Wednesday, February 27, 2013

Kesenian Hidup

Hari ini adalah hari yang paling bahagia bagimu
Disaat kerja kerasmu takkan pernah sia-sia
Bahkan, saat kau mendapat pengganti diriku
Untuk mendampingi hidup indahmu

Di tempat ini aku dapat melihat senyummu
Walau jariku tak lagi dapat menyentuhmu

Aku bukan penulis..
Aku hanyalah pengutip kata demi kata dari novel pertamamu

Di saat pangeran tersenyum apa
Pangeran berlari entah apa
Bahkan pangeran menari entah untuk apa
Akulah tokoh itu

Aku berharap apa yang aku lakukan dapat mengubah kepedihanmu
Walau harus berpindah kepadaku

Bukankah engkau mengatakan bahwa
Kebahagiaan dan kepedihan berada dalam satu paket, bukan?

Ya!
Kau benar..
Rasa itulah yang sedang kita alami

Dengan tidak mengurangi rasa hormatku
Aku ingin menambah kesempurnaan
Di dalam hatimu

Aku yakin..
Kesenian hidup adalah berkumpul bersama
Dan masih bisa tertawa


Hafiz, Penyair kesayangan
Puisi ini di kirim tanggal 4 April 2012 lalu, ucapan selamat ulang tahun untuk aku :')

Monday, February 25, 2013

From Medan To Jakarta

Kota hantu!
Bukan kabut, namun kepulan asap jahanam
Pandangan pagi yang langsung merusak mataku

Macet
Masih jam 5 pagi
Namun kendaraan-kendaraan itu sudah berteriak dengan angkuhnya
Memekik
Aku tuli!

Juntaian gedung dengan kuku-kuku bengisnya
Pencakar langit kata mereka
Perusak alam kataku
Tanah berbintang, seru mereka
Polusi cahaya, teriakku

Ibu kota negara
Pantaskah?
Banjir, kerusuhan, pemukiman kumuh, kota metropolis
Semua bersanding di satu tempat
Timpang..

Aku mengagumi kota ini
Namun tak pernah mencintainya
Terlalu asing
Terlalu ku benci
Entah kapan aku dan Jakarta bisa bersahabat
Atau sekedar menjalin hubungan baik

Medan
Rumahku
Cinta pertamaku
Kehidupanku
Hatiku
Semua tertinggal disana

Baby doll
Raga tanpa jiwa
Nyawa lain yang di tiupkan Jakarta padaku

Kota hantu
Begitupun aku..

Sunday, February 24, 2013

Gizu

Hai, aku Gizu. Ibuku bilang aku akan segera menginjak usia  tujuh tahun 2 hari lagi. Ia berjanji akan menghadiahiku sepeda, agar aku tak berjalan kaki lagi menuju sekolahku yang berjarak 5 km dari tempat tinggal kami. Aku senang sekali saat mendengar hal itu. Kakiku sering lecet karena perjalanan yang aku tempuh sangat menyebalkan. Aku sering terlambat, padahal aku sudah berlari secepat yang aku bisa. Aku berharap bisa berangkat lebih pagi, namun aku harus membantu ibu mengantarkan kue, untuk di titipkan ke warung-warung kopi di dekat danau Poso. Ibu tak pernah berani keluar rumah karena ia mengenakan kerudung. Aku tak mengerti mengapa.  Ibu hanya tersenyum datar saat aku tanya.

Tepat 2 hari yang lalu. Desaku diserang oleh segerombolan orang asing. Mereka berpakaian serba hitam dengan salib di dada dan ikat kepala berwarna merah. Wajah mereka bengis dan kejam. Ibu yang menyadari kedatangan mereka langsung menyembunyikan aku di dalam lemari, lalu membungkusku dengan pakaian seadanya.

"Tetap disini!", katanya lembut.

Setelah memelukku cukup lama dan mendaratkan sebuah ciuman hangat di keningku, ia berlalu pergi. Sesaat kemudian ku dengar suara tembakan dan dentuman bom. Riuh sekali. Lalu terdengar suara tangis dan teriakan memekik. Aku takut, ibu.

Brak!

Tiba-tiba aku mendengar seperti ada yang mendobrak pintu rumahku. Ibu. Itu suara ibu. Aku coba mengintip dari sela lemari kayu. Beberapa pria bertubuh tinggi tegap terlihat disana. Mereka tampak seperti malaikat maut. Tidak, mereka lebih menyeramkan daripada malaikat pencabut nyawa itu. Mereka seperti iblis. Salah satu diantara mereka tersenyum bengis. Ku dengar ibu menangis memohon ampun. Tidak, apa yang mereka lakukan? Mereka mulai merobek baju ibu. Astaghfirullah! Jangan perkosa ibuku! Aku ingin keluar dan menghabisi bajingan-bajingan itu. Namun ku lihat mata ibu melirik ke arahku, memberi isyarat agar tidak melakukan tindakan bodoh apapun.

Ibu meringis kesakitan. Secara bergantian tiga hewan biadab itu menikmati tubuh ibuku. Aku menggigit bibirku. Aku tak tahan. Aku keluar dari persembunyianku. Ku raih sebuah kursi kayu yang berada di dekatku.

"Jangan sakiti ibukuuu!"

Ku layangkan kursi itu tepat ke arah kepala salah satu bajingan yang kini berada di atas ibu. Ia tersungkur. Darah segar mengalir dari kepalanya. Ku lirik dua temannya yang tercengang melihat kejadian beberapa detik yang lalu. Belum sempat ku lemparkan kursi itu ke arah mereka, aku terlebih dahulu diserang. Sebuah ujung senapan mengenai pelipisku. Aku terjatuh menghempas lantai. Ku dengar pelatuk di tarik, dua timah panas meluncur dari mulut senjata laras panjang itu. Ibu berteriak.

Gelap.

****

"Selamat ulang tahun, jagoan ibu. Jadilah anak yang sholeh, seperti almarhum ayahmu. Seringlah membaca al-qur'an, dan pegang teguh agama islam di dadamu. Apapun yang terjadi, jangan pernah ingkar kepada Allah", senyum ibu menghiasi awal hariku, tepat saat aku membuka mata, setahun yang lalu.

Namun hari ini berbeda. Batu nisan ibu bahkan tak mampu mengucap sepatah katapun. Mataku panas. Ku tatap gemerisik air di pinggiran danau Poso. Lambaian rerumputan yang dulu sering menggodaku untuk bermain bersamanya, kini tak lagi sama. Warna hijau itu kini berhias bercak darah sisa pertempuran kemarin lusa. Minggu pagi, harusnya matahari bersinar cerah hari ini. Namun goresan awan kelabu menghalangi sinarnya. Rintik hujan menambah suasana pilu.

Ibu, mengapa perbedaan itu menjadi sebuah masalah besar? Bukankah pancasila dan undang-undang membebaskan umat manusia untuk memeluk agama sesuai keyakinannya? Bahkan di ibu kota, mesjid dan gereja dibangun berhadapan, sebagai simbol toleransi umat beragama.

Mengapa ibu? Mengapa untuk meyakini Tuhan saja harus sesulit ini? Bukankah Tuhan hanya satu? Cuma cara kita mengenalnya saja yang berbeda. Bukankah ini hanya urusan hamba dan Tuhannya? Apa urusannya orang lain mengganggu hubungan kita dengan Sang Pencipta? Jelaskan padaku ibu, apa yang salah? Bahkan Tuhan tak menuntut manusia untuk memeluk satu agama. Mengapa manusia jahanam itu bertingkah seolah-olah mereka lebih berkuasa dari Tuhan?

Hening. Tak ada jawaban. Rintik hujan semakin deras. Makam ibu menjadi becek. Ku peluk gundukan tanah merah itu.

"Bawa aku pergi dari sini, Ibu.."

Sejenak ku rasa curahan hujan berhenti membasahi tubuhku. Aku berbalik melihat ke belakang. Ah, pria berjubah hitam itu lagi. Aku tersenyum dan memejamkan mata. Sebuah jentikan dari tuas senapannya berhasil mengantarkanku lebih dekat dengan ibu. Kini aku tak merasa sendiri lagi.

Saturday, February 23, 2013

Hujan


Sore ini Jakarta menjatuhkankan kembali air langitnya. Butiran air yang tersentuh cahaya matahari jingga, membuat jutaan rintik air itu terlihat bagai untaian kristal yang menyejukkan udara dari penatnya kesibukan kota.

Ku seruput kembali secangkir teh hangatku yang kini tinggal setengah. Alunan lembut suara Pia dengan lagunya Hujan menggema di telingaku. Ku tatap foto-foto yang dari tadi menari di layar laptopku. Ada wajahmu, dan aku. Dua anak manusia yang tersenyum dengan seragam putih-abu abunya.

Ku buka lembaran masa lalu yang masih tergambar jelas di benakku. Waktu istirahat udah usai beberapa menit yang lalu, namun anak-anak kelas kita masih saja berkeliaran. Pak matematika tak datang hari ini, yang berarti ada jam kosong sampai 2 jam kedepan. Aku mengambil posisi duduk di koridor tepat di depan pintu kelas, membuka sebuah novel yang belum selesai ku baca. Kamu duduk di sampingku, menyerahkan sebelah headsetmu.

"Nih dengerin.."

Crazy-nya Taylor Swift mengisi rongga telinga kita. Kamu mulai menganggukkan kepala mengikuti irama. Aku mengikuti. Matamu yang semula terpaku pada layar hapemu, kini beralih menatapku. Dalam sekali. Kamu mulai membuka suaramu. Aku tertawa.

"Suaramu false banget!"

"You make me crazier.. Crazier..", kamu tambah semangat. Aku hanya tersenyum.

Ku kais lagi lembaran memori di otakku, mencari kenangan kita yang lain. Ah, sore itu. Sekolah kita diguyur hujan dan menciptakan genangan air. Ku lirik kamu yang melompat lihai saat mendribble bola di lapangan basket. Rintik air sama sekali tak menghalangi pandanganmu.

Three point.

Tanpa permisi, ku rebut bola itu dari tanganmu. Kamu berusaha merebutnya kembali. Aku mulai berlari kecil, mendribble, dan melemparkan bolanya ke arah ring.

"Huuuuu..!", ledekmu. "Kalo ga bisa main basket, jangan sok main", kamu mengacak kepalaku dengan lembut.

Aku hanya tersenyum kecut. Kamu tertawa.

"Nih!", kamu melemparkan bola oranye itu padaku. "Shoot!", ku pandang ring basket yang kamu tunjuk.

"Three poiiint..!!", teriakmu memecah jalur hujan yang ingin memeluk bumi.

Hei, kamu ingat kenangan yang ini? Saat itu roda motormu membawa kita menerobos tumpahan air langit. Kali ini butiran air itu lebih banyak membawa pasukannya. Pandanganmu terhalangi, namun jarum speedometer itu tak turun dari angka 80. Kita berdua basah. Mantel itu tak mampu melindungi terlalu banyak. Kamu tetap melaju, "demi masku", katamu.

Satu lagi butiran air tumpah. Kali ini bukan dari langit. Sinyal dari otak membuat mataku menurunkan hujan.

"Ini, belum di pake", kamu menjulurkan bahumu.

Telingamu menjadi pendengar yang baik kala itu. Seperti langit dan hujannya, aku menumpahkan segala penat yang memenuhi rongga hatiku. Dengan sebuah cerita konyol, kamu menciptakan pelangi setelah tangisku. Kamu membuatku tertawa.

Hujan, selalu berhasil menyeretku ke masa lalu. Diantara butirannya, ada kamu. Apa kabarmu hari ini, tuan? Semoga fakultas farmasi itu tak mengacaukan pikiranmu. Kamu tau, aku merindukan sosokmu. Tak ada sahabat segila kamu disini. Aku yakin kamu juga tak mendapatkan penggantiku disana. Kapan kita bertemu lagi, tuan? Aku ingin menciptakan kenangan lagi bersamamu.

Secangkir tehku sudah habis, tuan. Namun rintik hujan ini masih saja awet membasahi bumi. Seperti persahabatan kita. Apa kau juga memikirkan hal yang sama?

Friday, February 22, 2013

Sajak Musisi Jalanan

Namaku Acil. Yah, aku biasa dipanggil begitu. Aku tak tau nama asliku. Ibuku sudah lama meninggal ketika aku ingin bertanya siapa namaku dan bagaimana rupa ayahku. Bang Codet yang memberiku nama itu. Katanya itu singkatan dari "Anak keCIL". Hahaha. Ada-ada saja ide pria setengah gila itu. Tapi aku menyayanginya. Begitupun dia, kurasa.

Dia selalu memberiku nasi bungkus sisa makanannya. Dua atau tiga suap nasi, cukuplah untuk mengisi perut kecilku. Terkadang kalau Bang Codet lagi senang hati, aku di belikan sebungkus nasi dengan segudang campuran kuah ikan. Makanan termewah yang pernah kumakan adalah ayam goreng, yang kudapat dari tong sampah sebuah restoran kaki lima. Aku pikir itu adalah sisa makanan pelanggan restoran itu. Terkadang aku ingin makan sesuatu yang aku lihat di sebuah brosur. Kata Bang Codet nama makanan itu pizza. Ah, pasti enak sekali makanan itu. Hanya orang-orang kaya yang diperbolehkan mencicipinya, begitulah kira-kira yang Bang Codet bilang kepadaku.

Jakarta adalah rumahku. Aku bisa tinggal di trotoar manapun, sesukaku. Atapnya adalah hamparan langit yang bertabur polusi jalanan. Hei, jangan berharap banyak untuk bisa melihat bintang di langit Jakarta. Di kota ini, bintang berada di tanah. Orang-orang yang berdiri di gedung pencakar langit pasti sangat memahami hal ini. Aku suka rumahku. Hanya saja aku tak berharap hujan terlalu sering mengguyur jakarta. Bisa kewalahan aku mencari tempat tidur. Aku tak mau tidur di trotoar basah. Biarpun aku hanya anak jalanan, tapi aku tetap peduli terhadap kesehatanku sendiri. Kalau nanti aku sakit, bagaimana aku mengisi sejengkal perut ini? Matilah aku.

O iya, dulu aku sering berkejaran dengan petugas Pol PP. Mereka membawaku ke sebuah ruangan ber-AC. Banyak bapak-bapak berperut buncit disana. Seharian aku ditahan. Kadang sampai menginap. Mereka lebih tampak membual daripada menasehatiku. Aku biarkan saja dan tak peduli apapun yang mereka katakan. Mengapa? Mereka sama sekali tak memberikan jalan keluar. Aku benci sekali aparat seperti itu. Tapi kini aku sudah pintar. Bang Codet yang mengajariku. Ketika petugas itu datang lagi untuk memisahkanku dari rumahku, aku bersembunyi di balik semak. Kadang aku melempari mereka dengan batu. Aku kesal.

Aku pernah mendengar pidato Pak Presiden, beliau bilang kalau pengemis dan anak terlantar akan dipelihara oleh negara. Aku bertanya, dimana negara yang dia bilang itu? Apa tangan negara tak mampu memberi makanan dan tempat tinggal layak untuk anak kecil seperti aku?

Aku tak mengenal bangku sekolah. Terkadang aku ingin memakai seragam dan belajar dengan layak. Namun jalanan menuntutku menjadi seorang musisi. Yah, musisi jalanan. Setidaknya aku bisa menghasilkan uang sendiri, bukan mereka yang masih merengek pada orang tua saat menginginkan sesuatu. Dasar anak manja!

Aku punya cita-cita. Menjadi seorang presiden. Aku tak tahan dengan negara yang kacau balau ini. Aku ingin jadi presiden. Akan ku tata kembali sistem pemerintahan Indonesia. Aku pintar menata kardus-kardus yang berserakan di pinggir toko. Bagiku, Indonesia ini juga seperti kardus-kardus berserakan itu. Cuma butuh niat dan tindakan yang kuat supaya yang berantakan itu bisa tersusun rapi.

Sampai disini saja aku bercerita. Aku takut kalian muak membaca tulisan bodoh anak yatim piatu lusuh sepertiku. Aku mau kembali ke jalanan dulu. Banyak telinga para penumpang bis yang sudah rindu suara merduku. Biar jelek begini, aku pintar bernyanyi lho. Kalian tak percaya? Lain kali akan ku perdengarkan syair indah dari om Iwan Fals, tapi kalian harus membayarku dengan uang kertas bergambar pahlawan Pattimura. Tidak, tidak. Aku hanya bercanda. Bernyanyi itu hobiku. Kalian mau mendengarkannya saja aku sudah senang.

Hai Tuan

Selamat pagi Tuan,
Apa kabarmu hari ini?
Semoga kesibukan itu tak menjadikanmu budak waktu

Hai Tuan,
Apa yang sedang kamu lakukan?
Ku lihat banyak bulir embun membasahi kaca jendelaku
Ku rasa rindu yang kamu selipkan diantara butirannya telah sampai
Bolehkah ku sambut dengan sebuah senyuman?
Menandakan aku juga merindukanmu

Hai Tuan,
Ku lihat sepasang burung berkicau pagi ini
Jendela kamarku mulai diketuk oleh biasan cahaya matahari
Saatnya aku pergi, Tuan
Tidak, aku akan segera kembali
Aku akan menemuimu nanti

Takkah kamu dengar desiran angin itu?
Ku selipkan pesan di tiap hembusannya
Bahwa aku juga mencintaimu..

Thursday, February 21, 2013

Ketulusan


"Mengapa kamu memilihku? Padahal kamu tau di hatimu tertulis nama orang lain."

Gadis itu terdiam. Ditatapnya lekat mata seorang pria di depannya yang penuh dengan tanda tanya. Seketika itu dibuangnya pandangannya, beralih pada sang matahari dan semburat cahaya jingganya yang mulai menghilang, tenggelam di ufuk barat.

"Aku ingin mencintai orang yang mencintaiku, ketika aku sadar mencintainya hanya akan membuat lukaku makin dalam", tukas gadis itu jujur. Ada rasa getir yang menyeringai di tiap perkataannya.

"Bukankah hanya butuh ketulusan dalam mencintai? Ikhlaslah memberi rasa sayang, maka takkan ada luka yang kamu rasakan", Gizka mencoba meyakinkan. Kini kesepuluh jemari mereka mulai mengisi celah satu sama lain.

 "Mencintai tanpa memiliki? Itu bullshit, Giz!" Naira membiarkan kakinya di gelitik semburan air pantai. Namun ia sadar, hatinya telah lama digelitik bayangan masa lalu. Nama pria yang dulu dan selalu memenuhi setiap sudut hati dan pikirannya kini mencengkram ingatannya. Menggantung dan mengalun riuh dalam setiap bayang-bayang pikirannya. Sesak. Bulir hangat mulai menggenang di pelupuk matanya.

"Kamu lihat tanah yang menjulang tinggi menantang langit itu?", Naira mengarahkan pandangannya ke sebuah gunung yang ditunjuk Gizka. "Gunung itu selalu memberi keindahannya. Apa dia pernah marah ketika manusia hanya bisa merusaknya? Itulah ketulusan, Nai.."

Naira terdiam lagi. Kata - kata pria itu menyentuh hatinya. Nai meraba hatinya sendiri, mencoba menemukan jawaban dari kebingungannya.

"Kamulah gunung itu. Dan aku adalah manusianya." Suaranya terdengar parau. Digigitnya kuat-kuat bibir bawahnya, agar genangan air mata yang tertumpu pada pelupuknya tak tertumpah.

Gizka hanya tersenyum simpul. Diacaknya rambut gadis itu yang tampak berantakan tersapu angin senja, lalu melingkarkan kedua tangannya mengelilingi bahu gadis itu. Dengan sedikit menarik, dibiarkannya gadis itu terkulai dalam pelukannya.

"Apa aku yang udah terlalu bodoh? Ga bisa melihat cinta yang selama ini tulus kamu beri? Pengharapan konyolku akannya, seperti pungguk merindukan pluto. Jauh dan mustahil aku gapai," Nai mulai terisak.

"Jika nanti ufuk senja tak lagi jingga, embun enggan hadir menyambut pagi, meski aku tak lagi mampu mengingat, namamu udah terpatri di hati ini. Ga akan berubah."

Naira menyeka air matanya yang kini mulai membasahi pipi. Ia tersenyum seadanya. "Bantu aku mencintaimu. Jadilah dayung keduaku. Aku sangat lelah mendayung perahu ini sendirian."

Naira menenggelamkan wajahnya ke pelukan Gizka. Ada rasa hangat yang ia dapati disana. Sebuah cinta, yang mungkin takkan bisa ia temukan dari seorang pria yang hingga kini namanya masih tertulis jelas di hatinya. Seorang pria yang sangat ia cintai, namun tak pernah mengerti isi hatinya. Seorang pria yang hanya hidup di angannya, namun tak pernah hadir di depan matanya. Seorang pria, yang bahkan tanpa disadari Naira, takkan pernah bisa membalas perasaan gadis itu. Seorang pria, yang ia harapkan bisa menghilang dari cerita hidupnya.

Nai berjanji pada dirinya sendiri, akan memberi cinta pada orang yang saat ini ada di rangkulan tangannya. Orang yang benar-benar menyayanginya. Orang yang nantinya akan menggantikan nama yang telah terpatri di hatinya dengan sebuah nama baru. Nama yang akan mengisi hari-harinya, melukis barisan senyum di bibirnya, menumbuhkan benih cinta di hatinya. Gizka.