Wednesday, June 26, 2013

Preman Dan Sorban




Kyla
"Haram dan tidaknya tatto-ku bukan manusia hakimnya", ia memamerkan sebuah tulisan yang tersablon di kaosnya. Aku mengamati tulisan itu, memahami maksud dibalik tiap kata-katanya.

Aku tersenyum hambar, "kamu mau bilang kalo tatto kamu itu seni?"

"Yap. Tatto itu engga selalu bermakna negatif, kan? Lagian urusan aku sama Tuhan ya cuma aku dan Tuhan yang mengerti. Engga perlu ikut campur tangan manusia." Dia menyeringai lebar, mengelus tatto di tangannya yang telah terukir permanen.

"Seni itu sakit, yah. Sampe ngerusak kulit gitu", ucapku datar.

Aku sungguh tak suka dengan apa yang ia lakukan dengan dirinya. Aku mengerti, itu hanya sekedar tatto. Bukan, tatto itu bukan sekedar. Tatto itu penghalang jalan seorang hamba kepada Tuhannya. Yah, aku tak berhak menilai. Bukankah bukan manusia yang menghakimi halal ataupun haramnya tatto seseorang. Itu urusan mereka dengan Tuhannya. Bila begitu, apakah aku harus diam dengan kelakuannya ini?

"Emang sakit. Tapi aku suka. Ini semacam sebuah kesenangan. Bahkan aku pengen nambah lagi", kedua bola matanya menatapku, seakan memberi isyarat untuk meminta izin padaku, membolehkannya melakukan hal itu.

Aku tak melanjutkan kata-kataku. Kubuang pandanganku hingga aku tak bisa melihat sosoknya bahkan dari sudut mataku. Rasanya seperti ada yang menusuk hatiku, sesaat setelah ia mengucapkan kalimat terakhirnya.

"Udah zuhur, aku mau sholat", aku beranjak dan meninggalkannya. Namun setelah beberapa langkah, aku berbalik dan menatapnya, "mau ikut?"

Ia terdiam, memberikan jeda pada angin untuk berhembus getir. Ditatapnya ukiran tatto berwarna hitam yang memenuhi setiap permukaan kulit lengannya. "Nih, gimana mau sholat?", disodorkannya gambar tatto itu ke arahku.

Aku melangkah, mendekat. Kugenggam sebuah sisi dari kaos yang dikenakannya. "HARAM DAN TIDAKNYA TATTO-KU BUKAN MANUSIA HAKIMNYA", kubaca tulisan di kaosnya dengan tegas, lalu menatapnya dalam-dalam.

"Bukankah itu yang tadi kamu bilang? Kenapa sekarang kamu bertindak seolah-olah kamu adalah hakim? Kamu ngerasa malu menghadap Tuhan karena senimu itu?"

"Butuh proses, Kyla..", lirihnya. "Engga ada yang bisa berubah drastis, kan?"

Aku masih lekat menatapnya, tak memberikan ekspresi apapun. Aku mengerti, ketika kita mencintai seseorang, maka kita harus menerimanya secara sepaket. Menerima kekurangan hingga kelebihannya. Menerimanya apa adanya. Namun, hati kecilku berontak. Aku hanya ingin ia berada di jalan Tuhan, itu saja.

"Jadilah anak yang baik", kataku kemudian, sambil mengacak-acak rambutnya.



****



Ega
Aku menyayangi Kyla. Sangat. Aku ingin melihatnya terus tersenyum. Namun yang kulakukan hanyalah terus membuatnya kecewa dengan kelakuanku. Aku dan Kyla sangat berbeda. Aku seorang pria bertatto, perokok, bahkan pemabuk. Aku menjalani hidup semauku. Aku tak peduli apa yang orang katakan tentang diriku. Bagiku, semua manusia yang berjalan di bumi ini adalah kumpulan badut yang memakai topeng. Tak ada yang benar-benar baik. Lebih baik menjadi nakal sekalian, daripada baik dalam kepura-puraan. Dan inilah jalan hidup yang kupilih, menjadi seseorang yang benar-benar lari dari jalur kehidupan.

Kyla benar-benar berbeda denganku. Ia gadis yang baik. Ia gadis lugu, yang begitu menuruti liku hidup yang dijalaninya. Ia sangat sabar menghadapiku. Ia tak pernah menuntutku untuk merubah kebiasaanku. Aku tahu, dalam batinnya, ia protes ketika tahu aku minum, ketika aku menyembulkan asap rokok ke udara, dan tiap kali ia melirik tatto yang kuukir di lenganku. Ia hanya diam. Selalu diam. Terkadang aku sedikit khawatir dengan kediamannya. Siapa sih yang mau pacaran sama cowo tattoan sepertiku?

Kyla.

Hingga kini aku bahkan tak mengerti mengapa ia bisa begitu tulus menyayangiku.

Sebenarnya, aku juga ingin berubah. Aku tak ingin selamanya hidup di dunia kacau seperti ini. Aku ingin meninggalkan semua kelakuan burukku. Namun tak ada yang instan, kan? Aku berusaha, meski entah sampai kapan aku bisa benar-benar terlepas dari belenggu ini. Setidaknya, aku mencoba.



****



Kyla
"Mama pengen kamu ngedapetin pasangan hidup yang terbaik, Kyla", ucap mama di seberang telepon.

"Ma, Kyla belum mau nikah sekarang, loh."

"Iya, tapi kamu harus mulai serius dari sekarang. Cari calon kan engga semudah beli barang di toko."

"Iya, Ma. Ini juga lagi di seriusin kok", lagi-lagi, mama menasehatiku seputar pasangan hidup. Aku memakluminya. Setiap orang tua pasti menginginkan sosok yang terbaik untuk anaknya.

"Mama engga mau kamu salah memilih pasangan. Setelah nikah, pengabdian kamu itu berpindah ke suami, bukan orang tua lagi. Cari calon yang bisa membimbing kamu lebih dekat kepada Tuhan. Seorang pria yang menyayangi keluarga, seperti papamu."

Aku hanya mengangguk, diam dan mendengarkan nasehat yang terus mengalir dari perkataan mamaku.

"Mama punya kenalan ustadz. Anaknya sholeh, rajin sholat, pintar, baik lagi."

"Ma. Aku udah punya Ega", aku berusaha mengucapkan setiap kalimatku dengan hati-hati. Aku tak ingin salah bicara kali ini. "Ustadz engga menjamin kebahagiaan aku, Ma.."

"Iya, mama ngerti", mama melembutkan suaranya. "Mama cuma pengen yang terbaik buat kamu. Mama cuma pengen kamu bahagia, nak." Entah mengapa, perkataan mama membuatku ingin menangis. Aku sudah dewasa. Saatnya aku menentukan pilihan hidup. Bayangan Ega tiba-tiba saja terpikirkan.

"Apakah aku sudah memilih pria yang tepat?", batinku.

"Ega pria yang baik, Ma", kataku, mencoba mengenalkan sosok Ega, pria yang belum pernah dilihat orang tuaku secara langsung. "Dia jagain aku, disini. Dia selalu nolongin aku kalo aku kesulitan. Dia sayang sama aku."

Mama menaruh seluruh kepercayaannya padaku. Aku tak ingin mengecewakannya. Hanya saja, aku tak ingin berperan sebagai Siti Nurbaya. Namun aku juga tak boleh mengabaikan nasehat orang tuaku. Mereka pasti lebih mengerti apa yang terbaik untuk anaknya.

Satu hal yang mama belum tau, Ega jauh dari sosok calon suami yang diidamkannya.



****


Ega
"Kalau nanti orang tuaku engga suka kamu, gimana?", pertanyaan Kyla hampir saja membuatku tersedak. Kuhentikan kegiatan makanku. Sederetan kalimat tanyanya berhasil mengubah moodku.

"Aku udah nyangka, pasti hal ini bakalan terjadi", kutatap raut mukanya yang sendu.

Mungkin dia sedang bingung, menuruti harapan orang tuanya atau suara hati kecilnya. Aku sudah tau hal ini sejak awal. Halangan terberat yang menghambat hubungan kami adalah keluarga. Keluarga Kyla tak mungkin dengan mudah menerima keberadaanku yang seperti ini. Namun apa yang bisa kulakukan? Aku tak ingin berubah menjadi orang lain. Seperti inilah seorang Ega. Dan aku takkan mengubah ega menjadi sosok yang tak kukenal.



****



Kyla
Hati cuma satu. Yang bisa ia lakukan hanyalah memilih. Memilih untuk mengikhlaskan, atau tetap tinggal. Pilihan memang tak pernah mudah. Ketika kita harus memilih sesuatu, kita harus rela kehilangan sesuatu pula. Kali ini, aku dihadapkan lagi pada pilihan itu.

Aku menetapkan sebuah pilihan, membagi cerita hidupku bersama Ega. Membagi suka dan dukaku, membagi tawa dan tangisku, membagi bahu untuk saling bersandar.

Rasa yang tak bisa kujelaskan, tumbuh subur kian waktu aku mengenalnya. Aku bahkan tak tahu mengapa hati ini memilih dirinya. Yang kutahu, dia membuatku merasa nyaman. Dia menjelma menjadi sebuah kebutuhan bagiku. Dia menjadi sosok yang tak ingin kulepas.

Kini, aku dihadapkan lagi pada sebuah pilihan. Harapan keluargaku, atau keinginan hati kecilku. Lagi-lagi pilihan yang sulit. Aku tak ingin mengecewakan siapapun. Aku tak ingin kehilangan siapapun.

Kuyakin, akan ada sesuatu yang baik pada akhirnya. Jika aku tak menemukan hal baik itu, berarti aku belum bertemu garis akhir. Aku akan memperjuangkan pilihan yang saat ini kutautkan di jemariku. Hingga nanti aku lelah. Hingga nanti aku kalah. Hingga nanti garis finish mengumumkan pemenangnya. Hingga nanti aku harus menerima pilihan yang terbaik untuk hidupku. Sebuah kisah yang telah dirangkai Tuhan dengan sangat indah. Sebuah cerita, yang mungkin tak sama dengan apa yang kucoba tulis dalam buku kehidupanku.



****

Ega
Membimbing diriku sendiri ke jalan yang benar saja aku belum mampu. Bagaimana mungkin aku bisa begitu egoisnya untuk mengajak Kyla mencicipi kehidupanku? Ah, aku bodoh sekali. Ia pastilah akan memilih seseorang yang bisa membimbingnya di jalan Tuhan. Di jalan yang lurus, pengabdian seorang hamba pada penciptanya. Aku cuma sampah. Aku tak berteman baik dengan Tuhanku. Aku tak mungkin membiarkan Kyla terjebak dalam hidupku yang seperti ini.

Mungkin sebuah perjuanganku tak akan berarti apa-apa. Akan kuikhlaskan dia. Ya. Cinta adalah bahagia melihat orang yang kita sayangi bahagia. Aku mencintai Kyla. Ralat. Aku sangat mencintai Kyla. Aku hanya ingin ia bahagia, meski bukan bersamaku, meski bukan karenaku. Ia wanita baik-baik. Ia pantas mendapatkan pria yang terbaik pula. Jika nanti perjuanganku dikalahkan oleh keadaan, ikhlasku akan selalu kutujukan padanya. Demi senyum yang harus selalu tersungging di bibirnya, kutarik diri, mengendap pergi bahkan menghilang dari sentuhan pikirannya.


****

Tuesday, June 25, 2013

Membicarakan Cinta



"Saat itu akan tiba, ketika kau benar-benar menerima kenyataan bahwa kini tak ada lagi ‘kita’ hanya ada kau minus dirinya"




Berbicara tentang cinta. Apa itu cinta? Mereka bilang, cinta adalah ketika kita menyayangi seseorang dengan tulus. Begitukah? Mungkin. Cinta adalah pengorbanan. Yah, ada benarnya juga. Cinta adalah rasa. Itu kataku.

Cinta itu sederhana. Dua orang yang saling bertemu dan membagi rasa sayang mereka, itu bisa disebut cinta. Tak perlu komitmen, hanya saling mengetahui bahwa segenap hati itu ditujukan hanya untuk kita. Semanis itukah? Kurasa tidak.

Dia Azka, pria yang memperkenalkanku dengan rasa itu. Sesederhana sebuah pertemuan, perkenalan dan pilihan hati. Aku sangat menyayanginya, begitupun dia. Semua berjalan dengan semestinya, seolah-olah kami memanglah dua makhluk yang ditakdirkan untuk saling berbagi cerita hidup.

Kita. Ku ulang kembali kata itu berkali-kali. Kita, kita, kita, kita.. Semakin sering kuucap, semakin aku ingin melupakan kata itu. Kita takkan pernah selamanya menjadi kita. Ada jurang lebar yang menganga di depan kita. Sekuat apapun kita terus bertahan, kita akan tetap berdiri di tepi yang sama, di sisi yang berbeda. Bila kita mendekat, kita akan terjatuh ke jurang itu. Tuhan, ini cuma masalah cinta. Mengapa harus ada jurang pemisah yang begitu dalam?

Aku mencintainya. Sangat. Katanya cinta itu sederhana. Namun mengapa aku merasakan hal serumit ini? Salahkah aku mencintainya? Salahkah bila aku ingin menulis kisah hidupku hanya bersamanya? Nyatanya, rosario dan tasbih takkan pernah bisa bersatu. Meski Tuhan cuma satu, meski keyakinan hati ini hanya untuk-Nya, tapi Dia tak pernah mengizinkan kami untuk menggenggam tangan, menautkan jemari, mengikrarkan sebuah janji. Kami berbeda. Aku menggenggam Al-Kitab dan ia menggenggam Al-Qur'an. Kita, dua manusia yang berusaha menyamarkan perbedaan; agama.


****


Aku mengendap-endap pergi. Kubiarkan waktu menyapu perasaan ini. Kesibukan baru mungkin akan mengalihkan perhatianku. Kurentangkan jarak dan melangkah menjauhi jurang itu. Kutau, dia telah lebih dahulu beranjak, menyusun hidupnya yang baru.

Aku senang, senyum yang sejak lama menjadi milikku, senyum yang beberapa waktu tak tampak, kini kulihat tersungging lagi diantara bibir manisnya. Mungkin gadis itu bisa memberikan harapan yang tak bisa kuberikan. Kutebak, dia telah menemukan jalannya. Siapapun gadis yang kelak akan menghiasi lembar ceritanya, kuharap akan ada kisah indah di tiap goresan tintanya.

Bagiku, melupakannya tak semudah mencintainya. Aku kalah, meski aku terus berusaha menerima sosok baru di hidupku. Tempat yang dulu kutata rapi hanya untuk sebingkai namanya, kini kubiarkan kosong. Kunci itu masih di pegangnya. Pintu ini masih miliknya. Terlalu banyak kenangan. Terlalu banyak harapan yang menunggu untuk diwujudkan. Ruang itu begitu penuh tentang dirinya. Bahkan bayangnya masih tergambar jelas, memenuhi tiap sudut ruang di hatiku. Bagaimana bisa aku membiarkan orang asing menempati ruang itu?


"Kamu nakal. Mengapa selalu muncul di mimpiku?", kalimatnya mencuat dari kotak chattingku.

"Kamu lebih nakal. Selalu muncul di pikiranku", godaku.

Kami terdiam. Rasa itu kembali bergetar. Meski aku berusaha melupakan, meski ia berusaha mengabaikan, namun rasa itu tak pernah hilang. Waktu tak menjadikannya musnah, malah membuat rasa ini terus membesar dan bergejolak tak karuan. sesuatu yang kini kumengerti, hati tak bisa di bohongi.


****


Thursday, June 20, 2013

Hey June!


Hey, June!
Selalu ada yang menarik di bulan ini. Denting jam terasa lebih berirama. Cakrawala terlihat lebih indah. Sudahlah, aku sedang tak ingin puitis kali ini.



Hey, kalian para pria tampan di rumah. Apa kabar? Kakak senang, Juni kali ini Kakak masih bisa mendengar tawa kalian. Meski hanya lewat benda tak bernyawa itu. Kalian menyebalkan, seperti biasanya. Tidak, buya tak termasuk dalam kategori ini. Hanya kalian, laskar rewel yang selalu kakak rindukan.

Selamat tambah tua, yah. Lilin-lilin di atas kue kalian bertambah satu. Semoga tambah dewasa dan tambah bijak. Berdoalah, akan kakak aminkan.

Doa dimulai..

...................................

Amin :)



Buat para laskar rewelku, Rizky dan Hafiz..
Lucu yah. Kita pernah memikirkan betapa uniknya hari lahir kalian. Buya, Hafiz dan Rizky. 10, 15 dan 20 Juni. Takdirkah? Yang pasti, deretan tanggal itu ngebikin bulan Juni terasa spesial, terutama buat kalian. Jadilah laskar yang berbakti sama umi-buya, yah. Kita enggak bisa selamanya sama-sama. Tapi kakak tetep ada kok buat kalian. Meski dari sini, di seberang pulau, di seberang selat Sunda. Di kota dengan pusat pemerintahan negara kita.

Sebenarnya kakak iri, kalian masih bisa ngerasain kasih sayang dan bisa manja-manjaan sama Umi-Buya. Masih bisa melihat senyum simpul mereka setiap saat kalian ingin. Jaga mereka yah. Janga senyum mereka agar terus menyungging.

Bagaimana dengan mimpi-mimpi kita? Suatu saat, akankah kita tak hanya memikirkannya, namun juga mewujudkannya? Secepatnya! Belajarlah yang rajin. Segeralah lulus dan menjadi orang sukses. Oke?!



Buat ayah terhebat di dunia..
Buya makin tampan kok, dengan umur yang kian bertambah. Sungguh. Keriput itu tak menghalangi wibawamu. Sungguh, ini kejujuran dari hati kakak.

Buya apa kabar? Kapan kita keliling Medan dengan vespa ringkihmu lagi? Kakak rindu dibonceng buya. Kakak rindu diantar ke sekolah, seperti yang biasa buya lakukan dulu. Sejujurnya, kakak hanya merindukan berada di sisi buya. Kakak pengen peluk buya. Boleh kan, kakak manja-manjaan sama buya? Enggak ada batas usia buat manja kepada ayahnya, kan?



****


Selamat ulang tahun buat kalian bertiga.

Kakak merindukan kalian..

Wednesday, June 19, 2013

Disana



Ku gulung lagi selembar rindu yang berserak di lantai kamarku.
Jumlahnya beribu.
Meski ku berusaha merapikan, tetap saja, denting waktu memunculkan lembaran baru.
Aku letih.
Kubiarkan lembaran itu berserakan.
Sebagian telah kusimpan di bilik kayu.
Takkan kubuka lagi.
Hingga berdebu.
Hingga rapuh.
Hingga ia hilang diambil waktu.


Tersudut di kamar.
Mencium isak tangisku yang luruh oleh senja.
Mendengar bayang-bayang yang melintas di lorong langit.
Berteman dengan kesendirian.
Menepuk bahu keheningan yang kian terasa mencekam.


Setangkup harapan kini terasa usang.
Mungkin ia lelah..
Mengharapkan tindakanku yang tak kunjung membuahkan arti.
Aku terus bermain dalam kesendirian.
Menunggu senja menghilang.
Menunggu pagi datang.
Meski kutahu, cahaya matahari kan menyilaukanku.
Guratan cahaya dan keramaian kan menyipitkan semangatku.
Namun langkah gontaiku kan tetap menciptakan jejak.


Diantara retakan harapan.
Bersama kesendirian.
Aku melangkah.
Meski kutak tahu kemana tujuan ini berakhir.
Meski kutak tahu apa yang kucari.
Meski sendiri.
Kutetap berjalan pasti.
Menghanyutkan sekotak gulungan rinduku.
Mengusir sepiku.
Aku tahu, ada rentangan bahagia yang menungguku disana.


Disana, entah dimana..

Bintang Langit



"Hoi, Bintang! Ngapain lo disana?"

Aku menunduk, mencari asal suara. "Nyari angin. Sini..", kataku memanggil pria itu.

"Oke. Bentar yah", dia segera masuk ke dalam gedung tua, menaiki beberapa anak tangga dan akhirnya tiba di lantai atap, tempat dimana aku duduk merenung.

"Akhir-akhir ini lo sering main kesini..", katanya seraya duduk di sampingku. Kakinya yang jenjang dibiarkannya menggantung di tepian gedung, mengikutiku.

"Gue suka aja di tempat ini. Tenang. Damai. Enggak ada suara berisik", kupandangi langit sore yang mulai berwarna jingga.

"Gue juga suka tempat ini", Langit menimpali. Deru angin sore menerpa rambutnya, membuat wajah pria itu terlihat manis.

Aku tersenyum dan menghempaskan nafas panjang. Dalam diam tanpa kata, kami berdua menikmati suasana tenggelamnya matahari diantara gedung-gedung tinggi yang mulai menyalakan lampu-lampunya. Kedua tangan kami tergenggam, saling menguatkan.

"Bahkan matahari merasa lelah untuk terus bersinar..", rangkulan hangat Langit terasa di pundakku. Kusenderkan kepalaku di bahunya, dan membiarkan mataku terpejam.


****


Brakk!!
Aku tertunduk diam, mengepal tanganku kuat-kuat agar hatiku tak menangis. Di sebuah ruangan berukuran 4x4 meter itu, aku dihadapkan dengan bos dan managerku.

"Kami berharap kamu bisa bekerja dengan lebih baik lagi, Bintang. Nilaimu lebih rendah dibandingkan dengan teman-teman seangkatanmu yang lain. Cobalah untuk ikut berpartisipasi, lebih aktif di dunia kerjamu", nasehat bosku dengan nada lembut. Namun aku tau, sebenarnya mereka kesal terhadap kelakuanku di kantor yang acuh dengan segala problema kantor.

Tanganku bergetar. Ingin rasanya aku segera pergi dari ruangan itu. Tatapan mereka terlalu sinis bagiku. Tak ada pembelaan. Aku hanya mengiyakan nasehat mereka.

Aku terus berpikir, apakah yang aku lakukan selama ini masih kurang dimata mereka? Apakah pekerjaanku tak terlihat? Apakah aku tak terlihat?

Kuakui, aku tak menyukai atmosfer ini. Aku benar-benar tak bisa bernafas disini. Aku merasa seperti ikan yang dipaksa untuk memanjat pohon. Aku berusaha menyukai pekerjaanku, berusaha menjadi ahli dengan apa yang aku geluti, tapi nyatanya aku gagal meski aku terus mencoba.

Semua pandangan dan cibiran tajam itu, aku mengetahuinya. Namun kutebalkan mata dan telingaku. Aku hanya harus bertahan sedikit lebih lama, sebelum akhirnya aku benar-menar meninggalkan hidupku kini. Bukankah hidup itu adalah pilihan? Bagaimana jika aku tak punya pilihan? Bagaimana jika aku harus hidup di dunia yang kubenci? Bagaimana jika aku memilih mati?


****


"Jadi gimana, Kak?", tanya mamaku di ujung telepon. Nada suaranya terdengar lirih. Aku tau ia sedang menangis.

"Kita cari jalan keluarnya sama-sama yah, Ma. Kakak disini juga lagi dalam masa sulit", aku menggigit bibirku, menahan air mata yang sebentar lagi akan tumpah.

"Mama bingung harus ngasi alasan apa lagi. Kemarin petugas bank itu datang lagi, nagih uang. Mereka ngancam bakal menyita rumah kita kalo hutang-hutang kita di bank enggak segera dibayar. Belum lagi adik-adikmu yang nuntut biaya sekolah mereka yang udah tertunggak beberapa bulan."

Aku terdiam. Berpikir, bagaimana caranya agar mama merasa lega dengan segala pikirannya.

"Iya Ma, tunggu beberapa hari lagi, yah. Kalo sekarang Bintang belum ada uang..", alibiku. Syukurlah, mama bisa lebih tenang dengan perkataanku. Meski aku sendiri bingung, gimana caranya membagi gaji kecilku untuk segala kebutuhan itu.

Tuhan, apa aku boleh bersandar dan menangis di pundak-Mu?


****


"Langit, apa aku boleh bermimpi?", tanyaku pada Langit, saat kami berdua tengah berbaring di lantai atap sebuah gedung tua, tempatku biasa mencari ketenangan.

"Kenapa enggak? Semua orang berhak bermimpi", jawabnya.

"Aku pengen jadi awan kecil itu", kataku sambil menunjuk sebuah awan yang bertengger di langit biru.

"Kenapa?"

"Kayaknya asik. Menari di langit, bebas, enggak ada beban hidup sama sekali."

"Lo mikirnya gitu?", tanyanya seakan meremehkan. "Enggak selamanya awan itu bakal terus disitu dan seperti itu. Di saat tekanan udara berubah, dia bakal luruh, berubah menjadi hujan dan jatuh ke bumi. Awan itu makhluk rentan, tau", terangnya.

"Oh, gitu yah? Padahal kalo di lihat, kayaknya jadi awan itu asik banget."

"Kelihatannya doang.."

Aku terdiam, tak melanjutkan pengandaianku. Kubiarkan pikiranku menguap ke langit, menghilang tersapu angin.

"Jadilah bintang..", katanya tiba-tiba.

"Bintang?", kutatap kedua matanya dalam-dalam dengan penuh tanda tanya.

"Iya, bintang.. Ia tetap bersinar meski di sekitarnya penuh kegelapan. Ia bersembunyi dari cahaya matahari yang menyilaukan, namun ia tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya mempersiapkan diri, menjadi seorang bintang terang di waktu yang tepat", Langit tersenyum dan membalas tatapan mataku.

"Bintang itu tempatnya di langit. Ia berada di tahta tertinggi di alam semesta. Bintang engga pernah takut apapun, meski ia sendirian. Ketika sinar matahari semakin menyala, bintang malah semakin bersinar. Emang, dari bumi bintang engga bakal terlihat kalo siang hari. Karena ngeliat keindahan bintang itu engga pantes kalo dari bumi. Angle-nya salah. Coba dari sisi lain. Luar angkasa, misalnya. Bintang bakal selalu kelihatan setiap saat. Bahkan mungkin lebih indah daripada kita melihat dari bumi", tambahnya.

"Jadi maksudnya, gue cuma harus ngeliat bintang dari sisi yang berbeda, gitu?"

"Yap. Bintang bakal kelihatan bersinar bila ia di lihat dan berada di tempat yang semestinya." Langit terdiam beberapa saat, tak melanjutkan perkataannya.

"Atmosfer lo sekarang bukanlah atmosfer yang cocok buat lo. Emang, itu hidup lo. Tapi lo pernah ngerasa hidup dan bahagia disitu? Enggak kan?!", lanjutnya kemudian.

"Bukankah bintang bakal kelihatan bersinar bila malam semakin gelap?", tanyaku.

"So?"

"Dengan masalah hidup gue yang sekarang, harusnya gue bisa lebih kuat ngadepinnya. Bukannya nyerah. Bukannya memadamkan sinar gue."

Langit mengangguk, tersenyum puas dengan jawabanku.

"Tapi suatu saat nanti, gue bakal hidup dengan atmosfer yang benar-benar bisa ngebikin gue bernafas lega. Atmosfer kehidupan yang bikin gue lebih bersinar. Mungkin sekarang rasanya sakit. Tapi bukannya untuk sampai ke puncak, gue mesti ngerasain jatuh dan terluka berkali-kali? Kalo kebahagiaan itu di dapat dengan cara instan, kita enggak bakal ngerasain gimana kerennya sebuah perjuangan. Ya nggak?", aku tersenyum puas. Tiba-tiba saja aku merasa lebih bersemangat.

"Tetaplah menjadi bintang. Tetaplah menjadi diri lo sendiri. Ikuti kata hati lo", Langit mengusap kepalaku. Aku mengangguk.

Demi senyuman mama, demi mimpi-mimpiku, demi Langit, aku bakal berjuang. Mungkin sekarang aku benar-benar merasa sakit, merasa kehabisan nafas, merasa semuanya seakan tak berpihak padaku, namun semua itu kuanggap sebuah kegelapan yang kan terus membuatku bersinar. Seperti bintang di langit. Terus bersinar saat gelap terus menyeruakkan cahaya kelamnya.



****





"Jadilah langitku, yang terus menemaniku bersandar, menghadapi kelamnya kegelapan"


Tuesday, June 4, 2013

Hi Hello


Sayang itu buat dirasain, bukan dijelasin





Aku tak peduli siapa kamu
Darimana kamu
Kemana saja kamu telah melangkah
Yang aku tau
Aku sayang kamu..

****

Selamat tanggal empat..

- NSR -
- #Empat #Ke #Satu -

Monday, June 3, 2013

Segulung Rindu



Untuk seorang pria, ksatria hidupku
Yang bahunya selalu kuat menopang hidup
Yang senyumnya selalu tersungging manis
Yang tuturnya selalu menenangkan hatiku

Aku merindukanmu
Merindukan tatapan teduh yang kau sorotkan padaku
Dalam pertemuan kita di sebuah denting waktu

Aku merindukanmu
Kerja keras dan peluh keringat yang selalu menetes dari tubuh kurusmu
Demi aku, demi anakmu


Untuk seorang wanita tercantik di negriku
Yang tawanya selalu mencerahkan hariku
Yang peluknya selalu menguatkanku
Yang air matanya selalu luruh dalam sujud tengah malam
Yang namanya selalu kusebut dalam doa

Aku sangat merindukanmu
Belaian lembut yang kerap mendarat di rambutku
Cinta yang tulus hanya untukku
Binar mata yang lembut menyapaku
Aku sungguh merindukanmu


Untuk kalian para laskar kecilku
Hunus pedang kalian ke hadap matahari
Lawan pahitnya hidup
Dan tetap tersenyum


Aku tak pulang
Perahuku kandas
Ombak sedang garang, aku tak berani menyeberang
Dengarkan nada rindu yang kugantungkan pada hembusan angin
Jangat meringis
Aku tak apa
Hanya sedang terbalut sepi


Tunggu saja matahari bertengger di senja jingga
Kita akan menjadi lima
Berdiri di ranah yang sama
Segera..