhana sebuah pertemuan, perkenalan dan pilihan hati. Aku sangat menyayanginya, begitupun dia. Semua berjalan dengan semestinya, seolah-olah kami memanglah dua makhluk yang ditakdirkan untuk saling berbagi cerita hidup.

Kita. Ku ulang kembali kata itu berkali-kali. Kita, kita, kita, kita.. Semakin sering kuucap, semakin aku ingin melupakan kata itu. Kita takkan pernah selamanya menjadi kita. Ada jurang lebar yang menganga di depan kita. Sekuat apapun kita terus bertahan, kita akan tetap berdiri di tepi yang sama, di sisi yang berbeda. Bila kita mendekat, kita akan terjatuh ke jurang itu. Tuhan, ini cuma masalah cinta. Mengapa harus ada jurang pemisah yang begitu dalam?

Aku mencintainya. Sangat. Katanya cinta itu sederhana. Namun mengapa aku merasakan hal serumit ini? Salahkah aku mencintainya? Salahkah bila aku ingin menulis kisah hidupku hanya bersamanya? Nyatanya, rosario dan tasbih takkan pernah bisa bersatu. Meski Tuhan cuma satu, meski keyakinan hati ini hanya untuk-Nya, tapi Dia tak pernah mengizinkan kami untuk menggenggam tangan, menautkan jemari, mengikrarkan sebuah janji. Kami berbeda. Aku menggenggam Al-Kitab dan ia menggenggam Al-Qur'an. Kita, dua manusia yang berusaha menyamarkan perbedaan; agama.


****


Aku mengendap-endap pergi. Kubiarkan waktu menyapu perasaan ini. Kesibukan baru mungkin akan mengalihkan perhatianku. Kurentangkan jarak dan melangkah menjauhi jurang itu. Kutau, dia telah lebih dahulu beranjak, menyusun hidupnya yang baru.

Aku senang, senyum yang sejak lama menjadi milikku, senyum yang beberapa waktu tak tampak, kini kulihat tersungging lagi diantara bibir manisnya. Mungkin gadis itu bisa memberikan harapan yang tak bisa kuberikan. Kutebak, dia telah menemukan jalannya. Siapapun gadis yang kelak akan menghiasi lembar ceritanya, kuharap akan ada kisah indah di tiap goresan tintanya.

Bagiku, melupakannya tak semudah mencintainya. Aku kalah, meski aku terus berusaha menerima sosok baru di hidupku. Tempat yang dulu kutata rapi hanya untuk sebingkai namanya, kini kubiarkan kosong. Kunci itu masih di pegangnya. Pintu ini masih miliknya. Terlalu banyak kenangan. Terlalu banyak harapan yang menunggu untuk diwujudkan. Ruang itu begitu penuh tentang dirinya. Bahkan bayangnya masih tergambar jelas, memenuhi tiap sudut ruang di hatiku. Bagaimana bisa aku membiarkan orang asing menempati ruang itu?


"Kamu nakal. Mengapa selalu muncul di mimpiku?", kalimatnya mencuat dari kotak chattingku.

"Kamu lebih nakal. Selalu muncul di pikiranku", godaku.

Kami terdiam. Rasa itu kembali bergetar. Meski aku berusaha melupakan, meski ia berusaha mengabaikan, namun rasa itu tak pernah hilang. Waktu tak menjadikannya musnah, malah membuat rasa ini terus membesar dan bergejolak tak karuan. sesuatu yang kini kumengerti, hati tak bisa di bohongi.


****