Tuesday, April 23, 2013

Eccedentesiast



"Kamu gila!"

Ia hanya tersenyum.

"Hentikan senyumanmu itu. Jangan tunjukkan kepalsuanmu padaku. Aku tau kamu sakit. Hatimu sakit! Please, berhenti berbuat seperti ini!" Aku mulai menangis melihat sebuah wajah yang tengah berdiri di depanku. Ia tetap tersenyum, tertawa, bahkan tampak ceria seperti tak ada masalah dalam hidupnya.

"Aku baik-baik aja kok." Katanya dengan nada suara yang renyah. Ia tetap memainkan seekor kupu-kupu yang hinggap perlahan di jemarinya.

"Bohong!!"

"Apa kamu melihat kebohongan dari pancaran wajahku?" Ia membiarkan kupu-kupu itu terbang, lalu berjongkok dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. Pandangan kami bertemu. Aku terdiam dan mengamati matanya dalam-dalam.

Sayu. Mata itu tak memancarkan kebahagiaan seperti yang ditunjukkan wajahnya. Tak ada segaris senyum disana, pun air mata. Yang kulihat hanya sepasang mata dengan tatapan kosong. Tak ada kehidupan. Tak ada ekspresi. Datar.

"Dorr!," suaranya mengagetkanku. "Aku suruh kamu mengamati wajahku, bukan bengong begitu."

Ia merebahkan dirinya di hamparan rumput hijau, tepat di sampingku. Melipat kedua tangannya dibawah kepala, menatap langit sore yang berwarna jingga. Lagi-lagi, ia tersenyum, "kamu terpesona melihat wajahku yah? Hahaha", matanya tak lepas dari pergerakan awan yang mulai berkemas diri, bergerak ke barat bersama deru angin.

Ia tersenyum, padahal sebenarnya tidak. Ia tertawa, padahal hatinya menangis. Ia ceria seakan tanpa beban, sebenarnya ia sekarat.

Ia seorang eccedentesiast. Ia menyembunyikan rasa sakitnya dibalik senyumannya. Ia mencoba bertahan ketika seluruh dunia telah menjauh. Ia tetap tegar meski harapannya telah hancur. Ia tetap menampakkan kebahagiaan, meski ia sudah tak punya alasan untuk hidup lagi. Ia hidup dalam keputus-asaan. ia hidup dalam kesedihan. Tapi ia tetap tesenyum. Ia tetap menjalani harinya dengan senyuman. Palsu memang, tapi setidaknya ia berhasil tersenyum. Bukankah itu lebih baik daripada ia terus menangis dan mengutuk hidupnya? Ia berhasil, tersenyum diantara tangisnya.

Seorang eccedentesiast bukanlah orang munafik. Bukan. Ia hanya berusaha tersenyum, berusaha bahagia dengan dunianya yang kelam. Tak ada yang mengerti, bahkan aku, mengapa dia, seorang eccedentesiast melakukan itu.

"Aku lupa kapan terakhir kali aku tersenyum dari hati," lirihnya. Ia bangkit, mengatur posisi duduk dan kembali menghadapku.

Aku hanya diam, memperhatikan apa yang akan dilakukannya kemudian. Ia semakin mendekatkan dirinya padaku. Ia mengulurkan tangannya dan menggamit kedua lenganku. Jemari kami bertemu, menggenggam dan menutup antara celahnya.

"Aku juga lupa kapan terakhir kali aku menangis," lanjutnya.

Tubuhnya semakin dekat. Aku yang semula duduk mulai mencondongkan diri ke belakang, mencoba menahan berat tubuhnya. Ia semakin dekat dan aku tak kuasa menahan keseimbanganku lagi. Ia mendekapku erat hingga aku terjatuh, tertidur di hamparan rerumputan. Gelap.

Ku buka mataku perlahan. Langit sore dengan warna jingganya masih tetap memancarkan keindahannya. Awan tipis juga masih tetap bergerak ke arah barat. Namun ia tak ada. Ia tak pernah ada. Aku sendirian di taman ini. Sejak tadi. Aku tersenyum dan tertawa kecil. Akulah si eccedentesiast itu.



Monday, April 22, 2013

Senja


"If we meet and know each other, it must be there something good ahead, so thankful"



Aku masih duduk termangu di tepi dermaga. Menatap senja dengan sedikit memicingkan mata. Meski tak lagi sekuat tengah hari, namun cahaya matahari masih menyilaukan mataku. Kakiku yang telanjang tanpa alas kaki kini kubenamkan ke dalam air. Seketika air laut itu menggelitikku dengan sapuan manjanya. Hangat, damai, sunyi.

Kubuka kembali sebuah buku catatan yang selalu aku bawa kemanapun aku pergi. Sebuah catatan yang penuh akan tulisan tanganku sendiri. Di halaman pertamanya terdapat sebuah foto dua orang remaja yang saling tersenyum renyah. Aku tersenyum memandangi foto itu. Ku arahkan telunjukku, menyusuri salah satu wajah yang terdapat di foto itu, seakan aku sedang mengelus wajah asli pemiliknya. Sepasang mata yang bening, hidung mancung, senyum manis yang sempurna.

"Pasti Tuhan menciptakanmu dengan hati riang, Tuan," gumamku. Ku balik lembaran catatan itu, membaca halaman berikutnya.

Once upon a time..
Begitu kalimat pertama yang tertulis di halaman itu. Aku mengerutkan dahi dan mengingat-ingat kembali bagaimana aku dulu begitu bingung dalam memilih kata yang tepat untuk memulai cerita ini; kisah kita.

Aku tertawa. Ingatanku telah menyeretku ke beberapa waktu silam, dimana semesta telah menautkan benang merahnya di jariku dan jarimu, hingga kita tak sengaja berkenalan, bertemu, dan berteman dengan absurd dalam kemayaan.

Ku baca kata demi kata yang tertulis di buku itu. Aku terdiam, tertawa, menggerutu, tersenyum, menangis. Tak kusangka, buku sederhana itu telah menuliskan kisah kita dengan banyak guratan emosi di dalamnya. Seperti sebuah proyektor, satu persatu sketsa kejadian yang aku lalui bersamamu terputar ulang. Semua hal pahit-manis tergambar jelas disana. Semakin aku membalik halaman, semakin aku membaca kisah itu, bayangmu semakin muncul, membesar, seakan ingin melonjak keluar dari otakku.

Halaman terakhir terbuka. Masih bersih dan kosong, belum terusik setitik tintapun. Ku ambil sebuah pulpen yang aku selipkan di saku bajuku sejak tadi. Ku lemparkan pandanganku ke ufuk barat. Matahari kian sembunyi, kembali ke haribaannya. Semburat cahaya merahpun kian berhamburan di bawah kaki langit. Awan-awan tipis mulai kehilangan dirinya, tersapu angin malam yang meliuk-liuk diantara udara senja.

Ku tarik napas agak dalam, lalu membuangnya dengan cepat. Segores tinta mulai mengotori halaman itu. Dengan penerangan alam seadanya, ku coba membuat sebuah cerita terakhirku. Cerita yang akan menutup kisah ini.

Di awal, sebelum aku mulai memutuskan untuk membukukan kisah kita, aku berharap kelak akhirnya akan ada ending yang aku tulis dengan sebuah senyuman. Begitulah yang aku lakukan sekarang, aku tersenyum sambil merangkai kata demi kata yang kuharap akan indah bila suatu saat kamu menyempatkan waktu untuk membacanya. Namun mataku tak ikut tersenyum. Ada sebuah bulir air bening bernaung disana. Ku tahan sekuat yang kubisa agar ia tak jatuh dan membasahi kertasku. Namun seiring banyaknya kata yang kutulis, seiring itu pula ia meluap, dan akhirnya menetes deras, memburamkan tulisanku, tepat setelah aku menuliskan kalimat terakhirku, "The end.."

Kisahku telah usai. Suatu saat, bila kamu memintanya, aku akan izinkan kamu untuk membacanya. Namun sebelumnya aku minta maaf, kisah itu tak berakhir bahagia. Tak mengapa, kan?

Aku belum berniat untuk menulis di catatan baru lagi. Aku kekurangan cahaya. Matahariku telah tenggelam. Angin semakin kencang berhembus kearahku. Tak ada lagi langit senja atau burung yang terbang rendah menuju sangkar. Gelap malam mulai menyelimuti hari.

Aku masih betah bersandar di sebuah tiang di tepian dermaga. Menatap gelap. Sendirian. Menunggu pagi, yang mungkin membawa cahaya baru yang lebih hangat untukku..

Friday, April 19, 2013

Siap, Jendral!

Berbendi-bendi lampu di kapal
Mentros Cina mengangkat jati
Rajin-rajinlah engkau belajar
Agar tak menyesal di kemudian hari

Sewaktu aku kecil, jendral itu selalu menyanyikan bait lagunya buatku. Senyum riang akan selalu menghiasi wajahnya ketika irama lagu mulai dinyanyikan. Aku tertawa dan ikut bernyanyi bersamanya. Tak jarang, aku menggunakan piring kaleng sebagai drum dan sendok sebagai penabuhnya. Jika sudah begitu, sang jendral yang tak lain adalah kakekku akan berdiri dan menari dengan gembira. Sejurus kemudian, aku telah berada dalam gendongannya, sebelum akhirnya tubuh mungilku dilempar-lemparkan ke udara. Nenek yang menyaksikan seorang kakek tengah bermain bersama cucunya, ikut tertawa. Sesekali ia merasa gusar, takut kalau aku akan terlepas dari pegangan kakek.

"Hati-hati! Nanti kalau dia jatuh bagaimana?," seru nenek.

"Tenanglah. Aku seorang jendral. Tangan-tanganku ini cukup kekar dan kuat. Lagi pula, tak mungkin aku rela membiarkan cucu kesayanganku ini terjatuh karena kelalaianku."

****

Kakekku adalah seorang jendral. Dalam beberapa peperangan, ia selalu di tunjuk sebagai pimpinan kelompok yang ditugaskan untuk merebut kemerdekaan NKRI dari tangan para penjajah. Aku selalu senang setiap kali kakek mulai bercerita tentang perjuangannya di medan perang. Bom yang melayang kesana kemari, peluru yang lewat hilir mudik seperti angin, riuhnya suasana perang, semuanya digambarkan secara jelas dan nyata melalui cerita kakek yang begitu bersemangat.

"Dulu, ga ada senjata api yang canggih kaya' sekarang ini. Pasukan atok cuma pake senjata seadanya. Tapi dengan taktik yang tepat, atok sama kawan-kawan tu, berhasil memukul mundur para penjajah." Kata kakek dengan mata berbinar. Aku yakin, saat ia menceritakan itu, ingatannya kembali terseret pada beberapa tahun silam, ketika ia begitu gagahnya berjuang melawan para kompeni.

"Semua kawan Atok selamat, Tok?" tanyaku penasaran.

"Ndak lah. Ada beberapa kawan atok yang kalah di medan tempur. Tapi begitulah harusnya semangat bangsa, menang meski jasad tak kembali pulang!" Ku lihat beliau menyapu bulir air mata di sudut matanya. Mungkin ia merindukan teman seperjuangannya yang gugur di medan perang.

"Setelah perang terakhir itu, Pak Sukarno.. Kau kenal Pak Karno, kan?," tanyanya padaku di tengah ceritanya.

"Kenal lah, Tok. Presiden pertama kita itu, kan?," jawabku cepat, seolah tak ingin kehilangan cerita yang terputus oleh pertanyaan kakek.

"Pak Sukarno itu mengutus atok untuk memimpin kelompok dalam pembebasan Irian Barat." Kakek menyempurnakan kalimatnya.

"Woow! Keren, Tok! Trus? Trus?"

"Tapi atok ndak pergi.." Ia memelankan suaranya di akhir kalimat.

"Loh, kenapa Tok?" tanyaku yang kian penasaran.

"Nenek kau itu..," katanya seraya menunjuk nenek yang tengah melipat kain di ruang tamu, "tak dikasinya atok pergi. Takut dia atok ndak balik lagi ke rumah ni, gugur di medan perang sana. Padahal kalo atok pergi waktu itu, pasti nama atok udah tertulis di dalam buku sejarah kau itu." Aku hanya mengangguk dan tertawa seadanya.

"Tapi kalau atok jadi pergi, mungkin atok ndak akan pernah bisa melihat cucu secantik kau," tambahnya seraya mengusap kepalaku. Ia tertawa. Ku peluk tubuh kekarnya, ikut tertawa dalam dekapnya.

Sejak kecil hingga aku memasuki masa SMP, aku lebih sering tinggal di rumah kakek ketimbang di rumah orang tuaku. Ketika aku berumur 4 tahun, disaat aku harus hijrah ke kota tempat tinggalku yang baru, aku menangis sejadi-jadinya, tak ingin berpisah jauh dari kakek dan nenekku. Tapi setahun setelah itu, kakek dan nenek menyusulku, hingga akhirnya kami kembali bernaung di kota yang sama, Medan.

Aku menghabiskan masa SD-ku bersama kakek dan nenek dengan berladang di sebuah desa di pinggiran kota Medan. Seorang pemilik sawah mempercayai kakek untuk mengelola lahannya yang sangat luas menurutku. Jadilah aku seorang petani padi, seperti sang jendral itu.

Dikala musim tanam, aku suka membantu kakek menanam padi. Seringnya, aku malah bermain diantara semai padi, menangkap capung-capung kecil yang berwarna-warni. Di sore hari, aku membenamkan diriku di areal persawahan yang baru saja dicangkul sang jendral. Lumpurnya yang dalam membuat tubuhku tenggelam hingga sebatas lutut. Seluruh wajah dan badanku berlumuran lumpur. Dikala sang jendral selesai menanamkan bibit terakhirnya, ia akan membawaku ke sebuah tali air tak jauh dari area persawahan tadi, membuat sebuah air terjun kecil melalui sebilah bambu, lalu mengajakku mandi bersama. Airnya sangat jernih dan dingin namun cukup untuk menghilangkan seluruh lumpur dari tubuh kami berdua.

Di rumah, tepatnya sebuah gubuk kecil berdindingkan anyaman bambu dan beratapkan daun rumbia, nenek suka memasakkan kue untuk kami santap sembari melepas lelah setelah bermain di sawah seharian.

Ketika weekend tiba, buya dan umi yang tak lain adalah orang tuaku, suka mengunjungi kami, sekedar untuk membawakan makanan atau menjemputku pulang. Kalau mereka sudah datang, kegiatan rutin yang sering kami lakukan adalah memancing. Kakek punya beberapa kolam ikan mas dan ikan nila di ladangnya, yang mekanisme perairannya dikerjakan oleh alam melalui aliran tali air.

Di dataran kering, kakek memanfaatkannya sebagai ladang nanas, cabai dan sirsak. Kalau matahari sedang terik, aku suka memanjat pohon-pohon sirsak itu untuk merasakan semilir angin atau sekedar bersantai sambil memetik buah sirsaknya. Aku hanya suka memetiknya, bukan memakannya. Bagiku, buah yang katanya menjadi obat ampuh untuk berbagai penyakit itu, hanyalah sebuah buah putih yang rasanya asam. Aku sama sekali tak menyukainya.

Terkadang kakek mengajakku memancing belut. Pernah suatu ketika, aku melihat seekor hewan melata berenang landai diantara lumpur. Aku kira hewan itu adalah belut, tapi kakek bilang itu ular air. Untung saja kakek tak sempat menangkapnya dengan tangan telanjang kakek. Kalau tidak, mungkin ceritanya akan berbeda.

****

Bertahun-tahun berlalu dan aku mulai sibuk dengan kegiatan sekolahku. Aku sudah jarang menginap di rumah kakek. Seiring berjalannya waktu, tubuh sang jendral kian renta dan tak lagi mampu menangkal segala penyakit. Beliau akhirnya menyerahkan kembali ladang yang dikerjainya bertahun-tahun kepada pemiliknya, dan memilih tinggal di rumahku.

Memasuki masa SMK, aku melihat sang jendral lebih sering terbaring di tempat tidur. Ia sudah tak sekuat dulu, ketika ia masih berjaya dengan gelar jendralnya. Yang kulihat kini hanyalah seorang pria tua yang terbaring lemah, berusaha melawan segala penyakit komplikasi yang menyerang tubuhnya.

Ia adalah seorang jendral yang mampu mengalahkan beribu pasukan penjajah demi kemerdekaan bangsa, tapi tetap saja, gelar jendral itu tak mampu membuatnya menang mengalahkan segala penyakit yang kian hari kian menghancurkan pertahanan tubuhnya.

Tepat tiga hari sebelum aku merayakan wisuda kelulusanku, sang jendral gugur, menghembuskan napas terakhirnya. Di sebuah malam yang sepi, ketika kami semua terlelap, ia pergi dengan sebuah senyum yang tersungging di bibirnya. Tak ada kata perpisahan. Aku bahkan belum sempat memamerkan ijazahku padanya. Aku belum sempat membuatnya bangga, bahwa cucu mungilnya kelak akan sukses dalam peperangan hidupnya.

Kini, tak ada lagi lagu Bendi yang dulu sering kami nyanyikan bersama. Tak ada lagi seorang jendral yang akan menghardikku ketika aku nakal. Tak ada lagi seorang kakek yang bahunya selalu mampu menjadi sandaranku. Tak ada. Ia telah kembali pada Sang Maha. Nama sang jendral memang tak pernah tertulis di buku sejarah manapun, tapi namanya selalu terukir di hatiku. sangat jelas hingga aku takkan pernah bisa menghapusnya.

Selamat jalan, Jendral. Perjuanganmu telah usai. Kini giliranku, memperjuangkan hidupku dan mengalahkan segala hal yang menurut orang lain tak mungkin. Aku akan rajin belajar, seperti lagu Bendi yang engkau ciptakan dan selalu kau perdengarkan padaku.


****

Memasuki bait-bait terakhir, Suci jadi cengeng, Tok.
Maaf kalau suci menangis kala merangkai cerita ini.
Suci menulis ini karena suci merindukanmu..

Wednesday, April 17, 2013

Menggerutu



Sore ini hujan turun lagi, membuat jalanan di seluruh Jakarta tergenang air. Dengan keadaan seperti ini, aku memperkirakan bahwa di seluruh penjuru jalan akan terjadi kemacetan. Dan benar saja, jejeran kendaraan terlihat seperti antrean BLT ketika kulihat dari jendela kantorku yang berada di lantai 17.

"Sial! Macet lagi!", gerutuku dalam hati.

Aku segera mengenakan hoodie kuningku. Setelah memasukkan beberapa dokumen kantor ke dalam tas, aku bergegas menuju lift. Jalanku sedikit terhadang dengan beberapa bocah yang menyeruak menawarkan jasa ojek payung begitu aku tiba di lantai dasar. Aku mempercepat langkahku dan tak menghiraukan tawaran bocah-bocah lusuh itu. "Mengganggu jalan, saja!," pekikku dalam hati.

Beginilah Jakarta, kota yang sangat aku benci. Entah mengapa semua orang dari penjuru desa rela bersusah payah datang ke kota ini. Usaha yang sangat disayangkan, menurutku. Terlebih jika mereka mengadu nasib disini dengan mengandalkan otot, bukannya otak. Seperti para bocah ojek payung itu, yang rela basah kuyup demi selembar uang seribuan. Padahal kalau saja mereka berusaha di desanya, keadaan mereka takkan seburuk ini.

Ku percepat langkahku menuju jembatan penyebrangan. Rintik hujan semakin lebat. Ku rapatkan lagi hoodie-ku agar hujan tak membuatku semakin basah. Ku lirik seorang pengemis tua dengan mangkok kosongnya duduk termenung di pinggiran jembatan. "Dia juga sama saja. Bodoh!"

Ku sandarkan punggungku pada sebuah tiang penyangga atap shelter bis. Sembari menunggu bis, aku merogoh saku celana, mengambil sebatang rokok, menyalakan api dan mulai menghisapnya. Kulayangkan pandanganku ke penjuru kota yang kini mulai gelap.

Ternyata hujan membuat sore lebih cepat berganti malam. Lampu-lampu jalanan yang sedari tadi telah menyala membuat rintik hujan yang melewati cahayanya terlihat berpendar seperti kristal. Bunyi klakson yang diciptakan para pengendara motor terdengar saling bersahutan, menciptakan polusi suara yang sangat mengganggu pendengaranku. Beberapa dari mereka mulai menggunakan trotoar sebagai jalan agar mereka bisa menyalip kendaraan di depannya. Tak sengaja, seorang pengemudi melintasi genangan air yang menyebabkan cipratan ke arahku. Seketika celanaku basah oleh tingkah brutalnya.

"Woy! Pake mata dong. Ga liat ada orang disini?!," teriakku yang tentu saja diacuhkan olehnya. Pengemudi itu tetap dengan brutal melintasi trotoar dan menyelinap diantara pejalan kaki yang tengah bergegas menghindari hujan. Aku terus menggerutu sambil membersihkan celanaku seadanya.

"Tak usah kesal, Tuan. Memang seperti inilah keadaan Jakarta."

Aku mendengar seseorang sedang berbicara, namun entah kepada siapa. Kulirikkan mataku ke kiri dan ke kanan, mencoba mencari asal suara itu. Kudapati seorang gadis yang sedang berdiri di sampingku sambil memayungi dirinya.

"Lo ngomong ama gue?," tanyaku sambil mencoba mengintip sebuah wajah yang bersembunyi dari payung biru muda berornamen bunga itu.

"Jangan habiskan tenagamu hanya untuk menggerutu dengan keadaan ini," lanjut gadis itu kemudian.

Aku memperhatikan penampilannya dari bawah hingga atas. Ia mengenakan sepatu kets coklat muda yang terlihat basah karena hujan. Lalu diikuti dres bermotif bunga sepanjang lutut, motif yang senada dengan payung yang dipegangnya. Sebuah ransel berwarna abu-abu tersandang rapi di punggungnya. Rambutnya diikat seadanya. Tampak beberapa helai terlepas dari ikatan dan jatuh menjuntai diantara dagunya. Gadis ini cukup cantik menurutku. Ditambah suaranya yang renyah dan cara berbicaranya yang sopan.

"Yah, karena inilah gue benci Jakarta. Hanya kesemrautan yang selalu gue temukan disini. Orang-orang yang bertingkah seenaknya, seakan tak ada hukum yang berlaku disini." Aku menarik beberapa hisapan dari puntung rokokku dan membuat pola lingkaran dari asapnya yang ku hembuskan ke udara.

"sepertinya anda telah mengalami hal yang buruk, hari ini."

Gadis itu terus berbicara, namun tak pernah memutar arah hadapnya untuk membalik ke arahku. Ia terus saja menatap jalanan yang masih saja diisi dengan kemacetan dan rintik hujan.

Tebakannya benar sekali. Aku memutar ingatan, mengingat kembali kejadian-kejadian buruk yang aku alami hari ini. Mulai dari bangun terlambat karena aku harus lembur demi menyelesaikan deadline kantor, motorku yang rusak akibat di serempet sebuah mobil yang membuatku harus berjalan kaki hingga ke shelter terdekat, dan karena itu pula aku jadi ketinggalan meeting dan ditegur keras oleh atasanku. Makan siang yang tumpah karena seseorang yang ceroboh menabrakku saat di cafetaria, hingga akhirnya harus rela kecipratan air karena pengemudi motor yang tak bertatakrama. Semua kejadian itu membuatku semakin enggan tinggal di kota ini.

"Tebakan lo bener. Hari ini mungkin hari tersial gue. Dari pagi sampe malem, gue terus aja ngalamin kejadian-kejadian yang ngejengkelin banget. Contohnya ya ini, celana gue basah gara-gara pengemudi motor yang ugal-ugalan itu."

Ku dengar ia tertawa geli. Mungkin ceritaku terdengar lucu di telinganya. Namun itu membuat kekesalanku jadi agak mereda. Entahlah, aku suka ketika mendengar tawa lembutnya.

"Kenapa lo ketawa? Lucu ya?!"

"Bukan begitu. Aku hanya heran, mengapa anda bertingkah seolah-olah andalah manusia yang paling tak beruntung di muka bumi ini."

"Tentu saja. Emang gitu kok." Aku menceritakan padanya tentang kesialan apa saja yang telah menimpaku satu harian ini. Ada jeda yang panjang ketika aku selesai bercerita. Mungkin dia paham dan akhirnya akan menarik kembali kalimat yang telah ia ucapkan sebelumnya. Namun belum sempat aku membanggakan diri atas predikatku sebagai manusia tersial, ia mulai bersuara lagi.

"Di Turki, ada seorang anak yang rela terus terjaga sepanjang hidupnya. Sebab apabila ia lalai dan tertidur, jantungnya akan berhenti berdetak dan dia akan mati. Anda hanya melewatkan batas jam tidur anda beberapa jam hingga akhirnya anda terlambat bangun, dan dengan alasan itu anda menyebut diri anda sebagai manusia tersial. Bagaimana dengan anak itu? Ia sama sekali tak pernah mengeluh tentang penyakitnya yang sangat aneh itu."

Aku terdiam, menanggapi ceritanya dengan keheninganku.

"Sekelompok anak di Banten, rela menyeberang sungai berarus deras dengan bergelantungan di jembatan yang hampir roboh, demi bersekolah. Tidakkah anda bayangkan, bagaimana jika mereka tergelincir dan jatuh ke sungai? Anda hanya berjalan beberapa ratus meter ke sebuah shelter, lalu dari situ anda bisa duduk santai di dalam bis ber-AC hingga ke kantor anda. Apakah anda sesial itu, Tuan?"

"Hei itu berbeda. Rumah gue jauh banget dari jalan yang dilalui kendaraan umum. Ditambah gue yang terlambat bangun, trus ada meeting pagi, semua itu jadi suatu kesialan bagi gue. Bukankah lo juga bakal bete kalo lo ngalamin kejadian kayak gue?" Aku berusaha membela diri. Namun dia tak menggubris pertanyaanku.

"Anda lihat seorang ibu tua yang duduk disana, Tuan?" Gadis itu menunjuk ke arah jembatan penyebrangan yang tadi kulewati. Aku melihat seorang pengemis tua berbaju lusuh. Air mukanya terlihat begitu lelah dengan sesekali melirik mangkok kecilnya yang kosong tak terisi recehan dari para pejalan kaki yang melintasinya.

"Iya, gue liat. Ada apa dengan pengemis pemalas itu?"

"Kira-kira sudah berapa hari ia tidak makan, yah?" Aku terheran karena gadis di sampingku ini malah balik bertanya kepadaku.

"Mana gue tau. Emang gue tukang ngasi makan dia?!," jawabku sekenanya.

"Udah tiga hari," katanya kemudian. "Aku selalu memperhatikan nenek itu dari sini. Sesekali aku memberinya nasi bungkus bila aku sedang puasa. Ia tak punya sanak saudara, juga tempat tinggal. Di jembatan itulah ia tidur dan mencari makan. Udara dingin dan sengatan terik matahari adalah sahabatnya. Ia tak bisa beranjak pergi, kakinya lumpuh. Jika petugas Pol PP sedang beraksi, ia pasti ikut terciduk.."

"Kenapa dia ga balik aja ke kota asalnya, daripada memilih bersakit-sakitan di kota ini?" potongku di antara perkataannya.

"Ini rumahnya. Ia lahir dan besar di Jakarta. Dulu ia orang yang cukup berada. Namun setelah suaminya meninggal, ia ditelantarkan oleh anak-anaknya. Jadilah ia seperti sekarang ini."

"Oh, gitu? Trus hubungannya sama gue, apa?"

"Anda hanya kehilangan jatah makan siang anda. Itupun kalau boleh saya terka, anda meminta bantuan office boy untuk membelikannya. Sedangkan ia, untuk mendapatkan sesuap nasi saja harus rela kehujanan, tersengat sinar matahari, dicaci maki bahkan diperlakukan kasar. Apa pernah ia mengeluh? Seluruh waktu dan perkataannya ia gunakan untuk berdzikir, bukan menggerutu seperti anda."

Aku tersentak kaget. Memikirkan kembali tentang hidupku yang kurasa lebih baik dari orang-orang yang masuk ke dalam cerita gadis ini. Aku punya tempat tinggal yang cukup nyaman untuk kutinggali, aku punya kendaraan pribadi walau hanya sebuah motor, aku punya pekerjaan layak dengan gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhanku selama sebulan. Aku bahkan bisa menabung dari penghasilanku itu.

"Cobalah berpikir dari sudut pandang yang berbeda, Tuan. Maka anda akan lebih bisa bersyukur atas apa yang telah anda dapatkan."

Aku terdiam, mencerna setiap kata dalam kalimatnya dengan teliti. Menghubungkan setiap bait tuturnya dengan alur hidupku. Ya, harusnya aku tak perlu menggerutu tentang hari yang menyebalkan ini. Banyak sisi lain yang bisa aku jadikan sebuah kesenangan, daripada harus mempola pikiranku menjadi kesal dengan kejadian-kejadian buruk yang kualami.

Ku tarik hisapan terakhir dari puntung rokokku, lalu membuang puntungnya sembarang.

"Aku harap anda segera menghentikan kebiasaan anda untuk membuang puntung rokok yang masih menyala sembarangan, Tuan. Karena beberapa hari yang lalu, sebuah rumah terbakar habis karena kecerobohan seseorang yang membuang puntung rokok sesukanya. Akibat dari kelakuannya itu, seorang anak kehilangan orang tuanya, dan seorang adik kehilangan abang tercintanya."

Hujan telah berhenti. Gadis itu mengibaskan payungnya dari sisa air hujan sebelum akhirnya menutup payung itu dan menyimpannya ke dalam ransel. Sekilas kulihat luka bakar yang bernaung di leher dan sebagian lengan kanannya.

"Hujannya sudah reda, Tuan. Jangan terlalu lama berdiri disini, nanti anda bisa masuk angin. Aku pamit dulu, Tuan. Sampai bertemu lagi."

Untuk pertama kalinya pandangan kami bertemu. Diantara cahaya lampu jalan yang temaram, aku bisa melihat wajah belianya yang tersenyum manis, cantik sekali. ku terka, ia masih berusia belasan tahun, namun pemikirannya melebihi aku yang hampir memasuki kepala tiga.

Dia lalu berbalik dan menghentikan sebuah taksi. Kupandangi terus taksi yang dinaikinya hingga menghilang di persimpangan. Tanpa sempat berkenalan atau sekedar mengucapkan terima kasih, aku terdiam, berdiri seperti orang bodoh yang baru saja bertemu malaikat. ku cari puntungan rokok yang aku buang tadi, mematikan apinya dan membuangnya ke tempat yang semestinya.

Aku kembali menyusuri jembatan penyeberangan itu sesaat setelah membeli dua bungkus nasi goreng. "Nek, mau makan bareng saya, ngga?," tanyaku pada sorang nenek, sang pengemis tua itu.

Bolehkah?



Bolehkah aku mengutuk takdir?
Yang dengan lancang mengaitkan benang merah
Sehingga aku dan kamu tak sengaja bertemu

Bolehkah aku mencaci takdir?
Yang membuat hatiku menggoreskan namamu di relungnya

Bolehkah aku menyalahi takdir?
Berharap kamu akan duduk di sampingku
Menatap senja di usia senja kita
Diantara hamparan dedaunan hijau di lereng pegunungan

Bolehkah aku meminta izin pada takdir?
Membaca halaman berikutnya dari kisah hidupku
Tentang aku, kamu, kita
Bolehkah?

Tuesday, April 16, 2013

Perspektif


Ada orang yang sibuk bersimpuh memperjuangkan cinta
Sedang di tempat lain ada orang yang tak kenal cinta
Karena sibuk memperjuangkan perut

Ada orang yang hanya menangisi masa lalu
Sedang di tempat lain ada orang yang bangkit
Dan memperjuangkan masa depannya

Ada seorang yang sempurna segala, mengutuk hidupnya sendiri
Namun di tempat lain, ada seorang cacat
Yang mensyukuri segala rintangan hidupnya

Ada yang suka mengeluh dengan gadget barunya
Sedang di tempat lain
Ada yang banting tulang demi menghidupi ketiga adiknya

Andai saja kita mau lebih bersyukur dan melihat sekeliling
Ada kebahagiaan yang bisa kita temukan
Ada senyum yang bisa kita dapatkan
Ada kemerdekaan hati
Ada kesederhanaan

Ubah sudut pandang
Ubah perspektif kita dalam menjalani hidup
Karena..
Hidup terlalu sia-sia
Bila kita hanya berdiri di satu sudutnya


Sabtu Malam Absurd


Gue ga pernah ngerasain apa itu malam minggu. Gue ga tau apa itu malam minggu, yang kata orang terasa lebih lama daripada malam-malam lainnya. Mungkin di malam minggu, panjang malamnya itu sama dengan satu kali Pluto berotasi mengelilingi matahari. Atau kayak lamanya Spongebob yang berusaha mendapatkan SIM-nya.

Gue cuma mengenal sabtu malam. Iyah, sebuah malam yang kegencet diantara hari sabtu dan hari minggu. Dulu, gue melewati sabtu malam gue dengan nonton film di laptop, atau sekedar dengerin musik lewat hape gue. Kalo lagi rajin banget, gue bakal tidur lebih awal agar malam itu segera berganti menjadi hari minggu dan gue bisa nonton film Doraemon. Hidup gue emang keren banget!

Semenjak gue dinobatkan jadi mahasiswa dan ketemu sama orang-orang yang kece parah, sabtu malam gue jadi makin absurd. Biasanya gue ama temen-temen ngelewatin sabtu malam kita dengan kegiatan-kegiatan yang produktif banget.

Kita suka nongkrong di sebuah warung nasi uduk kaki lima di dekat mall daerah Ciledug. Ini warung nasi uduk terenak yang pernah kita rasain, terlebih karena harganya emang pas banget ama kantong anak kuliahan. Kalo kita udah nongkrong di situ, rasanya ga mau beranjak sebelum makanan kita abis (yaiyalah). Dari yang tadinya warungnya sepi, trus rame, sampe sepi lagi, kita tetep betah nongkrong di situ hingga akhirnya kita harus bantuin ibu penjualnya nyusunin kursi karena warungnya mau tutup. Meski cuma warung pinggiran, tapi warung itu cozy banget dan bikin kita selalu kangen untuk kumpul bareng di situ lagi.

Di sebuah sabtu malam yang lain, gue sama temen-temen suka bikin acara film marathon, dimana kita bakal nonton banyak banget film yang kita sewa dari rental DVD. Acara ini biasanya kita mulai dari jam 10-an malem, dimana orang rumah udah pada tidur dan kamar udah cakep banget buat dikunci dan lampunya dimatiin. Sambil nonton film, temen yang selalu rela kamarnya kita berantakin biasanya suka bikinin kita kopi, beliin cemilan sampe ngepel-ngepel atap rumah. Kalo udah acara film marathon, orang yang paling awal tidur adalah gue. Kadang sebelum film pertama selesai di tonton, gue udah ngeloyor duluan ke alam mimpi. 

Di malam minggu yang lain, kita suka nongkrong berjam-jam di sebuah warung roti bakar dan susu jahe yang masih di daerah Ciledug juga. Kenapa kita doyan ngambil spot Ciledug? Ya karena kampus kita di daerah sana dan temen-temen pada bernaung di sana juga.

Jadi di warung roti bakar ini, kita bakal mesen seporsi roti bakar dengan ekstra taburan keju, juga segelas susu jahe dengan ekstra susu. Sebagai mahasiswa, kita ga mau rugi, tapi ngerugiin para penjualnya.

Ini juga spot yang cozy banget buat kita. Yang bikin tempat ini keren tuh, para pelanggannya di sediain tempat lesehan di depan emperan toko, beralaskan sebuah tikar. Jadi, semua pelanggan itu derajatnya dibikin sama. Ga ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Ga ada yang gengsi-gengsian takut kotor atau segala macam hal lainnya.

Kadang kalo isi dompet lagi tebel, kita suka main ke mall. Jadi anak gaul yang nongkrong di bioskop, makan di food court, nge-PUMP, atau sekedar nampang narsis di sebuah taman di Central Park.

Spot sabtu malam lain yang sering kita 'jarahi' adalah Lawson depan kampus. Dengan modal segelas minuman, kita udah bisa nongkrong dan manfaatin fasilitas Lawson sesukanya. Wifi gratis, TV gede, AC yang lumayan adem. Kita biasanya ngambil spot di lantai 2, di smoking area. Selain karena bisa nonton TV, di spot ini kita bisa ngerasain AC alam yang jauh lebih asik daripada AC ruangan.

Ngomong-ngomong soal Lawson, gue pernah punya pengalaman absurd bareng temen-temen di tempat ini. Kita pernah ketemu ama bocah kelas 2 SMA asal Semarang, yang entah bagaimana bisa nyasar sampe di Lawson Jakarta Barat. Kalo menurut ceritanya, doi main ke Jakarta buat nonton acara Dahsyat. Namun malang bunda mengandung, abis dari nonton acara itu, dompetnya ilang dan dia ga bisa pulang ke Semarang. Dia sendirian dan ga punya sanak saudara di Jakarta.

Kita sebagai mahasiswa yang baik hati, tidak sombong, gampang terenyuh dan iba langsung berinisiatif buat ngebantu anak ini. kita nyumbangin sejumlah uang dan ngasi tempat tinggal buat dia (sebut saja Rizky) buat ngelewatin malam di kos-kosan abang temen gue.

Besoknya, gue denger kabar kalo si Rizky ga ada di kosan abang temen gue. Usut punya usut, doi kabur sesaat setelah ditinggal temen gue pulang ke rumahnya. Mungkin doi takut sendirian atau emang ga mau tinggal di situ, gue ga tau. Sialnya, doi pergi sambil ngebawa kunci kos kamar abang temen gue ini. Dan berkat ulahnya itu, temen gue jadi ngeganti kunci pintu kamar dan kena sembur dari sang abang tercinta. Saat itu, gue cuma berharap si Rizky bisa balik ke Semarang dengan selamat, ketemu putri yang cantik jelita, nikah dan hidup bahagia selamanya.

Tapi ternyata harapan kita ga dikabulin Tuhan. Dua minggu setelah kejadian itu, kita dipertemukan lagi dengan Rizky, di tempat yang sama. Mungkin ini yang namanya jodoh. Pertemuan kedua ini penuh haru biru. Baik Rizky maupun gue dan temen-temen ngerasa kayak dikasi surprise yang sama sekali ga bikin seneng, tapi kesel. Kita yang mengira dia udah main kelereng di Semarang bareng temen-temen segengnya, ternyata masih keliling-keliling di daerah Jakarta. Entah apa niat yang terbersit di otaknya sehingga ia masih 'betah' berada di ibu kota, bukannya kembali ke rumahnya di Semarang. Berbagai kilah dia paparkan untuk menutupi kebohongannya. Rentetan introgasi yang kita layangkan tak urung membuatnya menceritakan hal yang sebenarnya.

Akhirnya, sabtu malam gue kala itu harus berakhir di kantor polisi. Bareng temen-temen, kita minta aparat negara tersebut untuk membantu Rizky pulang ke Semarang, agar tak ada korban kebohongan yang berjatuhan lagi. Semoga kali ini dia bener-bener pulang ke Semarang dan ketemu ama keluarganya. Kumpul bareng keluarga itu hal terindah, ketimbang kita harus luntang-lantung di jalanan yang keras, dingin, apalagi sampai ngebohongin orang-orang. Gue cuma berharap kalo Rizky baca tulisan gue ini, dia bisa lebih menghargai apa yang dinamai ketulusan.

Sabtu malam gue emang selalu absurd. Selalu ada hal gila yang terjadi didalamnya. Meski gue ga pernah ngelewatin sabtu malam bareng pacar, meski gue cuma ngejalanin bareng temen-temen gue, tapi sabtu malam gue terasa lebih keren dan berkesan ketimbang malam minggu para couple diluar sana. Karena bagi gue, persahabatan itu diatas segalanya. Gue bisa ketawa lepas, menjadi diri gue sendiri, dan yang terpenting, gue ngerasa bebas dari belenggu masalah hidup ketika gue kumpul bareng mereka, sahabat-sahabat gue.

Karena meski kita bertengkar, meski kita berbeda pendapat, selalu ada tawa setelah itu. Ada peluk hangat, ada maaf, ada hati yang lebar terbuka, nerima kita apa adanya. Dan dalam persahabatan, ga ada sebuah kosa kata yang kita sebut "putus". Persahabatan, sebuah hubungan yang paling abadi. Dan gue bersyukur gue mempunyai hubungan itu.


Friday, April 12, 2013

Mandalawangi


Sendja ini, ketika matahari turun
ke dalam djurang - djurangmu
aku datang kembali
ke dalam ribaanmu, dalam sepimu
dan dalam dinginmu

walaupun setiap orang berbitjara
tentang manfaat dan guna
aku bitjara padamu tentang tjinta dan keindahan
seperti kau terima daku

aku tjinta padamu, Pangrango jang dingin dan sepi
sungaimu adalah njanjian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
tjintamu dan tjintaku adalah kebisuan semesta

malam itu ketika dingin dan kebisuan
menjelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
dan bitjara padaku tentang kehampaan semua

"hidup adalah soal keberanian,
menghadapi jang tanda tanja
tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
terimalah dan hadapilah"

dan antara ransel - ransel kosong
dan api unggun jang membara
aku terima itu semua
melampaui batas2 hutanmu,
melampaui batas2 djurangmu
aku tjinta padamu Pangrango
karena aku tjinta pada keberanian hidup



Puisi yang diciptakan oleh Soe Hoek Gie di lembah Mandalawangi

Friday, April 5, 2013

Try!


Memperjuangkanmu? Apakah tindakanku bisa sehebat itu? Aku terlalu takut. Terlalu nyaman dengan situasi ini. Aku pengecut?

Aku tak terlalu mengerti banyak tentang arti perjuangan. Seperti apa itu? Apa layaknya CaLeg yang berusaha menarik empati rakyat? Atau seperti pahlawan yang ingin memerdekakan negara? Entahlah. Aku hanya mencintaimu diam-diam, seperti yang selama ini ku lakukan.

Kamu pria asing yang ku kenal di lereng gunung Bromo. Jam 3 pagi. Stasiun kereta. Kamu ingat? Ya, gadis kucel yang begitu ingin menemuimu; aku. Bagaimana pertemuan pertama itu bagimu? Biasa sajakah? Sepertinya kejadian itu takkan melekat lama di otakmu. Aku mengerti, aku bukan orang sehebat itu, yang mampu menyita segenap ruang di pikiranmu. Bagaimana mungkin aku bisa menyentuh hatimu?

Kamu pria luar biasa. Aku menyukai siluetmu yang tercipta kala sinar matahari pagi menyentuh wajahmu. Aku bahkan lebih menyukai itu daripada keindahan sempurna yang membentang di seluruh penjuru Bromo. Mungkin kamu menyadari, aku lebih memerhatikanmu daripada gunung itu. Tapi kamu terlalu cuek, dan membiarkanku terus saja mencuri pandang; tersenyum sendirian.

Aku suka mata beningmu, yang kutangkap di pinggiran sungai Brantas. Ketika pandangan kita pertama kali bertemu. Pancaran itu lebih indah dari ribuan cahaya yang memantul di aliran sungai. Lembut namun tegas. Aku juga suka kantung jaket yang kamu kenakan. Ia melindungiku dari dingin. Begitu juga genggaman jemarimu. Mungkin kamu lupa, namun aku masih ingat semua itu.

15 September 2012. BBM pertamamu mencuat dari balik ponselku. Hanya sepenggal kata, "Hai." Siang hari, panas terik, dan seorang asing terus saja melontar pertanyaan tentang kotaku. Bukankah itu mengesalkan? Lebih mengesalkan lagi, aku jadi mencintai perkenalan absurd kita. Jabat tangan yang terjalin di dunia maya.

Kamu heran? Kurasa. Bagaimana mungkin aku bisa mengingat setiap detail tentangmu? Entahlah. Aku hanya memiliki ingatan yang sedikit lebih kuat di setiap memori yang berlabelkan namamu. Mungkin di otakku terdapat sebuah rak besar yang isi setiap filenya adalah tentangmu.

Apakah kamu mengerti? Rasa ini, hanya tertuju padamu. Aku begitu tololkah? Aku bahkan tak ada di pikiranmu. Aku terlalu gilakah? Mengagumimu dengan sangat. Menyayangimu tanpa pernah meminta pamrih. Menyelipkan bayangmu di sela sibukku. Ku rasa kamu takkan pernah melakukan itu padaku. Namun biarlah. Aku menyukai sekelebat rasa ini. Rasa yang takkan pernah sampai di telingamu. Rasa yang mungkin takkan juga muncul di hatimu.

Mengapa rasa ini begitu bodoh? Aku bahkan tak tahu perasaanmu padaku. Cintakah? Atau kamu hanya menganggapku orang asing yang kamu temui di sebuah persimpangan hidupmu? Mengapa aku begitu menjadikanmu seseorang yang paling berarti di hidupku? Tolol! Yah, itu aku. Namun bukan rasa ini. Tak ada kata tolol dalam sebuah perasaan yang tulus, kan?

Langkah apa yang harus aku lakukan selanjutnya? Memperjuangkan cinta ini? Memberitahumu betapa aku sangat menyayangimu? Haruskah? Salahkah aku bila hanya berdiri di titik ini? Sebuah tempat dimana kamu takkan pernah bisa melihatku. Namun aku bisa dengan jelas menatapmu. Kamu, orang asing yang dengan mudah mencuri hatiku.

Thursday, April 4, 2013

Harlem Shake

Hari ini kayaknya gue banyak banget bikin postingan. Hahaha..
Kali ini, gue mau ngeposting  tentang klub yang sedang gue geluti, KFB alias Komunitas Fotografi Broadcasting. Ini klub yang berisi anak-anak pecinta fotografi, yang didirikan khusus untuk anak PKK Universitas Mercu Buana.


Ada apa sih kok sampe ngepost soal KFB?

Jadi ceritanya kemarin, tanggal 30 Maret - 2 April 2013, KFB ngadain pameran fotografi yang bertemakan "Lensa Jakarta". Ada sekitar 50-an foto yang dipamerin disana, karya anak-anak KFB.

Nah, abis dari acara pembukaan di hari pertama pameran itu, sorenya muncullah sebuah ide gila *nabuh drum*. Anak-anak KFB berniat bikin video Harlem Shake. Iya, Harlem Shake! (Di ulang biar dramatis).

So, gue ga mau nyerocos panjang lebar, here it is, Harlem Shake versi Komunitas Fotografi Broadcasting..

KFB Harlem Shake

Cekidot, guys !

Bintang


Bintang..
Aku mengagumimu dalam diam heningnya malam
Mengagumimu dengan bentangan jarak
Tak ingin mendekat
Tak ingin mencoba mengerti

Dibalik sekelebat kepulan gelap malam
Kamu selalu terang
Hatiku selalu girang
Mengagumimu dalam diam

Kemelut cahaya putih kecil
Berkelip ramah menyeka kegelapan
Terang, gemilang, indah

Aku menengadah
Mencarimu dibalik awan kelam
menemukanmu; harapanku tiap malam

Aku cuma pengagummu
Yang hanya bisa mencipta sajak sederhana

Aku cuma pengagummu
Yang hanya bisa memandangimu dari jauh

Aku hanya pengagummu
Yang mengagumimu dengan hati tulusku

Aku hanya pengagummu
Hanya pengagum setiamu
Aku tak berharap banyak; bisa lebih dekat denganmu

Bersinarlah di tiap malamku
Biarkanlah aku menulis sajak untukmu
Itu cukup
Bahkan sangat cukup buatku

Bintang..
Tetaplah disana
Bersinarlah seperti yang seharusnya
Akupun kan tetap disini
Menatapmu jauh dari balik bumiku






Waktu nulis ini, yang muncul di pikiran aku; kamu, inspirasiku.
Kamu, bintangku.
Maukah selamanya bersinar di hatiku?
Menemaniku dari gelap dan misteriusnya kehidupan?

4413


Hai 4 april, senang masih bisa ketemu kamu lagi. Aku makin tua, jatah umurku di bumi makin berkurang. Namun kamu masih tetap mempesona. Tetap menciptakan banyak senyum ramah dan doa yang terapal dengan tulus. Kehadiranmu tetap membawa kebahagian, terutama untukku.

Lilin di kueku sekarang jadi 19 buah. Bersinar bagai harapan yang akan kumuaikan ke udara, menyentuh awan, mencapai langit, menjadi nyata.

Ini tahun kedua, aku bertemu kamu tanpa keluarga. Aku sangat ingin membawamu di tengah-tengah keluargaku lagi. Seperti yang selalu kita lakukan dulu. Hanya perayaan sederhana, terdiri dari kamu, aku, umi, buya, adek-adek dan nenek. Itu saja. Namun terasa istimewa. Buya yang selalu mengadahkan tangan, mengucap doa-doa yang begitu lembut ku dengar, Umi yang selalu menghidangkan makanan-makanan terlezat buatan tangannya, adik-adik yang selalu memberi hadiah kecil yang begitu manis, nenek yang selalu tersenyum dengan air mata beningnya.

Namun seperti keindahan yang selalu kamu hadiahkan padaku, tiap kehadiranmu selalu mengesankan. Kali ini, dan seperti tahun lalu, kamu menjabat dengan baik keluarga kecilku yang ku temukan disini. Keluarga keduaku..


Selamat Ulang Tahun Buat Si Kembar

Happy birthday for this absurd twin. Dua anak manusia yang tak sengaja lahir bersama di tanggal 4 April 1994. Setelah lama berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing, akhirnya mereka di pertemukan di SMK Telkom Sandhy Putra Medan, belajar di kelas yang sama selama 3 tahun. Terharu.

Karena tanggal lahir aku dan Farid yang sama ini, jadilah kami dijuluki anak kembar. Sekilas, kita emang kelihatan kembar, kayak pinang di belah kampak. Kita cuma beda ayah, lain ibu. Dulunya kita sering ngerayain ulang tahun bareng, tapi setelah coret-coret baju SMK dan terpisahkan rentangan selat Sunda, kita akhirnya ngerayain dengan cara sendiri-sendiri.

Happy birthday, abang kesayangan. Suatu saat, di tanggal 4 April, semoga kita bisa ngerayain bareng lagi yah..

Sampai bertemu lagi, 4 April. semoga aku masih di beri cukup waktu untuk bertemu kamu di tahun-tahun berikutnya..

Monday, April 1, 2013

ALBIAN




"Albi masih belum ngubungin lo?"

Aku hanya menggelengkan kepala.

"Sini deh hape lo. Gue mau ngubungin dia." Chika berusaha merebut hp yang sejak tadi kugenggam.

"Eh, jangan! Jangan!" Aku berusaha menyembunyikan hp-ku dari jangkauan Chika. "Mungkin dia lagi sibuk banget.."

Chika menyerah karena tak berhasil merebut hp-ku. Ia lalu menjatuhkan diri di kasur.

"Udah seminggu loh, Bian. Bukan satu atau dua hari lagi."

Aku ikut merebahkan diri di kasur, tepat di samping Chika.

"Gue ga ngerti deh ama lo. Kenapa lo bisa tahan pacaran sama cowo secuek itu?!"

"Dia ga cuek, kok," belaku. "Kan udah gue bilang, mungkin dia lagi sibuk banget, makanya ga bales sms atau telpon balik gue."

"Mungkin? Haha. Sampe kapan lo menerka-nerka apa yang sebenarnya belum tentu kayak gitu? Siapa tau dia disana lagi.."

"Chik..!" Aku berusaha memotong perkataannya. Aku benar-benar tak ingin tau apa yang akan diucapkannya selanjutnya. "Gue percaya Albi, oke?!"

"Gue cuma ga tega ngeliat lo gini. Terus-terusan menanti kabar dari dia yang tak kunjung hadir."

"Kalo karena ini aja gue kalah, berarti cinta gue cemen, dong?" Aku menatap Chika, berusaha mengisyaratkan bahwa aku baik-baik aja. Aku lega karena sahabatku itu percaya padaku. Ku alihkan pandangan ke arah lain. Ada bulir hangat yang tiba-tiba saja mengalir tanpa permisi dari pelupuk mataku.

****

Kring.. Kring.. Kring..

Hapeku tiba-tiba berbunyi. Serentak, aku dan Chika terduduk dan segera melihat layar.

"Albi.. Albi..!" Sorak soraiku dalam hati.

Namun euforia itu harus segera ku hentikan, karena telpon itu bukan dari Albi, seperti yang ku harapkan.

"Siapa?" Tanya Chika penasaran.

"Vano.." Aku melongos lesu. "Gue angkat ga nih?"

"Angkat aja, angkat!" Chika yang mendengar nama Vano di sebut langsung berubah girang. Betapa tidak, Vano adalah pria yang di kagumi semua cewek di kampusku, termasuk Chika. Baginya, pria itu begitu sempurna. Tinggi, putih, pintar, memiliki senyum yang sangat manis, dan yang paling penting, dia pecinta fotografi, seperti Chika.

Namun bagiku, dia pria yang menyebalkan. Sebenarnya ia tak seburuk itu, hanya saja, dia begitu menginginkanku untuk menjadi kekasihnya. Aku heran, mengapa dari semua cewek cantik yang ada di kampus, dia malah memilihku; gadis yang tak punya keistimewaan apapun.

"Halo?!" Akhirnya aku mengangkat telponnya.

"Hai Bian, ini gue, Vano." Katanya di ujung suara.

"Iya, gue tau!" Jawabku ketus. "Ngapain lo nelpon? Sepatu lo ilang lagi? Apa pulpen lo kebawa gue lagi?"

"Emm, engga kok. Kali ini hati aku yang ilang." Dia mulai mengeluarkan bius mautnya. Aku hampir saja akan menutup telpon ketika dia mulai berbicara lagi.

"Eh.. Eh.. Jangan di tutup, dong. Gue cuma becanda, kali."

"Becanda lo garing, Van."

"Yaudah, sori. Gue ga akan becandain lo lagi deh. Betewe, liat ke luar jendela deh."

"Buat apa?"

"Udah liat aja."

Aku menatap Chika. Kedua tangannya di tadahkan sejajar bahu sebagai isyarat bahwa dia berkata "apa?"

"Vano nyuruh gue ngeliat keluar jendela." Kataku setengah berbisik.

"Hah?", Chika terbelalak, kemudian tersenyum. "Yaudah sono liat keluar jendela." Ia mendorong-dorong punggungku.

"Aduuuh, tu anak pasti mau ngelakuin yang aneh-aneh lagi deh."

"Egepe dah. Buruan liat."

Dengan berat hati sambil di dorong-dorong Chika, aku berjalan keluar jendela. Ku lihat Vano sedang berdiri di depan mobilnya.

"Tuh kan.. Ngapain coba dia kesini?!"

"Hai Vanoo!" Chika yang tak menggubris omonganku melambaikan tangan ke arah Vano yang langsung di balas olehnya.

"Hai Chika." Sapanya tak kalah ramah.

"Ngapain lo kesini?", tanyaku sambil berteriak dari balkon kamar lantai dua.

"Lo turun deh. Ga enak ngobrol sambil teriak-teriak gini."

Setelah berdiskusi alot dengan Chika, akhirnya aku turun dan menemuinya. "Ngapain sih lo kesini?"

"Temenin gue hunting foto dong," Pintanya lembut.

"Engga ah, gue sibuk!"

"Please, gue ga ada temen nih."

"Kenapa lo ga ngajak temen-temen lo yang lain aja?"

"Gue pengennya sama elo."

"Kenapa harus gue?"

"Entahlah, gue ngerasa nyaman aja kalo jalan sama lo. Plis jangan tolak yah.." Vano melipat kedua telapak tangannya di depan dada, memohon agar gue mau menemaninya.

Aku berpikir sejenak, menatap hapeku yang tak kunjung berdering; tak ada kabar darinya. "Yaudah, gue temenin."

"Yes!", ia mengepalkan tangan pertanda senang.

Sesaat kemudian, aku sudah berada di dalam mobil Vano. Chika menolak ku ajak dan lebih memilih pulang. "Gue ga mau ganggu kalian," katanya.

"kita mau kemana nih?", tanyaku membunuh keheningan yang sejak tadi kami ciptakan.

"Lo suka bintang, kan?" Tanyanya yang terus menatap jalanan senja Jakarta.

"Lo tau darimana?"

Vano tersenyum tipis. "Gue bakal bawa lo ke suatu tempat dimana lo bisa melihat bintang lebih dekat."

Aku tertawa kecil. "Mustahil bisa ngeliat bintang dari langit Jakarta."

"Siapa bilang kita bakal ngeliat dari langit Jakarta?"

Aku menatap wajah Vano dengan penuh penasaran. Ia melirikku sebentar, menebar senyumnya yang selalu sukses membius para wanita, lalu kembali fokus menatap jalanan. Vano memutar setir mobilnya ke arah jalan tol dalam kota. Aku bertanya-tanya, kemana ia akan pergi membawaku?

Aku kembali menatap layar handphoneku yang tetap tak bergeming. Entah mengapa, aku begitu berharap bahwa pria yang sedang menyetir di sampingku adalah Albi, bukan Vano. Aku berharap orang yang mengajakku melihat bintang adalah Albi, bukan Vano.

Tiba-tiba perkataan Chika tadi melintas di pikiranku.

"Udah seminggu yah?," tanyaku dalam hati.

Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku dan Albi saling tertawa, meski hanya lewat tulisan. Aku begitu merindukan sosok pria itu. Pria yang selalu muncul dan mengganggu pikiranku setiap saat, bahkan di saat tersibukku sekalipun.

Dalam pengabaiannya, aku mencoba mengerti. Masa depan adalah segalanya baginya, dan aku hanyalah pelengkap kecil yang mungkin tergeser dari sebuah tempat di otaknya. Aku mendukung mimpi-mimpinya sepenuhnya. Aku meyakini satu hal, saat ia merindukanku, ia pasti kembali; meski entah kapan.

Ku lihat rambu lalu lintas bertuliskan "Bosscha" baru saja kami lewati.

"Bosscha?"

"Yup. Observatorium terbesar di Asia Tenggara..", terang Vano sambil membelokkan mobilnya ke arah pintu masuk wilayah peneropongan bintang itu. 

Aku tertegun tak percaya. Bosscha adalah salah satu tempat yang sangat ingin aku datangi. Dan kali ini, aku benar-benar berada di Bosscha.

"Cuaca malam ini lumayan cerah, yah." Katanya saat kami memasuki gedung observatorium itu.

"Iya..", jawabku seadanya.

Vano lalu membawaku ke ruangan utama, dimana teleskop Zeiss berada. Milky Way, Orion, dan rasi bintang lain dapat ku lihat dengan jelas. Bintang yang seringnya hanya ku lihat seperti titik-titik kristal yang berkelap-kelip di langit malam, kini terlihat lebih besar, lebih jelas, dan lebih indah.

"Kamu beruntung banget, malam ini komet Halley bakal melintas di langit Bandung.."

"Serius??" Aku tersenyum sangat senang. Ku pandangi setiap sudut langit dari teleskop Zeiss. Hatiku tak berhenti mengagumi setiap seluk langit yang ku lihat. Semuanya begitu sempurna.

"Gimana lo bisa tau kalo gue suka banget sama bintang?" Ku lepas perhatianku dari bintang, kemudian menyorot matanya dengan penuh tanya.

"Gue juga tau makanan favorit lo, buku favorit lo, bahkan film kartun yg paling sering lo tonton."

"Chika?" Pertanyaan itu berhasil merubah raut mukanya. "Jadi, Chika yang ngasi tau lo semua hal tentang gue?"

"Lo jangan marah ke dia. Gue yang maksa dia buat cerita semua tentang lo."

"Apa sih niat lo ngedekatin gue?"

"Gue sayang sama lo, Bian.." Vano tiba-tiba berlutut di depanku, mengulurkan tangan kanannya. "Please, be my girl."

"Apaan sih lo, Van? Norak tau ga?! Berdiri gih."

"Gue ga bakal berdiri sampe lo ngejawab proposal gue tadi."

"Lo mau jawaban? Sorry, gue ga bisa terima lo jadi cowo gue." Mataku terasa panas. Aku berusaha agar air mataku tak jatuh malam ini. Aku memalingkan wajahku dari hadapannya.

"Karena Albi?" Ia berdiri, menatapku dengan serius.

Aku berbalik arah dan membalas tatapannya dengan tatapan kesal.

"Tau apa lo soal Albi?" Ku dengar nada suaraku meninggi, namun aku tak berusaha untuk menurunkannya. Aku merasa pria di depanku ini sudah terlalu lancang untuk memasuki kehidupanku.

"Apa yang lo harapin dari cowo kayak gitu? Apa yang lo harapin dari hubungan LDR lo yang terlalu dingin, Bian?"

Ingin rasanya aku menampar Vano, namun aku mengurungkan niatku. Aku tak mau keadaan semakin mengendalikanku untuk melakukan hal-hal yang tak ku inginkan.

"Bian, buka mata hati lo. Ada gue disini, yang lebih nyata, yang bisa ngebahagiain lo. Gue bukan sebuah handphone dingin yang tak memunculkan kabar lebih dari seminggu. Gue bukan deretan tulisan ataupun suara semata. Gue bukan bayangan, gue nyata, seseorang yang bisa selalu hadir di samping lo bahkan di hari-hari terberat lo.." Vano menggenggam tanganku. Rasa hangat dari sentuhan jemarinya merasuk hingga seluruh penjuru hatiku. Namun aku segera melepaskan genggaman itu sebelum aku benar-benar terjatuh ke dalam zona nyaman.

"Sorry, Vano, gue ga bisa. Gue sayang sama Albi.." Lirihku. Kini air mata benar-benar telah membasahi pipiku.

"Apa sih kurangnya gue, Bian?"

Aku menggelengkan kepala. "Lo ga kurang apapun. Lo bahkan mendekati sempurna, Vano. Lo pinter, lo tampan, lo kayak bius yang bisa taklukin siapapun cewe yang lo mau.."

"Kecuali lo." Potongnya.

Ku tatap mata beningnya dalam-dalam. "Kenapa lo pilih gue?"

"Karena lo ga bisa ngelepasin Albi dari benak lo. Karena lo punya sayang yang begitu tulus buat Albi. Karena lo begitu mempertahankan Albi walau segala hal menentang tindakan lo. Karena keteguhan lo itu, gue berharap gue bisa mendapat posisi seperti Albi di hati lo."

"Lo ngerti perasaan gue, kan? Gue ga peduli meski ada jutaan cowo kayak lo yang berusaha miliki hati gue, karena hati gue udah memilih Albi. Albi segalanya buat gue. Dia semangat gue, dia inspirasi gue. Gue ga peduli meski sekarang gue ga tau gimana kabarnya, karena gue yakin dia bakal baik-baik aja. Gue cuma berharap kebahagiaannya, dengan ataupun tanpa gue. Mungkin lo mikir kalo gue adalah cewe tolol yang pertahanin hatinya buat seorang cowo yang mungkin ga akan bertindak sama kayak yg gue lakuin ke dia." Sial, air mataku mengalir semakin deras. Aku tak berharap hal ini terjadi, terlebih di depan Vano.

"Tau ngga, Bi?" Vano menyerahkan sapu tangannya dan berusaha menghapus air mataku. Namun sekali lagi, aku mengelak. "Andai gue tau dimana Albi sekarang, gue pengen nyamperin dia dan bilang kalo dia cowo paling beruntung karena bisa memiliki hati lo."

Aku tersenyum dan menghapus air mataku.

"Dan dia cowo paling bego, karena udah mengabaikan cinta yang tulus dari lo." Aku tertawa kecil mendengar perkataannya. Lalu ada hening panjang yang menyelinap diantara pembicaraan kami.

"Eh, liat! Komet Halleynya melintas!" Vano yang sudah berada di depan teropong langsung menarik lenganku. Ku tempelkan mataku tepat di view findernya. Komet Halley beserta ekornya yang panjang terlihat keren banget saat melintasi langit Bandung.




Aku sangat berterima kasih pada Vano, karena dia selalu ada di sampingku, meluangkan waktunya hanya untuk membuatku tersenyum, membuatku melupakan kesedihanku sejenak. Namun sayang, aku ga bisa, ga kan pernah bisa menyisakan ruang di hatiku untuknya.

"Aku bahagia kalo kamu bahagia, Bian." Bisiknya, disaksikan jutaan cahaya bintang di langit kota Bandung.



****

Sesampainya di rumah, aku kembali mengecek hapeku, berharap ada notifikasi dari Albi. Namun lagi-lagi, nihil. Ku tekan nomornya yang sudah ku hapal diluar kepala, lalu terdengar nada sambung mengalun.

Aku baru saja ingin berkata halo ketika mailboxnya menderu di telingaku.

"Hai, ini Albi. Kalo kalian denger nada ini, tandanya gue lagi sibuk banget. Tinggalkan pesan setelah bunyi beep.."

Aku menarik napas panjang, dan mulai berbicara.

"Bi, aku ga pernah minta apapun sama kamu. Aku ngerti dengan kesibukanmu yang super itu. Tapi kali ini aku mohon kabulin satu permintaan aku. Aku ga minta kamu untuk hadir di samping aku, karena itu mustahil buat kita. Aku cuma minta kamu luangin sedikit aja waktu kamu buat aku. Ingat aku di sela kesibukan kamu. Aku kangen di ledekin kamu lagi, di cerewetin kamu lagi. Aku kangen ketawa bareng kamu lagi. Cuma 5 menit dari 24 jam-mu, Bi. Boleh, kan?"

Aku mematikan telponku dan menjatuhkan diri ke kasur. Memandangi penjuru kamar yang terasa begitu sepi. Hanya bayangnya, selalu bayangnya, yang berusaha ku genggam agar tak hilang dari ingatanku.

****


Buat kalian, aku minta maaf karena telah lancang merasuki pikiran kalian dengan bayanganku,
tak sengaja mengizinkan hati kalian menyisakan sedikit tempat untuk menuliskan namaku.
Aku sungguh minta maaf karena ngga bisa berkata YA atas pertanyaan kalian.

Buat kamu, apa kabar kamu? Masih sibuk mendesain masa depanmu? Jaga kesehatanmu yah.
Aku masih disini, menunggu kepulanganmu; ke hatiku..