Friday, April 19, 2013

Siap, Jendral!

Berbendi-bendi lampu di kapal
Mentros Cina mengangkat jati
Rajin-rajinlah engkau belajar
Agar tak menyesal di kemudian hari

Sewaktu aku kecil, jendral itu selalu menyanyikan bait lagunya buatku. Senyum riang akan selalu menghiasi wajahnya ketika irama lagu mulai dinyanyikan. Aku tertawa dan ikut bernyanyi bersamanya. Tak jarang, aku menggunakan piring kaleng sebagai drum dan sendok sebagai penabuhnya. Jika sudah begitu, sang jendral yang tak lain adalah kakekku akan berdiri dan menari dengan gembira. Sejurus kemudian, aku telah berada dalam gendongannya, sebelum akhirnya tubuh mungilku dilempar-lemparkan ke udara. Nenek yang menyaksikan seorang kakek tengah bermain bersama cucunya, ikut tertawa. Sesekali ia merasa gusar, takut kalau aku akan terlepas dari pegangan kakek.

"Hati-hati! Nanti kalau dia jatuh bagaimana?," seru nenek.

"Tenanglah. Aku seorang jendral. Tangan-tanganku ini cukup kekar dan kuat. Lagi pula, tak mungkin aku rela membiarkan cucu kesayanganku ini terjatuh karena kelalaianku."

****

Kakekku adalah seorang jendral. Dalam beberapa peperangan, ia selalu di tunjuk sebagai pimpinan kelompok yang ditugaskan untuk merebut kemerdekaan NKRI dari tangan para penjajah. Aku selalu senang setiap kali kakek mulai bercerita tentang perjuangannya di medan perang. Bom yang melayang kesana kemari, peluru yang lewat hilir mudik seperti angin, riuhnya suasana perang, semuanya digambarkan secara jelas dan nyata melalui cerita kakek yang begitu bersemangat.

"Dulu, ga ada senjata api yang canggih kaya' sekarang ini. Pasukan atok cuma pake senjata seadanya. Tapi dengan taktik yang tepat, atok sama kawan-kawan tu, berhasil memukul mundur para penjajah." Kata kakek dengan mata berbinar. Aku yakin, saat ia menceritakan itu, ingatannya kembali terseret pada beberapa tahun silam, ketika ia begitu gagahnya berjuang melawan para kompeni.

"Semua kawan Atok selamat, Tok?" tanyaku penasaran.

"Ndak lah. Ada beberapa kawan atok yang kalah di medan tempur. Tapi begitulah harusnya semangat bangsa, menang meski jasad tak kembali pulang!" Ku lihat beliau menyapu bulir air mata di sudut matanya. Mungkin ia merindukan teman seperjuangannya yang gugur di medan perang.

"Setelah perang terakhir itu, Pak Sukarno.. Kau kenal Pak Karno, kan?," tanyanya padaku di tengah ceritanya.

"Kenal lah, Tok. Presiden pertama kita itu, kan?," jawabku cepat, seolah tak ingin kehilangan cerita yang terputus oleh pertanyaan kakek.

"Pak Sukarno itu mengutus atok untuk memimpin kelompok dalam pembebasan Irian Barat." Kakek menyempurnakan kalimatnya.

"Woow! Keren, Tok! Trus? Trus?"

"Tapi atok ndak pergi.." Ia memelankan suaranya di akhir kalimat.

"Loh, kenapa Tok?" tanyaku yang kian penasaran.

"Nenek kau itu..," katanya seraya menunjuk nenek yang tengah melipat kain di ruang tamu, "tak dikasinya atok pergi. Takut dia atok ndak balik lagi ke rumah ni, gugur di medan perang sana. Padahal kalo atok pergi waktu itu, pasti nama atok udah tertulis di dalam buku sejarah kau itu." Aku hanya mengangguk dan tertawa seadanya.

"Tapi kalau atok jadi pergi, mungkin atok ndak akan pernah bisa melihat cucu secantik kau," tambahnya seraya mengusap kepalaku. Ia tertawa. Ku peluk tubuh kekarnya, ikut tertawa dalam dekapnya.

Sejak kecil hingga aku memasuki masa SMP, aku lebih sering tinggal di rumah kakek ketimbang di rumah orang tuaku. Ketika aku berumur 4 tahun, disaat aku harus hijrah ke kota tempat tinggalku yang baru, aku menangis sejadi-jadinya, tak ingin berpisah jauh dari kakek dan nenekku. Tapi setahun setelah itu, kakek dan nenek menyusulku, hingga akhirnya kami kembali bernaung di kota yang sama, Medan.

Aku menghabiskan masa SD-ku bersama kakek dan nenek dengan berladang di sebuah desa di pinggiran kota Medan. Seorang pemilik sawah mempercayai kakek untuk mengelola lahannya yang sangat luas menurutku. Jadilah aku seorang petani padi, seperti sang jendral itu.

Dikala musim tanam, aku suka membantu kakek menanam padi. Seringnya, aku malah bermain diantara semai padi, menangkap capung-capung kecil yang berwarna-warni. Di sore hari, aku membenamkan diriku di areal persawahan yang baru saja dicangkul sang jendral. Lumpurnya yang dalam membuat tubuhku tenggelam hingga sebatas lutut. Seluruh wajah dan badanku berlumuran lumpur. Dikala sang jendral selesai menanamkan bibit terakhirnya, ia akan membawaku ke sebuah tali air tak jauh dari area persawahan tadi, membuat sebuah air terjun kecil melalui sebilah bambu, lalu mengajakku mandi bersama. Airnya sangat jernih dan dingin namun cukup untuk menghilangkan seluruh lumpur dari tubuh kami berdua.

Di rumah, tepatnya sebuah gubuk kecil berdindingkan anyaman bambu dan beratapkan daun rumbia, nenek suka memasakkan kue untuk kami santap sembari melepas lelah setelah bermain di sawah seharian.

Ketika weekend tiba, buya dan umi yang tak lain adalah orang tuaku, suka mengunjungi kami, sekedar untuk membawakan makanan atau menjemputku pulang. Kalau mereka sudah datang, kegiatan rutin yang sering kami lakukan adalah memancing. Kakek punya beberapa kolam ikan mas dan ikan nila di ladangnya, yang mekanisme perairannya dikerjakan oleh alam melalui aliran tali air.

Di dataran kering, kakek memanfaatkannya sebagai ladang nanas, cabai dan sirsak. Kalau matahari sedang terik, aku suka memanjat pohon-pohon sirsak itu untuk merasakan semilir angin atau sekedar bersantai sambil memetik buah sirsaknya. Aku hanya suka memetiknya, bukan memakannya. Bagiku, buah yang katanya menjadi obat ampuh untuk berbagai penyakit itu, hanyalah sebuah buah putih yang rasanya asam. Aku sama sekali tak menyukainya.

Terkadang kakek mengajakku memancing belut. Pernah suatu ketika, aku melihat seekor hewan melata berenang landai diantara lumpur. Aku kira hewan itu adalah belut, tapi kakek bilang itu ular air. Untung saja kakek tak sempat menangkapnya dengan tangan telanjang kakek. Kalau tidak, mungkin ceritanya akan berbeda.

****

Bertahun-tahun berlalu dan aku mulai sibuk dengan kegiatan sekolahku. Aku sudah jarang menginap di rumah kakek. Seiring berjalannya waktu, tubuh sang jendral kian renta dan tak lagi mampu menangkal segala penyakit. Beliau akhirnya menyerahkan kembali ladang yang dikerjainya bertahun-tahun kepada pemiliknya, dan memilih tinggal di rumahku.

Memasuki masa SMK, aku melihat sang jendral lebih sering terbaring di tempat tidur. Ia sudah tak sekuat dulu, ketika ia masih berjaya dengan gelar jendralnya. Yang kulihat kini hanyalah seorang pria tua yang terbaring lemah, berusaha melawan segala penyakit komplikasi yang menyerang tubuhnya.

Ia adalah seorang jendral yang mampu mengalahkan beribu pasukan penjajah demi kemerdekaan bangsa, tapi tetap saja, gelar jendral itu tak mampu membuatnya menang mengalahkan segala penyakit yang kian hari kian menghancurkan pertahanan tubuhnya.

Tepat tiga hari sebelum aku merayakan wisuda kelulusanku, sang jendral gugur, menghembuskan napas terakhirnya. Di sebuah malam yang sepi, ketika kami semua terlelap, ia pergi dengan sebuah senyum yang tersungging di bibirnya. Tak ada kata perpisahan. Aku bahkan belum sempat memamerkan ijazahku padanya. Aku belum sempat membuatnya bangga, bahwa cucu mungilnya kelak akan sukses dalam peperangan hidupnya.

Kini, tak ada lagi lagu Bendi yang dulu sering kami nyanyikan bersama. Tak ada lagi seorang jendral yang akan menghardikku ketika aku nakal. Tak ada lagi seorang kakek yang bahunya selalu mampu menjadi sandaranku. Tak ada. Ia telah kembali pada Sang Maha. Nama sang jendral memang tak pernah tertulis di buku sejarah manapun, tapi namanya selalu terukir di hatiku. sangat jelas hingga aku takkan pernah bisa menghapusnya.

Selamat jalan, Jendral. Perjuanganmu telah usai. Kini giliranku, memperjuangkan hidupku dan mengalahkan segala hal yang menurut orang lain tak mungkin. Aku akan rajin belajar, seperti lagu Bendi yang engkau ciptakan dan selalu kau perdengarkan padaku.


****

Memasuki bait-bait terakhir, Suci jadi cengeng, Tok.
Maaf kalau suci menangis kala merangkai cerita ini.
Suci menulis ini karena suci merindukanmu..