Friday, March 1, 2013

Kelingking

"Kebesaran..!", pekik Kiena sambil melepas sebuah cincin polos yang melingkar di jari manisnya.

"Tidak mungkin. Ukurannya pas dengan kelingkingku", Galvin mengambil cincin itu dan mencobanya di jemarinya.

Kiena menghembuskan napas seraya menenggelamkan punggungnya di sofa. Dibuangnya pandangan ke arah langit-langit yang didominasi cahaya kuning temaram dari sinar lampu kristal yang menggantung di tengah ruangan.

"Harusnya aku ikut, kemarin", suaranya tipis namun cukup jelas di pendengaran Galvin.

"Pernikahan kita masih ada satu bulan lagi kok. Besok pagi kita kembali saja ke toko perhiasan itu, minta ukuran cincin yang pas buat kamu", tukas pria itu seraya mendaratkan telapak tangannya di kepala Kiena, membelai rambut wanita itu dengan lembut.

Kiena menatap pria di sampingnya. Mata bening berwarna coklat, hidung mancung, lekuk pipi yang terlihat kekar namun teduh, bibir tipis yang selalu berhias senyum. Wajah sempurna dari seseorang yang akan menjadi imam hidupnya, sebulan lagi.

Tangan kiena mulai menyelusuri jemari pria itu, hingga akhirnya sela jari mereka terisi satu sama lain. Sebuah anggukan dan sebaris senyum darinya membuat pria itu tampak bersemangat.


****

Drrt.. Drrt..
Handphone Kiena bergetar. "Mama", begitu tulisan yang terpampang di layarnya.

"Mama nelpon, aku angkat bentar yah..", bisik Kiena pada Galvin yang sedang sibuk mencocokkan ukuran cincin pernikahan mereka. Setelah isyarat oke dari Galvin diluncurkan, wanita itu beranjak keluar toko.

"Iya, Ma?"

"Mama denger cincin pernikahannya kebesaran yah di tangan kamu?"

"Iya Ma, longgar dikit."

"Kamu sih kemarin ga ikut kita waktu pengukuran."

"Maaf Ma. Kemarin aku bener-bener sibuk ama urusan kantor."

"Kamu lebih mentingin kantor apa pernikahan kamu yang tinggal sebulan lagi?!", nada suara mama meninggi.

"Kantor itu kehidupan aku, Ma", Kiena mencoba mengatur nada bicaranya. Ia tak senang bila urusan kantor dan Galvin harus dijadikan topik perbandingan. Baginya, kedua hal itu sama pentingnya. Galvin adalah pria yang sangat dicintainya sejak 5 tahun yang lalu. Pria yang selalu ada di setiap hari-harinya, bahkan di saat tersulit sekalipun. Dan kantor adalah kehidupannya. Orang-orang takkan mengerti mengapa dia begitu mencintai kantornya. Ada hal yang sangat mengikat hatinya di tempat itu. Seperti sebuah payung yang selalu melindunginya dari rintik hujan. Namun kini ia sedang berbicara dengan mamanya, tak mungkin ia membentak wanita yang telah mempertaruhkan seluruh hidupnya pada Kiena itu.

"Sudahlah, mama tak ingin berdebat lagi soal ini. tinggal sebulan lagi nak, cobalah fokus pada pernikahan kalian", kata mama mengakhiri pembicaraannya.

"Iya Ma.."

Kiena ingin berbalik memasuki toko perhiasan ketika ia tiba-tiba di tubruk oleh seseorang. Wajahnya terhempas ke tubuh orang itu. Sejenak ia dapat menghirup parfum yang dipakainya. Harum yang khas, yang dahulu sangat ia kenal.

"Maaf udah nubruk kamu", Kata pria yang mengenakan hoodie abu-abu dan kupluk di kepalanya itu.

"Aku yang minta maaf, jalan ngga liat-liat", tatapan mereka bertemu. Kini wajah pria itu terlihat lebih jelas. Mata hitam yang tegas, seperti sebuah mata yang dahulu sangat dikagumi Kiena. Ia tak mengira bahwa kini ia bertemu lagi dengan sosok itu.

Tanpa pamit, pria berhoodie itu segera meninggalkan Kiena. Derap langkah kakinya yang berlari kecil cukup menggambarkan bahwa ia sedang terburu-buru. Kiena terus memandang punggungnya hingga menghilang di persimpangan jalan. Seketika satu persatu sketsa masa lalu melintas di otaknya.

"Hei Kie. Lagi mandangin apa?", Galvin yang kini telah berdiri di sampingnya membuyarkan lamunan Kiena.

"Oh, bukan apa-apa. Udah?"

"Udah. Nih..", Galvin mengangkat sebuah tas kertas kecil berisi sepasang cincin pernikahan mereka yang baru. "Ke cafe Ragusta yuk."

"Yuk!"
****

Mereka sampai di sebuah cafe ice cream yang tak jauh dari toko perhiasan tempat mereka membeli cincin tadi. Setelah bertegur sapa sejenak dengan seorang pelayan yang mereka kenal akrab, mereka langsung menuju sebuah meja di sudut cafe. Meja yang selalu mereka tempati tiap kali mereka datang ke cafe ini. Tanpa perlu memberi pesanan, seorang pelayan tadi langsung menyodorkan dua porsi ice cream. Dua scoop ice cream vanilla milik Kiena dan dua scoop ice cream coklat bertabur almond milik Galvin.

Kiena yang sangat suka dengan ice cream langsung menyantap hidangan di depannya itu.

"Pelan-pelan dong Kie, makannya", Galvin menyapu sudut bibir Kiena yang belepotan es krim dengan jempolnya. Kiena tersenyum malu, membuat lesung pipit di pipinya terlihat jelas. Sinar matahari yang menembus kaca jendela sore itu semakin menambah pancaran kecantikan Kiena.

"Setelah ini mau kemana?"

"Aku ada urusan mendadak, kamu gapapa yah pulang sendiri"

Kiena mengangguk.

Di perjalanan pulang, tiba-tiba handphone Kiena bergetar. Bukan, itu bukan handphone milik Kiena. Itu handphone Galvin yang tak sengaja terbawa Kiena saat berpisah di cafe tadi. Nomor tak dikenal. Kiena mencoba menjawab panggilan itu, namun keburu terputus sesaat sebelum ia sempat menekan tombol hijau. Tak berapa lama, handphone itu berdering lagi. Kali ini sebuah sms masuk. Kiena tergelitik untuk membuka folder inboxnya.

Aku udah sampai di cafe Ragusta nih.
Kamu di meja berapa, yang?


Seketika darah Kiena mengalir dengan cepat. Ia memfokuskan matanya ke kata terakhir di pesan itu, berharap ia salah membaca.

"Yang?"

Ada perasaan aneh yang kini merasuk di hati Kiena. Ia memutar setir mobilnya dan kembali menuju cafe tadi. Tidak membutuhkan waktu lama untuk tiba disana. Sekarang ia sudah mendapati dirinya beberapa meter di depan Galvin.

Galvin masih disini? Dan, oh siapa wanita itu? Sepertinya mereka terlihat akrab. Mungkin itu rekan kerjanya Galvin. Atau seseorang yang tadi mengirim sms dengan kata YANG di akhir kalimat. Stop Kie, jangan berpikiran negatif!


Kiena bermaksud mendatangi meja mereka dan menyapa wanita itu, namun alangkah terkejutnya dia dengan apa yang baru saja dilihatnya. 
 
Galvin? Bukankah itu cincin pernikahanku yang kebesaran itu? Mengapa ia memakaikan cincin itu di jari manis si wanita yang aku tak kenal? Apa yang terjadi? Siapa wanita itu sebenarnya?

Beribu pertanyaan memenuhi kepala Kiena. Pelupuk matanya mulai basah.

"Galvin?!", pekik Kiena memenuhi setiap sudut ruangan. Galvin terperanjat melihat Kiena yang tiba-tiba sudah berada di hadapannya.

"Kie, maaf.. Aku.."

PRAK!!

Sebuah tamparan mendarat mulus di wajah Galvin. Kiena menatap wanita itu dengan penuh amarah, namun dibalas oleh senyuman sinis.

Kiena berlari keluar cafe. Ia tak menyangka Galvin tega melakukan itu. Ia memang tak memberi waktu bersama cukup banyak kepada pria itu karena kesibukan kantor yang mengharuskannya sering pergi keluar kota, namun bukan berarti ia harus dikhianati seperti ini. Apa salah dia? Pernikahan tinggal sebulan lagi, namun kejadian 10 detik yang lalu menghancurkan semuanya. Kini rasa sayang yang selalu dia tujukan hanya untuk pria itu, perlahan berubah menjadi kebencian.

Bruk!

Kiena menabrak seseorang. "Ah, pria berhoodie itu lagi. Mengapa ia selalu muncul disaat aku sedang sedih begini?". Kali ini tubrukan itu membuat mereka berdua terjatuh di lantai.

"Sepertinya kamu senang sekali menubruk seseorang", kata pria itu dengan suara renyahnya.

Kiena tak menggubris perkataannya. Ia buru-buru bangkit dan segera pergi. Namun tanpa diketahuinya, pria itu menangkap bulir air mata yang telah membasahi pipinya.

"Kie..!"
****

Kiena duduk di sebuah beranda bangunan tua. Matanya menatap langit yang hanya dihiasi bulan yang tertutup sapuan awan tipis. Ia terdiam.

Saat sedih, ia suka pergi ke tempat ini. Sebuah bangunan tua yang setengah jadi, ditinggalkan begitu saja oleh kontraktor karena kekurangan dana. Ia teringat Nathan, pria yang dulu sering menemaninya menatap bintang di sini. Tiba tiba saja ia begitu merindukan sosok pria itu. Pria yang pertama kali mengajarkannya apa itu cinta dan sebuah ketulusan. Pria yang membantunya mencari jejak-jejak cinta yang tercipta dari suara renyah Nathan yang selalu memberi masukan pada setiap curhatan Kiena. Pria yang tiba-tiba saja menghilang ketika Kiena yakin dengan perasaannya.

Ia menangis, menekuk lutut dan menutup matanya dengan kedua telapak tangannya.

"Di Jakarta udah susah ngeliat bintang yah", suara pria berhoodie tadi mengagetkannya. Pria itu lantas mengambil tempat duduk di samping Kiena.

"Nathan? Mengapa kamu tau aku disini?"

"Kalau sedih, kamu selalu datang ke tempat ini. Menyeretku dengan alasan melihat bintang. Lalu kamu akan menyerocos sesukamu tentang semua keluhan hidupmu, kemudian tanpa komando kamu akan memelukku", terang pria itu yang sukses membuat Kiena terdiam.

"Mengapa kamu menghilang 6 tahun belakangan ini?"

"Untuk ini..", Nathan mengeluarkan sebuah cincin. Tanpa sebuah izin dari Kiena, ia memasangkannya ke jari manis gadis itu. Pas.

"Darimana kamu tau ukuran jariku?"

"Aku hanya mencobanya di jari kelingkingku"

"Apa ini mitos? Mengapa jika ukuran jari manis seorang cewek dan kelingking seorang cowok ukurannya sama, pertanda jodoh?"

"Aku tak mengerti apa itu jodoh yang disimpulkan dengan kelingking dan jari manis. Yang aku tau, aku sangat mencintaimu sejak pertama aku tau kamu juga menyukai bintang. Sejak aku tau tentang perasaan aneh yang membuncah di dadaku setiap kali kamu mulai menyerocos. Sejak aku pertama kali melihatmu tersenyum dan menampakkan lesung pipitmu, setelah matamu membengkak karena kehabisan air mata. Seperti yang kamu lakukan sekarang."

Kiena tak lagi ingat dia baru saja menangis karena pengkhianatan Galvin. Ia tersenyum, manis sekali. Hembusan udara malam membuat harum parfum Nathan kembali tertangkap oleh indra penciuman Kiena. semakin jelas dan menyenangkan.

"Dan aku suka, tanpa komandoku, kamu memelukku erat seperti ini."