Gue inget pertama kali gue melangkah jauh dari orang tua. Waktu itu, 23 Juni 2012, pukul 7 pagi di bandara Polonia Medan. Gue berlari sedikit tergesa-gesa menuju pintu utama. Pintu yang memisahkan orang-orang yang akan pergi, dan mereka yang tetap tinggal. Pintu yang menjadi saksi bisu, tercurahnya air mata dan haru biru para keluarga, kerabat dan teman dekat.
Pagi itu, gue beranjak meninggalkan wilayah yang sejak lama gue sebut rumah, mendatangi wilayah baru yang sama sekali asing bagi gue. Pagi itu membuat gue makin percaya, dekapan ternyaman adalah dekapan orang tua. Iya, nyaman banget.
Lucu ya, dimana perpisahan bertindak layaknya kaca pembesar, membuat segalanya terlihat sangat dramatis. Perpisahan ini membuat gue mengingat segala kejadian yang pernah gue lalui bareng keluarga. Entah itu saat kumpul-kumpul bareng di ruang tv, saat gue menyuruh adek untuk tidak memberitahu umi bahwa piringnya baru saja gue pecahkan, saat gue dengan ga sengaja memasak telur rebus hingga gosong karena ditinggal main, dan berakhir dengan omelan mahadahsyat umi, saat gue berkonspirasi dengan warga di rumah untuk membuat acara sederhana ketika salah seorang anggota keluarga berulang tahun, hingga saat gue membuat kedua orang tua gue menangis haru, ketika gue lulus smk dengan sebuah prestasi yang bisa gue banggakan di hadapan mereka.
Setelah puas memeluk dan menyalami tangan kedua orang tua gue, gue berbalik arah, menyusuri lorong bandara. Seiring gue menggeret sebuah koper gede dengaan langkah terburu-buru, air mata gue tumpah. Gue sadar, gue ga bakal melihat wajah-wajah itu untuk waktu yang lama.
****
JAKARTA. Kota buas tempat gue mengadu nasib. Berada di kota ini seperti seekor liliput yang sedang berdiri di hadapan raksasa berwajah andhika kangen band dengan segala gigi taringnya, yang siap menelan gue hidup-hidup. Gue disambut dengan kemacetan dan lalu lintas yang semraut. Gue menghabiskan waktu tiga jam dari bandara untuk tiba di rumah tinggal pertama gue di Jakarta, di rumah sodaranya temen gue, tepatnya di daerah Jakarta Timur. Dari sini, gue menelusuri jalan menuju kantor tempat gue akan bekerja di daerah Jakarta Pusat. Kesan pertama gue.. anjrit jauh banget!
Kemacetan di Jakarta itu udah mirip kayak kutilnya Sogi Indra Dhuaja, melekat dan susah dihilangkan. Gue harus berangkat pagi-pagi banget agar terhindar dari kemacetan. Dan gue baru tiba lagi di rumah ketika jarum jam menunjukkan pukul delapan malam. Gelap ketemu gelap. Seminggu pertama gue tinggal di Jakarta, badan gue resmi pegal-pegal.
Setelah sebulan berlalu dan gue udah gajian yang artinya gue udah punya uang, gue memutuskan untuk mencari tempat tinggal yang lebih dekat dengan kantor. Radio Dalam menjadi pilihan gue saat itu, dikarenakan rekan kerja gue juga ada yang tinggal di situ. Masalah jarak terselesaikan. Gue bisa menyambut pagi dengan ritual yang berbeda; menggedor-gedor pintu kamar mandi karena kesiangan. Namun masalah kemacetan masih tetap berada di rating nomor satu.
Setelah cukup lama tinggal di Radio Dalam dan masalah pribadi gue dengan macet masih belum terselesaikan, akhirnya gue mencari 'cangkang' baru lagi untuk di tinggali. Selama gue menghirup udara Jakarta, gue udah pindah tempat tinggal lima kali. Bagai siput yang gonta-ganti cangkang karena penyesuaian ukuran tubuh, gue pun demikian. Ada saat dimana gue udah mulai merasa ga nyaman di daerah itu, yang akhirnya mengharuskan gue untuk (kembali) pindah.
Segala urusan tentang pindah itu benar-benar merepotkan. Mulai dari mencari tempat tinggal baru, mengemas barang-barang, mengangkut barang-barang itu ke tempat yang baru, hingga akhirnya merapikan barang-barang itu kumbali. Namun yang gue suka dari perpindahan adalah saat-saat gue harus membongkar barang dan menyusunnya kedalam kotak-kotak kecil. Terkadang gue menemukan benda-benda yang gue pikir udah hilang. Dan di balik benda-benda hilang itu, seringnya gue menemukan kepingan kenangan yang terlupakan.
Gue percaya, dibalik sebuah peristiwa pasti selalu ada hikmah. Walau terkadang gue suka ga ngerti hikmah seperti apa yang dimaksud. Begitupun dengan perpindahan ini. Di suatu langkah ketika gue menelusuri lorong jembatan penyebrangan di shelter Semanggi menuju tempat tinggal baru di Jakarta Barat, gue tertegun. Ini adalah tempat dimana gue pertama kali berkenalan dengan Jakarta, dengan desak-desakan di bis, dengan lampu-lampu jalan yang temaram di sisi kota, dengan sinar malu-malu matahari ketika ia akan beranjak pergi maupun saat menjelang pagi. Ini adalah lorong dimana gue dulu pernah berpikir, bahwa gue harus bisa berteman baik dengan masalah-masalah gue itu, yang juga menjadi masalah sebagian besar orang yang tinggal di Jakarta. Ini juga tempat dimana gue memantapkan diri, bahwa suatu saat gue akan lebih baik dari keadaan gue saat ini. Dan kini, ketika gue kembali berada di sini, gue cuma bisa bilang, lorong ini akan menjadi teman gue melangkah untuk beberapa masa ke depan.