Wednesday, June 26, 2013

Preman Dan Sorban




Kyla
"Haram dan tidaknya tatto-ku bukan manusia hakimnya", ia memamerkan sebuah tulisan yang tersablon di kaosnya. Aku mengamati tulisan itu, memahami maksud dibalik tiap kata-katanya.

Aku tersenyum hambar, "kamu mau bilang kalo tatto kamu itu seni?"

"Yap. Tatto itu engga selalu bermakna negatif, kan? Lagian urusan aku sama Tuhan ya cuma aku dan Tuhan yang mengerti. Engga perlu ikut campur tangan manusia." Dia menyeringai lebar, mengelus tatto di tangannya yang telah terukir permanen.

"Seni itu sakit, yah. Sampe ngerusak kulit gitu", ucapku datar.

Aku sungguh tak suka dengan apa yang ia lakukan dengan dirinya. Aku mengerti, itu hanya sekedar tatto. Bukan, tatto itu bukan sekedar. Tatto itu penghalang jalan seorang hamba kepada Tuhannya. Yah, aku tak berhak menilai. Bukankah bukan manusia yang menghakimi halal ataupun haramnya tatto seseorang. Itu urusan mereka dengan Tuhannya. Bila begitu, apakah aku harus diam dengan kelakuannya ini?

"Emang sakit. Tapi aku suka. Ini semacam sebuah kesenangan. Bahkan aku pengen nambah lagi", kedua bola matanya menatapku, seakan memberi isyarat untuk meminta izin padaku, membolehkannya melakukan hal itu.

Aku tak melanjutkan kata-kataku. Kubuang pandanganku hingga aku tak bisa melihat sosoknya bahkan dari sudut mataku. Rasanya seperti ada yang menusuk hatiku, sesaat setelah ia mengucapkan kalimat terakhirnya.

"Udah zuhur, aku mau sholat", aku beranjak dan meninggalkannya. Namun setelah beberapa langkah, aku berbalik dan menatapnya, "mau ikut?"

Ia terdiam, memberikan jeda pada angin untuk berhembus getir. Ditatapnya ukiran tatto berwarna hitam yang memenuhi setiap permukaan kulit lengannya. "Nih, gimana mau sholat?", disodorkannya gambar tatto itu ke arahku.

Aku melangkah, mendekat. Kugenggam sebuah sisi dari kaos yang dikenakannya. "HARAM DAN TIDAKNYA TATTO-KU BUKAN MANUSIA HAKIMNYA", kubaca tulisan di kaosnya dengan tegas, lalu menatapnya dalam-dalam.

"Bukankah itu yang tadi kamu bilang? Kenapa sekarang kamu bertindak seolah-olah kamu adalah hakim? Kamu ngerasa malu menghadap Tuhan karena senimu itu?"

"Butuh proses, Kyla..", lirihnya. "Engga ada yang bisa berubah drastis, kan?"

Aku masih lekat menatapnya, tak memberikan ekspresi apapun. Aku mengerti, ketika kita mencintai seseorang, maka kita harus menerimanya secara sepaket. Menerima kekurangan hingga kelebihannya. Menerimanya apa adanya. Namun, hati kecilku berontak. Aku hanya ingin ia berada di jalan Tuhan, itu saja.

"Jadilah anak yang baik", kataku kemudian, sambil mengacak-acak rambutnya.



****



Ega
Aku menyayangi Kyla. Sangat. Aku ingin melihatnya terus tersenyum. Namun yang kulakukan hanyalah terus membuatnya kecewa dengan kelakuanku. Aku dan Kyla sangat berbeda. Aku seorang pria bertatto, perokok, bahkan pemabuk. Aku menjalani hidup semauku. Aku tak peduli apa yang orang katakan tentang diriku. Bagiku, semua manusia yang berjalan di bumi ini adalah kumpulan badut yang memakai topeng. Tak ada yang benar-benar baik. Lebih baik menjadi nakal sekalian, daripada baik dalam kepura-puraan. Dan inilah jalan hidup yang kupilih, menjadi seseorang yang benar-benar lari dari jalur kehidupan.

Kyla benar-benar berbeda denganku. Ia gadis yang baik. Ia gadis lugu, yang begitu menuruti liku hidup yang dijalaninya. Ia sangat sabar menghadapiku. Ia tak pernah menuntutku untuk merubah kebiasaanku. Aku tahu, dalam batinnya, ia protes ketika tahu aku minum, ketika aku menyembulkan asap rokok ke udara, dan tiap kali ia melirik tatto yang kuukir di lenganku. Ia hanya diam. Selalu diam. Terkadang aku sedikit khawatir dengan kediamannya. Siapa sih yang mau pacaran sama cowo tattoan sepertiku?

Kyla.

Hingga kini aku bahkan tak mengerti mengapa ia bisa begitu tulus menyayangiku.

Sebenarnya, aku juga ingin berubah. Aku tak ingin selamanya hidup di dunia kacau seperti ini. Aku ingin meninggalkan semua kelakuan burukku. Namun tak ada yang instan, kan? Aku berusaha, meski entah sampai kapan aku bisa benar-benar terlepas dari belenggu ini. Setidaknya, aku mencoba.



****



Kyla
"Mama pengen kamu ngedapetin pasangan hidup yang terbaik, Kyla", ucap mama di seberang telepon.

"Ma, Kyla belum mau nikah sekarang, loh."

"Iya, tapi kamu harus mulai serius dari sekarang. Cari calon kan engga semudah beli barang di toko."

"Iya, Ma. Ini juga lagi di seriusin kok", lagi-lagi, mama menasehatiku seputar pasangan hidup. Aku memakluminya. Setiap orang tua pasti menginginkan sosok yang terbaik untuk anaknya.

"Mama engga mau kamu salah memilih pasangan. Setelah nikah, pengabdian kamu itu berpindah ke suami, bukan orang tua lagi. Cari calon yang bisa membimbing kamu lebih dekat kepada Tuhan. Seorang pria yang menyayangi keluarga, seperti papamu."

Aku hanya mengangguk, diam dan mendengarkan nasehat yang terus mengalir dari perkataan mamaku.

"Mama punya kenalan ustadz. Anaknya sholeh, rajin sholat, pintar, baik lagi."

"Ma. Aku udah punya Ega", aku berusaha mengucapkan setiap kalimatku dengan hati-hati. Aku tak ingin salah bicara kali ini. "Ustadz engga menjamin kebahagiaan aku, Ma.."

"Iya, mama ngerti", mama melembutkan suaranya. "Mama cuma pengen yang terbaik buat kamu. Mama cuma pengen kamu bahagia, nak." Entah mengapa, perkataan mama membuatku ingin menangis. Aku sudah dewasa. Saatnya aku menentukan pilihan hidup. Bayangan Ega tiba-tiba saja terpikirkan.

"Apakah aku sudah memilih pria yang tepat?", batinku.

"Ega pria yang baik, Ma", kataku, mencoba mengenalkan sosok Ega, pria yang belum pernah dilihat orang tuaku secara langsung. "Dia jagain aku, disini. Dia selalu nolongin aku kalo aku kesulitan. Dia sayang sama aku."

Mama menaruh seluruh kepercayaannya padaku. Aku tak ingin mengecewakannya. Hanya saja, aku tak ingin berperan sebagai Siti Nurbaya. Namun aku juga tak boleh mengabaikan nasehat orang tuaku. Mereka pasti lebih mengerti apa yang terbaik untuk anaknya.

Satu hal yang mama belum tau, Ega jauh dari sosok calon suami yang diidamkannya.



****


Ega
"Kalau nanti orang tuaku engga suka kamu, gimana?", pertanyaan Kyla hampir saja membuatku tersedak. Kuhentikan kegiatan makanku. Sederetan kalimat tanyanya berhasil mengubah moodku.

"Aku udah nyangka, pasti hal ini bakalan terjadi", kutatap raut mukanya yang sendu.

Mungkin dia sedang bingung, menuruti harapan orang tuanya atau suara hati kecilnya. Aku sudah tau hal ini sejak awal. Halangan terberat yang menghambat hubungan kami adalah keluarga. Keluarga Kyla tak mungkin dengan mudah menerima keberadaanku yang seperti ini. Namun apa yang bisa kulakukan? Aku tak ingin berubah menjadi orang lain. Seperti inilah seorang Ega. Dan aku takkan mengubah ega menjadi sosok yang tak kukenal.



****



Kyla
Hati cuma satu. Yang bisa ia lakukan hanyalah memilih. Memilih untuk mengikhlaskan, atau tetap tinggal. Pilihan memang tak pernah mudah. Ketika kita harus memilih sesuatu, kita harus rela kehilangan sesuatu pula. Kali ini, aku dihadapkan lagi pada pilihan itu.

Aku menetapkan sebuah pilihan, membagi cerita hidupku bersama Ega. Membagi suka dan dukaku, membagi tawa dan tangisku, membagi bahu untuk saling bersandar.

Rasa yang tak bisa kujelaskan, tumbuh subur kian waktu aku mengenalnya. Aku bahkan tak tahu mengapa hati ini memilih dirinya. Yang kutahu, dia membuatku merasa nyaman. Dia menjelma menjadi sebuah kebutuhan bagiku. Dia menjadi sosok yang tak ingin kulepas.

Kini, aku dihadapkan lagi pada sebuah pilihan. Harapan keluargaku, atau keinginan hati kecilku. Lagi-lagi pilihan yang sulit. Aku tak ingin mengecewakan siapapun. Aku tak ingin kehilangan siapapun.

Kuyakin, akan ada sesuatu yang baik pada akhirnya. Jika aku tak menemukan hal baik itu, berarti aku belum bertemu garis akhir. Aku akan memperjuangkan pilihan yang saat ini kutautkan di jemariku. Hingga nanti aku lelah. Hingga nanti aku kalah. Hingga nanti garis finish mengumumkan pemenangnya. Hingga nanti aku harus menerima pilihan yang terbaik untuk hidupku. Sebuah kisah yang telah dirangkai Tuhan dengan sangat indah. Sebuah cerita, yang mungkin tak sama dengan apa yang kucoba tulis dalam buku kehidupanku.



****

Ega
Membimbing diriku sendiri ke jalan yang benar saja aku belum mampu. Bagaimana mungkin aku bisa begitu egoisnya untuk mengajak Kyla mencicipi kehidupanku? Ah, aku bodoh sekali. Ia pastilah akan memilih seseorang yang bisa membimbingnya di jalan Tuhan. Di jalan yang lurus, pengabdian seorang hamba pada penciptanya. Aku cuma sampah. Aku tak berteman baik dengan Tuhanku. Aku tak mungkin membiarkan Kyla terjebak dalam hidupku yang seperti ini.

Mungkin sebuah perjuanganku tak akan berarti apa-apa. Akan kuikhlaskan dia. Ya. Cinta adalah bahagia melihat orang yang kita sayangi bahagia. Aku mencintai Kyla. Ralat. Aku sangat mencintai Kyla. Aku hanya ingin ia bahagia, meski bukan bersamaku, meski bukan karenaku. Ia wanita baik-baik. Ia pantas mendapatkan pria yang terbaik pula. Jika nanti perjuanganku dikalahkan oleh keadaan, ikhlasku akan selalu kutujukan padanya. Demi senyum yang harus selalu tersungging di bibirnya, kutarik diri, mengendap pergi bahkan menghilang dari sentuhan pikirannya.


****