Wednesday, June 19, 2013

Bintang Langit



"Hoi, Bintang! Ngapain lo disana?"

Aku menunduk, mencari asal suara. "Nyari angin. Sini..", kataku memanggil pria itu.

"Oke. Bentar yah", dia segera masuk ke dalam gedung tua, menaiki beberapa anak tangga dan akhirnya tiba di lantai atap, tempat dimana aku duduk merenung.

"Akhir-akhir ini lo sering main kesini..", katanya seraya duduk di sampingku. Kakinya yang jenjang dibiarkannya menggantung di tepian gedung, mengikutiku.

"Gue suka aja di tempat ini. Tenang. Damai. Enggak ada suara berisik", kupandangi langit sore yang mulai berwarna jingga.

"Gue juga suka tempat ini", Langit menimpali. Deru angin sore menerpa rambutnya, membuat wajah pria itu terlihat manis.

Aku tersenyum dan menghempaskan nafas panjang. Dalam diam tanpa kata, kami berdua menikmati suasana tenggelamnya matahari diantara gedung-gedung tinggi yang mulai menyalakan lampu-lampunya. Kedua tangan kami tergenggam, saling menguatkan.

"Bahkan matahari merasa lelah untuk terus bersinar..", rangkulan hangat Langit terasa di pundakku. Kusenderkan kepalaku di bahunya, dan membiarkan mataku terpejam.


****


Brakk!!
Aku tertunduk diam, mengepal tanganku kuat-kuat agar hatiku tak menangis. Di sebuah ruangan berukuran 4x4 meter itu, aku dihadapkan dengan bos dan managerku.

"Kami berharap kamu bisa bekerja dengan lebih baik lagi, Bintang. Nilaimu lebih rendah dibandingkan dengan teman-teman seangkatanmu yang lain. Cobalah untuk ikut berpartisipasi, lebih aktif di dunia kerjamu", nasehat bosku dengan nada lembut. Namun aku tau, sebenarnya mereka kesal terhadap kelakuanku di kantor yang acuh dengan segala problema kantor.

Tanganku bergetar. Ingin rasanya aku segera pergi dari ruangan itu. Tatapan mereka terlalu sinis bagiku. Tak ada pembelaan. Aku hanya mengiyakan nasehat mereka.

Aku terus berpikir, apakah yang aku lakukan selama ini masih kurang dimata mereka? Apakah pekerjaanku tak terlihat? Apakah aku tak terlihat?

Kuakui, aku tak menyukai atmosfer ini. Aku benar-benar tak bisa bernafas disini. Aku merasa seperti ikan yang dipaksa untuk memanjat pohon. Aku berusaha menyukai pekerjaanku, berusaha menjadi ahli dengan apa yang aku geluti, tapi nyatanya aku gagal meski aku terus mencoba.

Semua pandangan dan cibiran tajam itu, aku mengetahuinya. Namun kutebalkan mata dan telingaku. Aku hanya harus bertahan sedikit lebih lama, sebelum akhirnya aku benar-menar meninggalkan hidupku kini. Bukankah hidup itu adalah pilihan? Bagaimana jika aku tak punya pilihan? Bagaimana jika aku harus hidup di dunia yang kubenci? Bagaimana jika aku memilih mati?


****


"Jadi gimana, Kak?", tanya mamaku di ujung telepon. Nada suaranya terdengar lirih. Aku tau ia sedang menangis.

"Kita cari jalan keluarnya sama-sama yah, Ma. Kakak disini juga lagi dalam masa sulit", aku menggigit bibirku, menahan air mata yang sebentar lagi akan tumpah.

"Mama bingung harus ngasi alasan apa lagi. Kemarin petugas bank itu datang lagi, nagih uang. Mereka ngancam bakal menyita rumah kita kalo hutang-hutang kita di bank enggak segera dibayar. Belum lagi adik-adikmu yang nuntut biaya sekolah mereka yang udah tertunggak beberapa bulan."

Aku terdiam. Berpikir, bagaimana caranya agar mama merasa lega dengan segala pikirannya.

"Iya Ma, tunggu beberapa hari lagi, yah. Kalo sekarang Bintang belum ada uang..", alibiku. Syukurlah, mama bisa lebih tenang dengan perkataanku. Meski aku sendiri bingung, gimana caranya membagi gaji kecilku untuk segala kebutuhan itu.

Tuhan, apa aku boleh bersandar dan menangis di pundak-Mu?


****


"Langit, apa aku boleh bermimpi?", tanyaku pada Langit, saat kami berdua tengah berbaring di lantai atap sebuah gedung tua, tempatku biasa mencari ketenangan.

"Kenapa enggak? Semua orang berhak bermimpi", jawabnya.

"Aku pengen jadi awan kecil itu", kataku sambil menunjuk sebuah awan yang bertengger di langit biru.

"Kenapa?"

"Kayaknya asik. Menari di langit, bebas, enggak ada beban hidup sama sekali."

"Lo mikirnya gitu?", tanyanya seakan meremehkan. "Enggak selamanya awan itu bakal terus disitu dan seperti itu. Di saat tekanan udara berubah, dia bakal luruh, berubah menjadi hujan dan jatuh ke bumi. Awan itu makhluk rentan, tau", terangnya.

"Oh, gitu yah? Padahal kalo di lihat, kayaknya jadi awan itu asik banget."

"Kelihatannya doang.."

Aku terdiam, tak melanjutkan pengandaianku. Kubiarkan pikiranku menguap ke langit, menghilang tersapu angin.

"Jadilah bintang..", katanya tiba-tiba.

"Bintang?", kutatap kedua matanya dalam-dalam dengan penuh tanda tanya.

"Iya, bintang.. Ia tetap bersinar meski di sekitarnya penuh kegelapan. Ia bersembunyi dari cahaya matahari yang menyilaukan, namun ia tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya mempersiapkan diri, menjadi seorang bintang terang di waktu yang tepat", Langit tersenyum dan membalas tatapan mataku.

"Bintang itu tempatnya di langit. Ia berada di tahta tertinggi di alam semesta. Bintang engga pernah takut apapun, meski ia sendirian. Ketika sinar matahari semakin menyala, bintang malah semakin bersinar. Emang, dari bumi bintang engga bakal terlihat kalo siang hari. Karena ngeliat keindahan bintang itu engga pantes kalo dari bumi. Angle-nya salah. Coba dari sisi lain. Luar angkasa, misalnya. Bintang bakal selalu kelihatan setiap saat. Bahkan mungkin lebih indah daripada kita melihat dari bumi", tambahnya.

"Jadi maksudnya, gue cuma harus ngeliat bintang dari sisi yang berbeda, gitu?"

"Yap. Bintang bakal kelihatan bersinar bila ia di lihat dan berada di tempat yang semestinya." Langit terdiam beberapa saat, tak melanjutkan perkataannya.

"Atmosfer lo sekarang bukanlah atmosfer yang cocok buat lo. Emang, itu hidup lo. Tapi lo pernah ngerasa hidup dan bahagia disitu? Enggak kan?!", lanjutnya kemudian.

"Bukankah bintang bakal kelihatan bersinar bila malam semakin gelap?", tanyaku.

"So?"

"Dengan masalah hidup gue yang sekarang, harusnya gue bisa lebih kuat ngadepinnya. Bukannya nyerah. Bukannya memadamkan sinar gue."

Langit mengangguk, tersenyum puas dengan jawabanku.

"Tapi suatu saat nanti, gue bakal hidup dengan atmosfer yang benar-benar bisa ngebikin gue bernafas lega. Atmosfer kehidupan yang bikin gue lebih bersinar. Mungkin sekarang rasanya sakit. Tapi bukannya untuk sampai ke puncak, gue mesti ngerasain jatuh dan terluka berkali-kali? Kalo kebahagiaan itu di dapat dengan cara instan, kita enggak bakal ngerasain gimana kerennya sebuah perjuangan. Ya nggak?", aku tersenyum puas. Tiba-tiba saja aku merasa lebih bersemangat.

"Tetaplah menjadi bintang. Tetaplah menjadi diri lo sendiri. Ikuti kata hati lo", Langit mengusap kepalaku. Aku mengangguk.

Demi senyuman mama, demi mimpi-mimpiku, demi Langit, aku bakal berjuang. Mungkin sekarang aku benar-benar merasa sakit, merasa kehabisan nafas, merasa semuanya seakan tak berpihak padaku, namun semua itu kuanggap sebuah kegelapan yang kan terus membuatku bersinar. Seperti bintang di langit. Terus bersinar saat gelap terus menyeruakkan cahaya kelamnya.



****





"Jadilah langitku, yang terus menemaniku bersandar, menghadapi kelamnya kegelapan"