Wednesday, May 22, 2013

Tentang Aku


Berpasang-pasang mata menatapku tajam
Sinis!
Aku tau, hanya berpura tak peduli
Tawa mereka dibelakangku
Cibiran pedas yang memekik di tiap pikirannya
Aku tau!
Namun tetap, aku tak ingin peduli

Langkahku goyah

Beban pundakku sudah terlalu berat
Tak sanggup kupikul sendirian
Aku luka
Hatiku luka
Batinku luka

Cemoohan itu tak lagi kupedulikan

Hardikan itu tak ingin kudengar
Kututup telinga dan tetap berjalan
Mataku panas, hatiku meradang
Aku meringis, mendesis marah

Busuk! Busuk! Busuk!

Aku tak mau mati dimakan kehidupan ini
Terikat bagai boneka yang siap dimainkan
Terombang ambing bagai perahu tanpa jangkar
Aku gila!
Aku tak ingin gila!

Air mataku berubah merah

Senyumku sayu, wajahku haru
Aku tertekan batin
Aku terjerembab
Dalam hidup yang terpaksa kujalani
Gelap!

Aku butuh cahaya

Aku ingin bebas
Aku ingin terbang
Aku ingin kedamaian
Aku ingin tenang

Melayang, terbang..




Tuesday, May 21, 2013

Rasa



"Ketika kamu bertemu dengan orang yang mau melakukan apapun tanpa kamu minta, jangan pernah bertindak bodoh untuk membiarkannya berlalu pergi"



Aku memperhatikannya, bahkan sebelum aku benar-benar mengenalnya. Aku tertarik dengan segala aktifitasnya di dunia maya, ketika kami bahkan belum pernah saling menyapa. Saat itu, ia tengah memasang avatar foto tersenyum datar dengan tangan kanan memegang kamera, disebuah sudut panorama Bromo. Gayanya yang terkesan cuek dan acuh membuatku penasaran untuk mengenalnya lebih dalam lagi.


****


Pukul 11.00 waktu Indonesia bagian kampus. Matahari sangat bersemangat untuk melontarkan seluruh sinarnya ke arah bumi, yang berhasil membuat peluh keringatku dan sebagian besar penghuni kampus mengucur deras dari pori-pori kulit. Aku tengah memainkan Blackberry-ku sambil berdiri di depan kelas bersama teman-temanku, menunggu dosen yang hampir selalu datang lebih lama dari mahasiswanya.

Ditengah hiruk pikuk dan canda tawa kami, dari ujung koridor, muncul seseorang yang belum pernah kutemui sebelumnya, menghampiri kami dengan langkah agak tergesa-gesa.

"Udah masuk, belum?", tanyanya yang entah ditujukan kepada siapa.

"Belum. Tuh pintunya masih dikunci..", jawabku kemudian, yang kuterka cukup jelas untuk menjawab pertanyaannya. Dia hanya mengangguk menanggapi jawabanku.

Diam-diam, kuperhatikan setiap sisi pria yang tengah berdiri di depanku itu dari kaki hingga ujung rambut. Tak ada yang salah dengan penampilannya, hanya saja..

"Buset dah tu rambut! Bisa nyimpen konci motor kali yah?!", celetuk salah seorang temanku.

Eum, style rambutnya pasti bakal mengundang banyak pasang mata untuk sejenak meliriknya. Rambut kribo layaknya rambut Edi Brokoli. Sejujurnya, aku juga berpikiran sama dengan temanku, dia terlalu aneh untuk dianggap manusia normal. Terlebih, aku belum pernah sekelas dengan orang-orang berstyle sejenis dia. Namun dia terlihat tak peduli dengan apa yang kami pikirkan tentangnya. Dia tetap cuek dan bertingkah seolah-olah tak ada hal aneh yang sedang terjadi.

"Nama lo siapa?", tanya Putri kepada manusia kribo itu ketika kelas sudah dimulai.

"Naifal..", jawabnya seraya mengulurkan tangan.

"Gue Putri", balas temanku yang juga mengulurkan tangan, dan akhirnya mereka saling berjabat.

"O iya, ini temen gue, Naira," Putri melirik kearahku yang diikuti oleh Naifal. Kubalas pandangan mereka dengan sebuah senyuman dan uluran tangan.

"Hai, gue Naira", kataku datar. Naifal menjabat tanganku dan ikut menyebutkan namanya.

"Kok gue baru liat elo sekarang sih? Padahal ini kan udah pertemuan ketiga..", tanya Putri, membuka pembicaraan.

"Iya, kemaren-kemaren gue sibuk", jawab si manusia kribo itu ramah. Aku hanya memperhatikan dan sesekali ikut dalam pembicaraan seru mereka.

Berhari-hari setelah jabat tangan itu, aku baru menyadari bahwa ia adalah pria pemegang kamera yang kutemui di dunia maya.


"Takdir telah memainkan perannya. Dan ketika dua anak manusia dipertemukan, aku yakin akan ada sesuatu yang baik di depan"


****


Aku meraih Blackberry-ku yang sejak tadi terdiam dingin di atas kasur. Tak ada BBM ataupun telpon dari Gizka, pacarku.

"Mungkin dia lagi sibuk", gumamku dalam hati. Hanya itu alasan yang dapat kupikirkan. Setidaknya hal itu dapat menenangkan hatiku dari seluruh pertanyaan dan rasa rindu akibat tak mendapat kabar darinya dalam beberapa hari belakangan ini.

Kutekan berapa deret nomor yang sudah kuhafal diluar kepala. Sesaat kemudian, nada sambung terdengar. Aku menunggu dan berharap dia yang berada di seberang sana mengangkat telponku. Namun tak ada respon. Kuulangi lagi kegiatanku itu, namun hasilnya tetap sama, telponku tak diangkat olehnya.

"Gizka, kamu lagi ngapain sih?", aku mulai menggerutu.

Kuhempaskan tubuhku ke atas kasur. Kutatap kembali layar Blackberry-ku dan membuka aplikasi BBMnya. Aku search nama Gizka, dan mulai mengiriminya sebaris chat..

"Hei Mr. Koala.. I miss you~"

Hanya centang dengan huruf D diatasnya. Kutunggu beberapa menit, simbol itu tak urung berubah. Aku terdiam. Sejenak kurasakan pelupuk mataku mulai memanas. Ada rasa sesak yang tiba-tiba menyeruak, dan tanpa bisa kucegah, bulir bening mengalir lembut membasahi pipiku.

Pikiranku menerawang, memutar kembali baris-baris ingatan yang tak sengaja tercipta antara aku dan Gizka. Mulai dari pertemuan pertama kami hingga sebuah hari yang kuanggap indah di hidupku. Kuingat setiap denting waktu yang kuhabiskan bersamanya, meski hanya dijembatani lewat tulisan. Sebuah senyum simpul yang selalu tercipta di wajahku, namun entah diwajahnya. Sebuah rindu yang selalu mengganggu hari-hariku, namun entah diharinya. Semakin aku memikirkan masa itu, semakin aku tersadar, aku hidup atas perasaanku sendiri. Aku hidup dengan sebuah cinta dan kebahagiaan yang aku ciptakan sendiri, bukan bersamanya.

Aku mulai bertanya pada hubungan ini, hubungan yang kurasa hanya ada dianganku, namun tak ada dalam anggapannya. Ikrar yang tercipta kala itu, hanyalah sebuah barisan kalimat yang mungkin tak terlalu berarti baginya, namun aku terlanjur menganggapnya istimewa. Logikaku tergantikan dengan rasa yang selama ini kutujukan hanya padanya. Tanpa kusadari, logikaku berbisik keras bahwa aku harus berhenti berharap dari rasa semu, dari ikatan yang sebenarnya tak pernah benar-benar terikat.

"Menyayangi seseorang itu haruslah ikhlas", kuingat kembali kata-katanya beberapa waktu yang lalu. Yah, itulah yang seharusnya aku lakukan sejak dulu. Kini aku mengikhlaskannya pergi, mengejar seseorang yang ia cintai. Entah siapapun orang itu, kuharap Gizka benar-benar bisa bahagia bersamanya.

Mengikhlaskan jauh terasa lebih mudah daripada terus berharap hal yang takkan pernah bisa kudapatkan. Mengikhlaskan membuatku merasa lebih lega, dan mengerti, bahagia tak harus selalu mendapatkan apa yang kita inginkan.

Dalam sekelebat kenangan yang hilir mudik memenuhi otakku, tiba-tiba bayangan manusia kribo itu muncul. Semakin jelas dan membesar, menggantikan sekumpulan memori yang sejak tadi telah menempati jutaan sel otakku. Ia tersenyum, aku terperanjat. Seketika semua hilang. Hanya ada aku diantara atmosfer kamar yang kosong.


****


Hari ini aku sekelas sama manusia kribo itu lagi. Kuterawang seisi kelas, namun aku belum menemukan batang hidungnya. Sepertinya pria itu telat, atau mungkin engga masuk. Aku kembali mencatat, lebih tepatnya mencoret-coret buku catatanku. Aku sedang tak berminat dengan pelajaran hari ini. Entah kenapa, aku terus mencari-cari keberadaannya. Dan tepat disaat aku melirik ke arah pintu keluar, manusia kribo itu muncul. Namun tidak kali ini. Dia engga kribo lagi, seperti biasanya.

"Weits, ada yang rapian tuh", lagi-lagi temanku menyeletuk. Namun aku yakin Naifal tak mendengar celetukan itu.

Aku terus saja mencoret-coret buku catatanku. Entah apa yang sedang kutulis. Tangan dan otakku tak bekerja sejalan. Sesekali, kucuri pandang ke arah manusia yang tak lagi kribo itu, yang duduk di kursi belakang sebelah kananku. Aku menggeleng kepala ketika kudapati ia tengah asyik dengan kameranya, padahal dosen lagi berkoar di depan kelas.

"Kelakuan..", kataku dalam hati.


****


Sudah sebulan sejak jabat tangan di dunia nyata itu, aku semakin akrab dengan Naifal. Dia mengajariku cara melukis dengan cahaya, yang orang-orang lebih sering menyebutnya dengan memotret. Dibalik gayanya yang acuh dan cuek, dia cukup manis dan perhatian. Dia sesosok pria yang humoris, menyenangkan dan mampu membuat suasana jadi hangat dan berwarna. Tanpa kukomandoi, bayangnya mulai sering mengganggu pikiranku. Sepertinya, aku mulai menyukainya.

Bagiku, sebulan bukanlah waktu yang lama untuk mengenal seseorang. Bukan pula waktu yang singkat untuk merasakan segelintir rasa yang aneh di hatiku. Sebelum pertemuan yang benar-benar nyata itu, aku telah lama menyadari keberadaannya. Dia yang kukenal di dunia maya, adalah seorang Naifal yang konyol. Dan dia di dunia nyata, tak jauh berbeda dengan kesan pertamaku, konyol.

Kutemukan rasa nyaman saat didekatnya. Aku merasa seakan semua beban hidupku luruh ketika sudut mataku mendapati sosoknya. Ada sebuah senyum yang melengkung sempurna di hatiku, dan kutahu, ini tak hanya sekedar rasa suka.

Kurapalkan doa di akhir sujudku, bertanya pada Sang Maha, tentang dia yang akan menjadi bagian dari hidupku. Tentang dia yang akan menemaniku menciptakan jejak diantara jejak langkahku. Tentang dia yang akan membantuku mewujudkan mimpiku diantara mimpi-mimpinya. Tentang dia yang akan menciptakan sesungging senyum di bibirku, dan bahu tempatku bersandar dari keluh kesahku. Diakhir doa, kupejamkan mataku dan terdiam beberapa saat.

Kudengar suara pintu di ketuk. Segera kuraih kunci dan membuka pintu. Aku tersenyum, mendapati sesosok pria yang tengah berdiri dibalik pintu itu. Naifal, sang pria itu, ikut tersenyum. Sekilas kulihat taburan bintang berkelip sayup. Aku tahu, Tuhan telah menjawab doaku.


****

Kehadiranmu membuat warna di hidupku tak hanya mejikuhibiniu


Tuesday, May 7, 2013

Faya, Bukan Siti Nurbaya


"Niko itu baik, lho," kata mama yang sedang mengaduk secangkir kopi di ruang makan.

"Aku masih mau sekolah, ma. Aku pengen kuliah, bukan nikah!" Ku atur suaraku agar tak terdengar meninggi di telinga mama.

"Ujung-ujungnya kamu juga bakal jadi pelayan suami kamu. Dapur-kasur thok. Jadi buat apa sekolah tinggi-tinggi? Ngabisin biaya aja!"

Suara mama terdengar sangat marah atas pembangkanganku. Tak kutatap wajahnya yang kuterka pasti sudah merah padam itu. Kubiarkan tubuhku tenggelam di dalam sofa dan menutup mataku agar bulir air hangat ini tak menetes lebih deras. Aku terisak, tak bersuara. Kudengar langkah kaki mama semakin jelas, mendekat kearahku. Beberapa detik kemudian sebuah sapuan halus mendarat lembut di pundakku.

"Kamu ngerti kondisi keuangan kita kan, nduk? Kalo kamu nikah sama Niko, kita bakal bisa menebus rumah ini.." Mama mengelus pundakku yang terus berguncang.

"Dia itu 15 tahun lebih tua dari aku, Ma. Dia lebih cocok aku panggil Om daripada kekasih.."

"Mama sama Bapak kamu juga terpaut umur 15 tahun."

"Apa mama pernah bahagia nikah sama Bapak?!" Kini aku memberanikan diri untuk menatap wajah orang yang telah melahirkanku 18 tahun yang lalu, tepat di kedua matanya. Mataku yang telah basah dan sembab masih bisa melihat paras yang ada di depanku ini, wajah sendu yang berusaha ditutupi dengan ekspresi ceria. Sudah kutebak, ia akan diam seribu bahasa bila kulontarkan pertanyaan seperti itu.

Bapak. Ayah yang paling tak bertanggung jawab terhadap keluarganya. Pergi meninggalkan kami begitu saja dengan beban hutang yang menggunung, yang menyebabkan kondisi keuangan kami berada di ujung tombak. Rumah beserta isinya telah disita oleh bank. Kami harus menebus bermilyar-milyar rupiah untuk menebus tempat tinggal yang menjadi warisan mama turun-temurun dari kakek buyutnya ini.

Elisabeth. Huh! Bule jalang itu yang telah menyebabkan kehancuran keluargaku. Aku membencinya, sejak pertama kali bapak mengajaknya berkunjung kerumah ini dan memperkenalkannya padaku dan mama sebagai sekretaris baru di kantor bapak. Saat itu aku masih berusia 7 tahun, dan aku sudah membenci sorot matanya yang tajam dan mengerikan. Bapak bilang kinerjanya bagus, tapi aku bilang dia hanya wanita murahan yang selalu memamerkan auratnya secara gratis. Bapak menamparku karena itu, tetapi aku puas karena tamparan bapak tak sesakit lecutan perkataanku yang langsung menusuk hatinya. Sejak kejadian itu, ia tak pernah lagi berkunjung kerumah. Baguslah, setidaknya lantai rumahku tak terkotori oleh sampah berjalan sepertinya.

Terakhir kali aku bertemu Elisabeth saat aku menginjak usia 14 tahun. Itu adalah hari ulang tahunku, dimana aku dan mama sedang berkeliling di mall, tak sengaja memergoki bapak tengah bercumbu mesra dengan Elisabeth disalah satu tempat makan yang cukup elit di sudut Jakarta. Spontan aku langsung mendekati meja mereka, mengambil sebuah gelas dan langsung menghantamkannya tepat di kepala bule jalang itu. Aku tersenyum puas melihat tubuh hampir telanjangnya tersungkur di lantai. Aku segera pergi dan menarik tangan mama dari tempat nista itu.

Aku selalu meminta mama untuk bercerai dengan Bapak, namun mama menolaknya. Ia bilang, ia tak ingin aku kehilangan kasih sayang dari seorang ayah. Ayah yang mana yang ia maksud? Iblis itu bahkan tak pantas disebut sebagai seorang ayah.

Aku tak punya ayah. Aku tetap bisa hidup walau tak ada kehadiran sosok seorang ayah. Itu yang selalu aku tekankan pada diriku. Aku tak sudi mempunyai ayah seperti dia. Ayah yang tak pernah mengajakku bermain layang-layang atau sekedar berlibur di taman. Ayah yang hanya memberi contoh buruk pada kehidupanku. Aku benci Bapak! Pekik hatiku keras-keras. Yah, biarlah aku menjadi anak yang durhaka. Setidaknya Tuhan mengerti alasan dibalik pemberontakanku ini.

****

"Kamu pasti bisa mencintainya. Jalanin aja dulu.." Mama tetap berusaha membujukku, namun aku tetap berusaha menolak.

Aku tak ingin membohongi perasaanku. Ada sebuah nama yang telah lama aku ukir di relung hatiku. Nama dari seorang pria yang tak sengaja kutemui di sebuah toko buku. Seorang pria yang dengan mudah mencuri perhatianku, dan membuat hari-hariku selalu dirasuki bayangannya. Seorang pria berkaca mata, kurus dan tinggi semampai. Seorang pria yang mempunyai senyum yang manis dan keramahan yang selalu terpancar diwajahnya. Seorang pria yang tak pernah meninggalkan sholat dan suka memberi. Seorang pria yang sempurna dimataku, dan menjadi pilihan hatiku. Faeyza Arsyad.

"AKU.. BELUM.. MAU.. NIKAH, MA !!" kueja kata demi kata dari kalimatku dengan tegas.

Ku ambil jaketku yang tergantung di pinggir sofa dan segera menuju pintu depan. Tepat sebelum tanganku berhasil memegang pegangan pintu, pintu itu dibuka dari luar. Tampak wajah Niko menyembul, membawakan seikat bunga mawar.

"Eh, Faya. Mau kemana?," Niko menyapaku dengan suara manisnya yang menurutku terlalu dibuat-buat. Kubalas sapaannya dengan pandangan sinis.

"Ke laut, mancing hiu. Ikut lo?!" Jawabku ketus.

"Kemana aja asal bareng Faya pasti aku ikut kok"

"Yaudah, ntar lo gue jadiin umpannya." Aku langsung beranjak pergi, meninggalkan Niko dengan air mukanya yang berubah pasi.

Kunyalakan mobil dan segera menghilang dari sapuan pandangan. Perasaanku tak karuan. Aku tak tau harus melakukan apa untuk menghindari bujukan mama, menikah dengan Niko, si pria hidung belang beristri dua itu. Aku benar-benar masih ingin merasakan umur beliaku. Berpetualang, mewujudkan impianku, menciptakan jejak baru, mengukir kisahku, merasakan cinta dari orang yang aku cintai. Aku tak ingin kebebasanku direnggut oleh Niko. Ini bukan jaman Siti Nurbaya lagi. Aku tak mau perjodohan ini terjadi. Aku ingin memilih sendiri orang yang akan kujadikan imamku di sisa hidupku, dan orang itu pastilah bukan Niko. Tak akan pernah!

Soal rumah, biarkan saja ia disita bank. Biarkan saja warisan leluhur itu lenyap. Toh setelah mama, takkan ada lagi yang ingin mengurusi rumah berarsitek belanda itu. Rumah itu sudah tua, sudah pantas dirubuhkan. Seperti eyang buyutku yang sudah lama menyatu dengan tanah. Dimakan cacing. Hancur, bahkan hingga tulang belulangnya.

Aku kembali menangis. bodoh sekali. Tiba-tiba bayangan Eza muncul di tengah lamunanku. Dia tersenyum dan memanggil namaku dengan lembut. Wajahnya yang bersinar tampak seperti malaikat penyelamat bagiku. Lalu muncul wajah mama. Kali ini ia tak menangis. Mama bilang, aku boleh kuliah. Aku boleh lebih dekat dengan Eza. Aku tak harus menikahi Niko. Rumah telah ditebus Niko tanpa meminta imbalan apapun dari keluargaku. Senyumku mengembang. Tangisku hilang. Rasanya lega sekali. Mungkin Tuhan sedang berpihak padaku.

Lalu muncul bayangan yang lain. Seorang gadis yang tengah terbujur kaku di sebuah ruangan yang didominasi warna putih dan hijau. Aku tak mengenal gadis ini. Lalu ada suara tangis. Suasana mulai ricuh. Aku ingin membuang bayangan ini, namun semakin kucoba, bayangan itu semakin jelas dan terlihat nyata. Terdengar suara mama, suara papa, dan.. Itu aku! Apa yang terjadi? Gadis yang terbujur di kasur itu aku. Tidak mungkin. Aku sedang menyetir mobil, saat ini.

Oh, tidak! Kupandangi diriku sendiri yang kini mulai lenyap. Aku tak lagi berada di dalam mobil. Kualihkan pandangan ke sekitar. Tampak kerumunan orang dan beberapa polisi sedang menyidak di pinggir jalan. Kulihat mobilku hancur, menabrak trotoar. Kini aku mengerti apa yang terjadi. Aku tersenyum. Tubuhku meringan. Cahaya putih muncul dan semakin berkelebat hebat. Semua berubah putih. Aku hilang. Aku padam.

Thursday, May 2, 2013

Salju di Pucuk Edelweiss


Jika tak bisa menghancurkan jarak yang terbentang sinis, mungkin aku harus mencari jengkal untuk melangkah..




Aku semakin sulit berjalan. Napas yang kuatur sedemikian rupa kini mulai tersengal-sengal. Langkahku semakin pendek, mencoba tetap menapaki punggung gunung yang terus menanjak. Aku tertunduk, mengatur napas dan mulai berjalan lagi. Kubenarkan posisi ransel yang menggantung berat di pundakku. Selangkah, dua langkah.. aku tak tahan lagi.

"Istirahat bentar dong," kueratkan genggaman tangan kiriku dengan sedikit menarik, memberi tanda kepada seseorang yang sejak tadi memegangiku untuk ikut istirahat.

"Yaudah, duduk di sana aja. Ada batu besar, tuh..", katanya seraya menunjuk sebuah batu yang terletak tak jauh dari tempat kami berdiri.

Dia menggenggam tanganku lebih erat lagi, memastikan bahwa aku terus bersamanya. Kubalas genggaman tangannya dan mulai melangkahkan kaki lagi hingga akhirnya kami tiba di sebuah batu yang cukup besar untuk diduduki. Aku langsung menurunkan ranselku dan menjatuhkan badan di batu itu. Dia mengambil tempat di sampingku.

"Capek yah?", tanyanya.

Aku mengangguk, mengiyakan. Bahkan untuk bersuara saja aku sudah terlalu lelah. Sambil mengatur napas, kusapu pandangan ke seluruh penjuru jalan. Beberapa pendaki terlihat melintas. Setiap dari mereka menyapa kami dengan ramah, "permisi kak..", katanya. Kubalas sapaan mereka dengan senyum dan suara yang sedikit kupaksakan diantara lelahku.

Sudah suatu kebiasaan di gunung untuk melakukan hal itu. Menyapa para pendaki yang melintas maupun yang sedang beristirahat, bertukar makanan dan minuman, bertukar cerita dan pengalaman dengan orang-orang yang baru di kenal. Menjalin persahabatan dari sesama pecinta alam. Karena di tempat ini, kita punya tujuan yang sama. Dan di tempat ini, solidaritas dan kerendah-hatian akan sangat kontras terlihat.

Selain para pendaki, sepanjang sorotan pandanganku hanya ada pepohonan rindang dan jalan setapak yang berbatu. Disini, tak ada keramaian seperti yang sering kutemukan di kota. Hanya ada suara jangkrik, burung, dan aliran sungai.

"Detak jantung alam," gumamku dalam hati.

Kunikmati suasana ini, menghirup udara yang dihembuskan oleh dedaunan hijau, membiarkan oksigennya menelusuri setiap rongga tenggorokanku. Mengatur kembali mekanisme pernapasanku yang kini mulai normal lagi. Meluruskan kakiku dan membiarkannya menyatu dengan tanah. Berkotor-kotoran, berlelah-lelahan, dan hanya ada kesenangan.

"Jalan lagi yuk?!", ajaknya setelah kami beristirahat cukup lama.

"Yuk!" kataku semangat.

Jemarinya kembali mengisi sela-sela jemariku. Dengan sebuah genggaman yang erat, kami berdua kembali menapaki punggung gunung Gede itu. Melangkah, menciptakan jejak baru. Menanjak, lebih dekat menuju puncak. Semangat, rasa yang akan membawaku mencapai tujuanku. Berkali-kali aku lelah, tersengal, hingga mengharuskanku kembali beristirahat, mengatur napas, lalu kembali berjalan dan menapak lagi.

"Semangat dong. Tinggal lima menit lagi, nyampe!"

"Lima menit kali berapa?", kataku sambil menahan lelah.

Lima menit. Kalimat yang dijadikan andalan agar semangat mendaki terus terpacu. Kalimat ajaib yang nyatanya memang membuat para pendaki terdorong untuk lebih cepat melangkah. Kalimat yang membuatku menahan tawa, karena tak mungkin mencapai puncak dari tempatku berdiri hanya dalam waktu lima menit. Mungkin lima menit dikali puluhan denting jarum jam.

****

"Puncak!!"

Terdengar suara dari atas, tak jauh dari tempatku berada. Aku dan dia langsung berpandangan dan tersenyum senang.

"Udah deket. Yuk!" Dia terus menuntunku hingga ke puncak gunung Gede. Aku terus menggenggam tangannya, tak ingin terlepas walau sekejap. Kuciptakan kembali beberapa langkah terakhirku, hingga akhirnya kami berdua tiba di puncak.

Sinar hangat matahari dan udara sejuk langsung menyambut kedatangan kami. Sebuah kawah belerang dengan warna kuningnya yang khas tampak menawan di sebelah kiri, tanpa tertutup sebersit kabutpun. Di sebelah kanan terdapat beberapa tenda pendaki. Aku juga menemukan penjual nasi uduk, yang katanya kegiatan itu sudah berlangsung sejak jaman Pak Soeharto. Ngga kebayang gimana cara mereka tiba di puncak sambil menjajakan dagangannya, mengingat diriku saja yang mencoba naik ke puncak dengan penuh perjuangan.

Kuhembuskan segumpal napas ke udara. Lelah yang sejak tadi kurasakan, kini semua seakan sirna, tergantikan oleh kekaguman akan sapuan karya Tuhan yang saat ini kutatap. Aku meregangkan sendi-sendi kakiku, merasakan sejuknya semilir angin dan hangatnya sinar matahari.

"Makasi ya udah bawa aku sampai ke puncak," kataku pada pria itu. Pria yang sejak awal menemaniku meniti langkah dari awal sekali hingga kakiku berhasil menginjak tanah tertinggi gunung Gede.

"Samasama", balasnya dengan senyum ramah.

"Makasi juga karena udah jadi semangat aku.." bisik hati kecilku, kalimat yang takkan pernah di dengarnya.

Aku memutar ingatan, mereka ulang kejadian yang telah aku alami selama pendakian. Menapaki jalan berbatu yang terjal sambil menyandang ransel yang berat. Peluh yang terus mengucur deras dan napas yang tak bisa mengalir normal. Di sepanjang perjalanan, yang kupikirkan hanya bagaimana aku bisa sanggup terus berjalan. Bagaimana aku tak berhenti dan menyerah. Mungkin, aku takkan pernah sampai ke puncak jika tak ada dia. Thanks, Al.

Mataku kembali menerawang, mencari-cari sesuatu yang menjadi tujuan awalku menuju puncak gunung Gede. Edelweiss. Sekawanan bunga itu banyak tumbuh subur di alun-alun Surya Kencana. Namun untuk tiba disana, aku harus mengerahkan tenaga dan waktu yang lebih banyak lagi. Syukurlah, aku tak terlalu kecewa karena di pinggir kawah gunung ini juga terdapat segerombol kecil bunga abadi itu. Letaknya yang tumbuh di tepi jurang membuatku tak dapat menyentuh bunga kuning itu. Tapi tak mengapa, melihatnya langsung dengan mataku sendiri saja sudah membuatku senang untuk membunuh rasa penasaranku.

"Gue bakal ambilin bunga itu buat lo," kata pria itu, menatap tepi jurang sambil mencari-cari jalan setapak untuk turun kebawah.

"Ngga usah. Turunnya susah, ntar lo jatuh.."

Perkataanku tak digubrisnya sama sekali. Dengan sekejap pandang, kulihat kini ia telah mengatur pijakan kaki dan akhirnya tiba di samping tempat tumbuhnya bunga itu. Dengan sekelebat cahaya, putaran lensa dan menjatuhkan titik fokus diantara kumpulan bunga edelweiss, dia kembali naik dan membawa si kuning kecil itu di dalam layar kameranya.

"Dasar nekat!", kataku yang hanya dibalas seringai olehnya.


****


Bagai salju di pucuk edelweiss. Naungan putih diantara kuning, salju yang terpancar indah bersama keabadian bunga edelweiss. Putihnya rasa, tulusnya perjuangan, manisnya harapan, abadinya semangat. Menjelma menjadi satu kata, mewakili sebuah makna, dalam sebersit senyum yang mengembang; dia.

Punggung gunung Gede menjadi saksi bisu, bagaimana anak manusia saling berjuang demi mencapai tujuannya. Seperti realitas hidup yang penuh dengan lika-liku, ragam masalah dan juga kebahagiaan. Aku percaya, segalanya akan manis pada waktunya. Aku memang tak bisa menghancurkan jarak yang terbentang sinis, mungkin saatnya aku harus mencari jengkal untuk melangkah. Membiarkan jarak terus menertawai kebodohanku hanya akan membuatku terlihat semakin bodoh. Kulepas jarak itu, membiarkan ia berlalu dan tersapu waktu. Sisanya, biarlah semesta yang bekerja. Entah bagaimana ia akan membuat jengkal ini berevolusi. Yah, only love can break your heart.



Diantara keindahan gunung Gede, aku menemukan cinta..