Thursday, September 26, 2013

Cangkang Baru




Gue inget pertama kali gue melangkah jauh dari orang tua. Waktu itu, 23 Juni 2012, pukul 7 pagi di bandara Polonia Medan. Gue berlari sedikit tergesa-gesa menuju pintu utama. Pintu yang memisahkan orang-orang yang akan pergi, dan mereka yang tetap tinggal. Pintu yang menjadi saksi bisu, tercurahnya air mata dan haru biru para keluarga, kerabat dan teman dekat.

Pagi itu, gue beranjak meninggalkan wilayah yang sejak lama gue sebut rumah, mendatangi wilayah baru yang sama sekali asing bagi gue. Pagi itu membuat gue makin percaya, dekapan ternyaman adalah dekapan orang tua. Iya, nyaman banget.

Lucu ya, dimana perpisahan bertindak layaknya kaca pembesar, membuat segalanya terlihat sangat dramatis. Perpisahan ini membuat gue mengingat segala kejadian yang pernah gue lalui bareng keluarga. Entah itu saat kumpul-kumpul bareng di ruang tv, saat gue menyuruh adek untuk tidak memberitahu umi bahwa piringnya baru saja gue pecahkan, saat gue dengan ga sengaja memasak telur rebus hingga gosong karena ditinggal main, dan berakhir dengan omelan mahadahsyat umi, saat gue berkonspirasi dengan warga di rumah untuk membuat acara sederhana ketika salah seorang anggota keluarga berulang tahun, hingga saat gue membuat kedua orang tua gue menangis haru, ketika gue lulus smk dengan sebuah prestasi yang bisa gue banggakan di hadapan mereka.

Setelah puas memeluk dan menyalami tangan kedua orang tua gue, gue berbalik arah, menyusuri lorong bandara. Seiring gue menggeret sebuah koper gede dengaan langkah terburu-buru, air mata gue tumpah. Gue sadar, gue ga bakal melihat wajah-wajah itu untuk waktu yang lama.


****


JAKARTA. Kota buas tempat gue mengadu nasib. Berada di kota ini seperti seekor liliput yang sedang berdiri di hadapan raksasa berwajah andhika kangen band dengan segala gigi taringnya, yang siap menelan gue hidup-hidup. Gue disambut dengan kemacetan dan lalu lintas yang semraut. Gue menghabiskan waktu tiga jam dari bandara untuk tiba di rumah tinggal pertama gue di Jakarta, di rumah sodaranya temen gue, tepatnya di daerah Jakarta Timur. Dari sini, gue menelusuri jalan menuju kantor tempat gue akan bekerja di daerah Jakarta Pusat. Kesan pertama gue.. anjrit jauh banget!

Kemacetan di Jakarta itu udah mirip kayak kutilnya Sogi Indra Dhuaja, melekat dan susah dihilangkan. Gue harus berangkat pagi-pagi banget agar terhindar dari kemacetan. Dan gue baru tiba lagi di rumah ketika jarum jam menunjukkan pukul delapan malam. Gelap ketemu gelap. Seminggu pertama gue tinggal di Jakarta, badan gue resmi pegal-pegal.

Setelah sebulan berlalu dan gue udah gajian yang artinya gue udah punya uang, gue memutuskan untuk mencari tempat tinggal yang lebih dekat dengan kantor. Radio Dalam menjadi pilihan gue saat itu, dikarenakan rekan kerja gue juga ada yang tinggal di situ. Masalah jarak terselesaikan. Gue bisa menyambut pagi dengan ritual yang berbeda; menggedor-gedor pintu kamar mandi karena kesiangan. Namun masalah kemacetan masih tetap berada di rating nomor satu.

Setelah cukup lama tinggal di Radio Dalam dan masalah pribadi gue dengan macet masih belum terselesaikan, akhirnya gue mencari 'cangkang' baru lagi untuk di tinggali. Selama gue menghirup udara Jakarta, gue udah pindah tempat tinggal lima kali. Bagai siput yang gonta-ganti cangkang karena penyesuaian ukuran tubuh, gue pun demikian. Ada saat dimana gue udah mulai merasa ga nyaman di daerah itu, yang akhirnya mengharuskan gue untuk (kembali) pindah.

Segala urusan tentang pindah itu benar-benar merepotkan. Mulai dari mencari tempat tinggal baru, mengemas barang-barang, mengangkut barang-barang itu ke tempat yang baru, hingga akhirnya merapikan barang-barang itu kumbali. Namun yang gue suka dari perpindahan adalah saat-saat gue harus membongkar barang dan menyusunnya kedalam kotak-kotak kecil. Terkadang gue menemukan benda-benda yang gue pikir udah hilang. Dan di balik benda-benda hilang itu, seringnya gue menemukan kepingan kenangan yang terlupakan.

Gue percaya, dibalik sebuah peristiwa pasti selalu ada hikmah. Walau terkadang gue suka ga ngerti hikmah seperti apa yang dimaksud. Begitupun dengan perpindahan ini. Di suatu langkah ketika gue menelusuri lorong jembatan penyebrangan di shelter Semanggi menuju tempat tinggal baru di Jakarta Barat, gue tertegun. Ini adalah tempat dimana gue pertama kali berkenalan dengan Jakarta, dengan desak-desakan di bis, dengan lampu-lampu jalan yang temaram di sisi kota, dengan sinar malu-malu matahari ketika ia akan beranjak pergi maupun saat menjelang pagi. Ini adalah lorong dimana gue dulu pernah berpikir, bahwa gue harus bisa berteman baik dengan masalah-masalah gue itu, yang juga menjadi masalah sebagian besar orang yang tinggal di Jakarta. Ini juga tempat dimana gue memantapkan diri, bahwa suatu saat gue akan lebih baik dari keadaan gue saat ini. Dan kini, ketika gue kembali berada di sini, gue cuma bisa bilang, lorong ini akan menjadi teman gue melangkah untuk beberapa masa ke depan.

Wednesday, September 25, 2013

Tongue Twister - Copyright

Pengen ngerasain lidah keseleo? Coba baca artikel ini secara cepat.
When you write copy you have the right to copyright the copy you write. You can write good and copyright but copyright doesn’t mean copy good – it might not be right good copy, right?
Now, writers of religious services write rite, and thus have the right to copyright the rite they write. Conservatives write right copy, and have the right to copyright the right copy they write. A right wing cleric might write right rite, and have the right to copyright the right rite he has the right to write. His editor has the job of making the right rite copy right before the copyright would be right. Then it might be copy good copyright.
Should Thom Wright decide to write, then Wright might write right rite, which Wright has a right to copyright. Copying that rite would copy Wright’s right rite, and thus violate copyright, so Wright would have the legal right to right the wrong. Right?
Legals write writs which is a right or not write writs right but all writs, copied or not, are writs that are copyright. Judges make writers write writs right. Advertisers write copy which is copyright the copy writer’s company, not the right of the writer to copyright. But the copy written is copyrighted as written, right?
Wrongfully copying a right writ, a right rite or copy is not right.

Hahaha. Gimana? Seru kan? Ini aku temuin disalah satu blog rekomendasi Paman Gugel.

Apa Yang Kucari Disini?


Bukankah menyenangkan, bila setiap hari kita bisa merasakan masakan yang diracik sendiri oleh tangan bunda? Bukankah menyenangkan, bila setiap saat kita bisa mendengarkan omelan ayah karena kenakalan kita? Ya! Memang sangat menyenangkan, bisa bermanja dengan mereka.

Aku memang tak punya album biru seperti di sebuah lirik dari lantunan suara merdu Teh Melly Goeslaw. Aku hanya punya ingatan yang lebih kuat daripada sekedar album berdebu dan usang itu. Tak ada gambar diri. Hanya beberapa wajah yang kukenali dengan pasti. Wajah letih umi, wajah lusuh buya, wajah nakal para adik-adikku. Lebih dari sekedar bayangan, aku bahkan bisa mendengar tawa riang mereka dari kejauhan. Dari jarak yang tak dapat kupastikan. Dari sebuah waktu yang telah menjadi silam.

Aku terlalu jauh dari rumah.

Aku memisahkan diri? Tentu saja tidak. Sesuatu menerbangkan aku hingga aku menepi di kota ini. Kota yang dipenuhi gedung-gedung pencakar langit dan bintang-bintang yang bertaburan di tanah. Padahal aku selalu merindukan kicauan burung yang mengusik tidurku dikala weekend. Atau benda-benda langit yang selalu kunikmati di beranda rumah bersama para kurcaci kecilku, ditiap malam. Yah, lagi-lagi tentang silam.

Apa yang kucari disini?

Kota ini terlalu memukauku. Hingga aku lupa, untuk apa aku disini. Mungkin aku tersesat, dari sebuah mimpi yang dulu ingin kujadikan nyata. Entahlah, kini semua memburam. Aku tak lagi tahu, untuk apa sebenarnya aku disini. Senyum bunda tak dapat kulihat. Apakah ia bangga padaku, ataukah sebenarnya ia telah lupa, bahwa aku pernah ada di hari-harinya?

Tak ada prestasi apa-apa. Bahkan untuk hidupku sendiri. Sehari setelah aku disini, aku berdiri dengan menggenggam satu harapan. Begitu semangat untuk merentas hari dan mewujudkan harapan itu. Kini, setelah beratus-ratus hari, aku tetap orang yang sama. Menggenggam satu harapan. Sayangnya, kini aku kehilangan semangat.

Apa yang kucari disini? Dulu, aku ingin sekali membuat hidup keluargaku lebih berarti. Mencoba berteman dengan jarak dan merelakan kehilangan dekapan suasana rumah yang hangat. Melangkah jauh, ke kota yang sangat jauh. Sendirian. Kesepian. Menjadi seorang perantau. Menjadi MANDIRI.



Orang pandai dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Pergilah kau kan kau dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang

Aku melihat air yang diam menjadi rusak kerana diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih jika tidak kan keruh menggenang
Singa tak akan pernah memangsa jika tak tinggalkan sarang
Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

Jika sahaja matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
 Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Rembulan jika terus-menerus purnama sepanjang zaman
Orang-orang tidak akan menunggu saat munculnya datang
Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Setelah diolah dan ditambang manusia ramai memperebutkan

Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan
Jika dibawa ke bandar berubah mahal jadi perhatian hartawan

- Sebuah kutipan lengkap yang dituturkan oleh Imam Asy-Syafi'i -


Aku memercayai nasib baik. Keberadaanku di tempat ini pasti sebuah langkah maju untuk menaiki ribuan tangga berundak, yang diujungnya terdapat hal yang sangat ingin kuraih.

Lalu, apa selanjutnya?

Tentu saja fokus untuk menaiki setiap undakan tangga itu. Memang akan banyak peluh bercucuran, hati yang bimbang di tengah jalan dan bahkan keinginan untuk kembali pulang, mengakhiri seluruh perjalanan dan bertemu garis awal. Tapi bukankah menyerah adalah tanda orang gagal? Dan aku tak mau jadi pengikut barisan itu. Yang kumau ada di atas sana, dan aku harus bisa mencapainya. Dengan apa? Entahlah. Yang kutahu, tak boleh ada kata putus asa di dalamnya.


"Seharusnya, semakin tua umur kita, kita tidak semakin ingin mandiri dari orang tua kita. Sebaiknya semakin bertambah umur kita, semakin kita dekat dengan  orangtua kita." - Raditya Dika


Tak apa, jauh dari orang tua. Tak apa, kehilangan bahagia. Toh setelah aku menemukan apa yang selama ini kucari, aku akan kembali pulang. Siapa yang mau selamanya sendirian?

Tuesday, September 24, 2013

Pengagum Rahasia


Diam-diam, aku jadi pengagummu. Kau tahu itu? Kurasa tidak. Aku terlalu nyaman untuk menikmatimu dalam diam. Dalam jarak yang bahkan aku sendiri tak dapat memperhitungkan.

Kau tahu, kita selalu bertemu. Kau tak menyadarinya, bukan? Aku selalu menatapmu lekat-lekat, dari sudut yang tak pernah dapat kausadari. Kukagumi kau dari balik jamahan pointer mouseku. Yah, kita hanya terhalang dunia luas yang kusebut maya. Sebuah anugrah bagimu, dari sekian banyak wajah, kuperintahkan bola mata ini hanya untuk menatapmu. Harusnya kau bangga akan prestasi itu.

Sesekali, temuilah aku. Walau hanya di dalam mimpiku, aku sangat senang. Bahkan hal itu sudah kutulis dalam list doaku pada Tuhan. Apalagi bisa berjabat dan bersenda gurau denganmu. Sampai disini, itu masih sebuah khayalan. Aku tak ingin meminta banyak pada Tuhan. Hanya satu pinta, kusemat lamat-lamat dalam doa. Tuhan itu baik. Jadi, siapkan dirimu. Kita akan bertemu di sebuah waktu. Kuharap aku tak terlalu gerogi dalam pertemuan pertama kita. Tentu saja, di mimpiku.

Menyapa Rasa


Hai cinta!
Kemana saja?
Aku hampir lupa bahwa kau pernah ada.
Kenalkan lagi aku pada bahagia.
Aku tak lagi bisa mengingat wajahnya.

Hai, rindu!
Kemana kamu?
Akhir-akhir ini suka menghilang dari pikiranku.
Lekas kembali. Aku ingin merasakanmu lagi.

Takut, mengapa kau bergelayut?
Terdiam di sudut?
Ayolah, aku sedang tak ingin bertemu dirimu.
Kau hanya membuat hatiku kian kusut.

Ada apa dengan kalian?
Hati ini tak lagi nyaman?
Mengapa kalian berseliweran?
Minta di selamatkan?
Yah, begitupun aku.

Ilusi


Terdiam di seluk malam.
Wajah menekuk, hati gemeretuk.
Sepi menepi, simpuh berpeluh.

Hilang ingatan menjadi keinginan.
Harapan bimbang, rasa itu tak pernah datang.
Yang membawa cahaya sempurna kedalam relung hati hampa.
Yang mencoret segala sisi dengan pelangi, hingga aku tersenyum-senyum sendiri. Geli.

Untuk satu nama, dua huruf, berjuta makna.
Katakan padaku, kalau kita tak pernah ada.
Katakan padaku, ini hanya ilusi.
Katakan padaku, bahwa aku juga benar-benar mencintaimu.

Berikan nama pada rasa aneh ini.
Yang beringas menggerogoti perasaanku.

Yakinkan aku..
Bahwa kau akan membebaskanku dari rasa tak percaya yang selama ini kubawa.
Rasa ragu yang kupangku dibalik sembilu.
Rasa kalut dan takut.
Yang entah sejak kapan menggantikan gerlap cinta di nadiku.

Pelangi yang dulu sangat berwarna, entah mengapa kini mulai pudar.
Mungkin tertutup awan.
Mungkin menunggu hujan.
Mungkin pula akan hilang.

Aku terjerembap. Kembali memeluk bumi.
Mungkin aku terbang terlalu tinggi.
Pijakanku tak pasti.
Aku melayang di sebuah ilusi.
Tertampar waktu.
Tertegun dan kehilangan bayangmu.
Sosok yang dulu suka menyanyikan lagu.
Kamu. Bayang tak pasti. Ilusi.

Thursday, September 19, 2013

Peri Malam

Kenalilah aku sebagai peri malam. Gadis cantik yang menari di balik gelapnya sinar rembulan. Senyumku adalah candu sekaligus jerat bagi para lelaki hidung belang. Tubuhku adalah madu yang menunggu untuk dikecup dan dimanjakan. Bajuku yang terbuat dari helai kain yang minim bak selendang, melindungiku dari hawa malam yang dingin.



Kenalilah aku sebagai kupu-kupu malam. Beberapa orang menjulukiku wanita jalang. Mengiris hati, memang, karena sebenarnya aku hanyalah pelacur jalanan. Bukan murahan. Aku adalah pemuas nafsu. Aku lihai dalam mencumbu. Dan aku mencari penjelajah yang berani mengarungi tubuhku. Semakin liar mereka, semakin mengerangnya aku, maka semakin banyak uang yang kuhasilkan. Semakin aku dapat mengisi kekosongan sejengkal perutku yang selalu meronta minta makan.


Temukan aku di lorong-lorong jalanan remang, atau di balik bilik-bilik bambu, atau di sudut taman. Aku bekerja sepanjang malam, mengerjapkan mata hingga pagi menjelang, bersama sang rembulan yang selalu bertengger sendirian.


Terkadang aku ingin menemani bulan, mengajaknya bercerita tentang segala keluh kehidupanku. Aku juga ingin menanyakan bulan, mengapa ia begitu senang melamun sendirian? Karena aku juga sering berlaku demikian. Melamunkan seseorang yang akan membawaku ke pelaminan. Lamunan yang mungkin tak lebih dari sekedar mimpi. Karena tubuh kotorku ini, mungkin tak seorangpun sudi untuk benar-benar memiliki. Siapapun pasti berpikir berkali-kali, adakah sesuatu yang bersih dari ragaku?


Ada!


Ingin aku lontarkan kata itu. ADA! Lihatlah lebih jelas. Lebih dekat. Kenali aku. Maka kau akan mengerti, aku punya cinta yang masih murni, yang belum pernah kuberikan pada lelaki manapun yang kutemui.


Kenali aku, namun bukan sebagai peri malam. Kenali aku layaknya seorang perempuan. Aku punya nama, aku punya hati, aku punya cinta. Kenali aku, maka kau kan kuajak bermain-main di taman hatiku.

Friday, September 6, 2013

Celoteh Tentang SMS dan BBM



Siapa yang ga kenal sama aplikasi BBM atau Blackberry Messenger yang cuma ada di smartphone Blackberry ini? Aplikasi chatting yang memudahkan para penggunanya untuk saling berkabar dan berbagi file.

Ada yang pernah bilang sama aku, BBM itu mampu mendekatkan hubungan yang jauh. Pada setuju ngga? Aku sih setuju banget! Dengan BBM, kita bisa dengan mudah jadi 'lebih dekat' dengan seseorang. Karena apa? Aplikasi BBM ini punya beberapa fitur seperti Personal Message, Display Picture, Recent Updates, dan yang paling keren adalah BBM ini punya semacam mbah dukun yang bakal ngasi tau kita kalo pesan yang kita kirim ke orang itu udah nyampe, pending, atau bahkan udah dibaca. Nah, fungsi-fungsi inilah yang membuat BBM jadi aplikasi chatting nomor satu di kelasnya.

Aku sendiri adalah salah satu pengguna BB sejak tahun 15 SM. Udah lamaaa banget aku berteman baik dengan si BBM ini. Meski aplikasi di Blackberry (sebenarnya) itu-itu doang, aku tetep betah mempertahankan BB-ku karena aplikasi BBM-nya. Ada beberapa teman ngobrol di BBM-ku yang bikin aku makin betah menimang-nimang si BB.

Harus aku akui, BBMan itu emang seru. Lebih seru dari SMS. Kita bisa dengan mudah ngobrol sama orang di negeri antah-barantah hanya dengan bermodalkan tukeran pin. Kita bisa ngirim pesan seberapa panjangpun, tanpa harus takut pesan itu hanya terkirim sebagian, atau takut pulsa kita abis kalo ngobrol terlalu panjang-lebar.

Tapi pernah ga sih terbersit di pikiran kalian kalo BBM itu sebenarnya ga asik-asik banget? Pernah ga kalian merindukan saat-saat kalian penasaran, apakah sms kalian terkirim, dibaca, bahkan dibalas oleh seseorang? Aku pernah banget!!

Seberapa canggihpun aplikasi BBM, entah kenapa, ada feel yang ga bisa dia ciptakan, seperti feel saat kita smsan..

Di BBM, kita bakal dengan mudah tau bahwa pesan kita terkirim dan dibaca. Kita tau bahwa lawan bicara kita sedang menulis pesan balasan untuk kita. Kita bakal nethink kalo sekiranya BBM kita cuma di baca doang, atau lebih ironisnya.. langsung di end chat tanpa membaca pesan kita terlebih dahulu. Itu kayak kita lagi suka-sukanya sama gebetan, tapi dia malah patahin harapan kita berkeping-keping. Nyesek!!

Biasanya, orang yang lebih intensif ngobrol di BBM bakal terkesan 'jauh' di dunia nyata. Mereka yang dari bangun tidur sampai tidur lagi selalu BBMan, update status, update foto, dan sebagainya, akan terasa sangat dekat di dunia maya, namun akan berbanding terbalik di dunia nyata. Ga ada yang salah dengan teori ini, karena aku sendiripun ngalamin hal yang serupa. Aku dekat dengan orang-orang di dunia BBM, sering banget ngobrol dan udah ngerasa klik banget buat dijadiin temen seru-seruan. Tapi ketika aku berhadapan langsung dengan orang itu, kita berdua jadi ngerasa canggung nyari topik yang pas untuk di obrolin. Endingnya, kita berdua sama-sama autis dengan BB kita masing-masing. Miris.

Di BBM, bakal ada orang-orang iseng yang suka nge-broadcast message aneh-aneh. Sebuah broadcast yang sering aku dapetin itu tentang BBM error, trus seluruh pengguna BB DIHARUSKAN ngebroadcast sebuah message agar ID Blackberrynya terdaftar oleh RIM. Hiih. Cuma orang-orang berpikiran engga wajar yang bakal percaya sama isu itu.

Satu hal yang sering aku sayangkan dari para pengguna BBM adalah.. mereka (yang katanya) para pengguna smartphone tapi engga bisa mempergunakan phone itu secara smart.

Eniwei, aku kangen masa-masa ketika sms masih berjaya luar biasa dan luar angkasa. Aku merindukan feel penasaran ketika aku nge-sms seseorang. Saat aku menunggu balasan dari orang itu tanpa aku tau sebenarnya sms aku sampai dengan selamat di handphone dia, atau malah nyangkut di jemuran tetangga. Mencari-cari tukang jual pulsa ketika tiba-tiba pulsaku habis di tengah obrolan yang seru.

Di sms, ga ada yang namanya auto text, yang kebanyakan kaum alay mengisinya dengan teks-teks yang kasat mata dan jika dipaksakan untuk dibaca, malah bikin mata berair, merah-merah bahkan menimbulkan kebutaan sementara.

SMS ngebikin aku engga selfish, karena aplikasi sms ada di segala tipe hp apapun. Mulai dari hape lempar anjing sampe hape lempar banci. Dari hape terjadul hingga hape paling gaul. SMS bikin aku engga ansos (anti sosial), karena biasanya aku bakalan nge-sms-in orang untuk sesuatu yang penting-penting di bicarain aja. Takut pulsa cepat habis adalah salah satu faktor utama aku.

Oleh karena itu, aku menceraikan Blackberry dan mulai menjalani hidupku dengan normal dan netral. Terkadang, aku emang kangen BBMan sama orang-orang yang tak bisa kutemui setiap waktu, sekedar untuk menghangatkan hubungan yang mulai mendingin karena kesibukan masing-masing. Tapi, ngobrol ga harus di BBM, kan? Lagipula, udah banyak aplikasi chatting lain yang muncul ke permukaan, menggeser ke-eksis-an BBM dari muka bumi.

Yah, pada akhirnya, secanggih apapun smartphone kalian, sekeren apapun aplikasi chatting kalian, kalau engga ada pulsa, sama aja bohong.


NB: Ini cuma celotehku. Kalo ada yang ngerasa ga suka, tersinggung atau bahkan pengen ngais tanah, silahkan aja. Ini cuma pemikiran liar yang aku coba tuangkan melalui tulisan..

Thursday, September 5, 2013

Kepingan Kenangan Yang (Berusaha) Dilupakan

Waktu adalah sesuatu yang tak bisa diulang kembali. Meski kau melewati hari yang sama, tanggal yang sama, bulan yang sama, kau takkan pernah berhadapan dengan tahun yang sama. Waktu adalah pusara yang terus berjalan maju. Waktu tak bisa di perlambat ataupun di percepat. Namun waktu bisa membawamu bermain-main ke masa lalu. Memutar ingatan yang pernah tercipta melalui sebuah tulisan maupun senyuman di dalam figura.

September, setahun yang lalu. Kejadian yang random membuat aku bertemu dengannya. Sederhana. Hanya sapaan hai yang mencuat dari layar blackberry-ku. Sebuah kata yang mampu merajut pertemanan, meski dalam dunia maya.

Awalnya, semua berjalan tanpa apa-apa. Obrolan yang tercipta hanya basa-basi yang seringnya malah terlalu basi. Dari obrolan basi itu, aku mulai mengenalnya. Dia yang kukenal dengan nama Gizka (tentu saja bukan nama asli), adalah seseorang yang berpikiran kritis. Aku menyukai cara berpikirnya. Hampir setiap malam, aku berdebat argumen dengannya. Kami membahas segala. Mulai dari politik yang sebenarnya sama sekali tak kumengerti, namun kuracau seolah-olah aku paham tentang itu; Indonesia dan segala keadaannya yang menyedihkan; para penikmat hidup yang bernaung di bumi dengan hanya berbekal mimpi; hingga membahas tentang mimpi kami sendiri.

Aku ingin menjelajah Indonesia. Bukan hanya berada di wilayah itu, tapi benar-benar tinggal sementara waktu disitu.
Mimpi gila yang saat ini sedang dia wujudkan.

Aku ingin mengabadikan sisi-sisi indah dari alam bumi pertiwi. Biar semua orang tau, Indonesia itu punya sisi lain yang bisa dibanggakan hingga ke kelas dunia.
Mimpiku yang (belum) kuwujudkan ke dunia nyata.


Dia pernah membuatku begitu mencintai malam, hingga aku berteman baik dengan insomnia. Dia pernah membuatku begitu nekat, berjalan sendirian, mendekatkan jarak Jakarta-Jombang dalam waktu tempuh 14 jam. Menjelajahi wilayah asing bersama sebuah ransel yang kusandangkan di punggungku. Merasakan gerahnya siang dan dinginnya udara malam dari dalam gerbong kereta. Bertemu dengan wajah-wajah baru dan membuat warna berbeda dari cerita hidupku. Membuatku berusaha lebih hebat dari biasanya. Membuatku percaya bahwa tak ada usaha yang sia-sia, selama aku tak menyelipkan rasa putus asa di dalamnya.

Dia mengajarkanku cara mencintai dengan cara yang berbeda; bahwa mencintai tak harus bertatapan, tak harus bertemu.. dan tak harus memiliki.

Dia mengajarkanku untuk membedakan kata ingin dan butuh. Bukan berlari mengejar sesuatu yang terus pergi, namun berhenti, lebih peka untuk melihat sekitar. Lebih peka untuk menyadari sebuah perhatian yang berada di dekatku selama ini. Sebuah kesungguhan yang mampu melengkapi kata butuh.

Setahun setelah September itu, waktu terus bergerak maju. Kini, aku tak banyak mendengar kabarnya. Berita terakhir yang aku tau, dia kembali mencicipi dunia pendidikan, mendedikasikan hidupnya di bidang Hubungan Internasional. Kuharap beberapa tahun kedepan ia mampu menjadi duta negara, dan kembali membuat jejak baru di sebuah wilayah, yang mungkin lebih jauh dari impiannya dulu.

Aku memilih jalanku sendiri. Menikmati hidupku dengan orang-orang yang kusayangi. Menyibukkan diri dengan hobi yang kusuka. Mengisi setiap waktuku dengan hal-hal yang mungkin suatu hari dapat kuingat dan membuatku tersenyum karena itu.

Waktu emang ga bisa diputar lagi untuk membawa kita kembali mencicipi masa lalu. Waktu cuma bisa bikin kita mengenang, dan akhirnya menyadari bahwa kenangan itu selamanya hanya akan menjadi kenangan. Waktu juga yang akhirnya menyuruh kita menentukan pilihan, apakah kenangan itu harus pergi, dilupakan, atau tetap tinggal. Pada akhirnya, kita cuma bisa tersenyum dan menangis dalam satu waktu, ketika kita menemukan kembali kenangan yang pernah terlupakan.

Wednesday, September 4, 2013

Empat ke Empat


Bilangan angka yang masih sangat belia; yang terlahir sempurna, bukan tanpa luka, bukan pula tak bertawa. Bilangan yang dimasa silam masih berbentuk harapan, angan, mimpi dan rencana-rencana yang semuanya tersusun rapi di kepala. Bilangan yang menghidupkan rasa, entah sejak kapan, tumbuh dan terus tumbuh tanpa bisa ditunda, tanpa bisa ditanya, mengapa dan bagaimana. Bilangan yang dimasa depan entah berwujud seperti apa; fana, ataukah semakin nyata.

Empat. (Mungkin) masih terlalu singkat. Aku masih bisa merasakan dinginnya atmosfer kala itu, mendengar tiap detail bisikan paraumu merentas di telingaku, merasakan eratnya jabatan yang kau ciptakan di sela jemariku, mendengar degub jantungku yang berdetak cepat diantara ritme denting waktu.

Perjalanan hati itu bukannya tanpa resiko. Lekat-lekat kudalami dirimu, menjawab keingintahuanku akanmu. Terkadang kumelihat kau keluar jalur, dan rasanya aku ingin berhenti dari jalan yang kupilih. Namun sekali lagi, aku memilih terus berjalan. Mengampuni segala resiko yang kutemui. Memahamimu lagi, dan berharap aku dapat menemukan cahaya yang selama ini kucari.

Empat bulan setelah kau menjadi milikku, tak ada yang berubah. Kau tetap bayangan tunggal yang hidup di dalam benakku, aku tetap kisah nyata yang mengganggu hari-harimu. Hari-hari yang kita jalani dengan penuh memori, terbingkai sesukanya di sebuah figura. Hari-hari yang membuat kita terjatuh, terluka, kesal, dan tetap mau mencinta.

Empat bulan setelah aku menjadi milikmu, satu pinta dengan cermat ku rapal ke hadirat Tuhan. Kutak berharap kita selamanya, namun di setiap jeda, di setiap waktu yang kita jalani, bisa terus membuat kita bersama dan sama-sama bahagia.



- NSR -
- #Empat #Ke #Empat-