Wednesday, April 17, 2013

Menggerutu



Sore ini hujan turun lagi, membuat jalanan di seluruh Jakarta tergenang air. Dengan keadaan seperti ini, aku memperkirakan bahwa di seluruh penjuru jalan akan terjadi kemacetan. Dan benar saja, jejeran kendaraan terlihat seperti antrean BLT ketika kulihat dari jendela kantorku yang berada di lantai 17.

"Sial! Macet lagi!", gerutuku dalam hati.

Aku segera mengenakan hoodie kuningku. Setelah memasukkan beberapa dokumen kantor ke dalam tas, aku bergegas menuju lift. Jalanku sedikit terhadang dengan beberapa bocah yang menyeruak menawarkan jasa ojek payung begitu aku tiba di lantai dasar. Aku mempercepat langkahku dan tak menghiraukan tawaran bocah-bocah lusuh itu. "Mengganggu jalan, saja!," pekikku dalam hati.

Beginilah Jakarta, kota yang sangat aku benci. Entah mengapa semua orang dari penjuru desa rela bersusah payah datang ke kota ini. Usaha yang sangat disayangkan, menurutku. Terlebih jika mereka mengadu nasib disini dengan mengandalkan otot, bukannya otak. Seperti para bocah ojek payung itu, yang rela basah kuyup demi selembar uang seribuan. Padahal kalau saja mereka berusaha di desanya, keadaan mereka takkan seburuk ini.

Ku percepat langkahku menuju jembatan penyebrangan. Rintik hujan semakin lebat. Ku rapatkan lagi hoodie-ku agar hujan tak membuatku semakin basah. Ku lirik seorang pengemis tua dengan mangkok kosongnya duduk termenung di pinggiran jembatan. "Dia juga sama saja. Bodoh!"

Ku sandarkan punggungku pada sebuah tiang penyangga atap shelter bis. Sembari menunggu bis, aku merogoh saku celana, mengambil sebatang rokok, menyalakan api dan mulai menghisapnya. Kulayangkan pandanganku ke penjuru kota yang kini mulai gelap.

Ternyata hujan membuat sore lebih cepat berganti malam. Lampu-lampu jalanan yang sedari tadi telah menyala membuat rintik hujan yang melewati cahayanya terlihat berpendar seperti kristal. Bunyi klakson yang diciptakan para pengendara motor terdengar saling bersahutan, menciptakan polusi suara yang sangat mengganggu pendengaranku. Beberapa dari mereka mulai menggunakan trotoar sebagai jalan agar mereka bisa menyalip kendaraan di depannya. Tak sengaja, seorang pengemudi melintasi genangan air yang menyebabkan cipratan ke arahku. Seketika celanaku basah oleh tingkah brutalnya.

"Woy! Pake mata dong. Ga liat ada orang disini?!," teriakku yang tentu saja diacuhkan olehnya. Pengemudi itu tetap dengan brutal melintasi trotoar dan menyelinap diantara pejalan kaki yang tengah bergegas menghindari hujan. Aku terus menggerutu sambil membersihkan celanaku seadanya.

"Tak usah kesal, Tuan. Memang seperti inilah keadaan Jakarta."

Aku mendengar seseorang sedang berbicara, namun entah kepada siapa. Kulirikkan mataku ke kiri dan ke kanan, mencoba mencari asal suara itu. Kudapati seorang gadis yang sedang berdiri di sampingku sambil memayungi dirinya.

"Lo ngomong ama gue?," tanyaku sambil mencoba mengintip sebuah wajah yang bersembunyi dari payung biru muda berornamen bunga itu.

"Jangan habiskan tenagamu hanya untuk menggerutu dengan keadaan ini," lanjut gadis itu kemudian.

Aku memperhatikan penampilannya dari bawah hingga atas. Ia mengenakan sepatu kets coklat muda yang terlihat basah karena hujan. Lalu diikuti dres bermotif bunga sepanjang lutut, motif yang senada dengan payung yang dipegangnya. Sebuah ransel berwarna abu-abu tersandang rapi di punggungnya. Rambutnya diikat seadanya. Tampak beberapa helai terlepas dari ikatan dan jatuh menjuntai diantara dagunya. Gadis ini cukup cantik menurutku. Ditambah suaranya yang renyah dan cara berbicaranya yang sopan.

"Yah, karena inilah gue benci Jakarta. Hanya kesemrautan yang selalu gue temukan disini. Orang-orang yang bertingkah seenaknya, seakan tak ada hukum yang berlaku disini." Aku menarik beberapa hisapan dari puntung rokokku dan membuat pola lingkaran dari asapnya yang ku hembuskan ke udara.

"sepertinya anda telah mengalami hal yang buruk, hari ini."

Gadis itu terus berbicara, namun tak pernah memutar arah hadapnya untuk membalik ke arahku. Ia terus saja menatap jalanan yang masih saja diisi dengan kemacetan dan rintik hujan.

Tebakannya benar sekali. Aku memutar ingatan, mengingat kembali kejadian-kejadian buruk yang aku alami hari ini. Mulai dari bangun terlambat karena aku harus lembur demi menyelesaikan deadline kantor, motorku yang rusak akibat di serempet sebuah mobil yang membuatku harus berjalan kaki hingga ke shelter terdekat, dan karena itu pula aku jadi ketinggalan meeting dan ditegur keras oleh atasanku. Makan siang yang tumpah karena seseorang yang ceroboh menabrakku saat di cafetaria, hingga akhirnya harus rela kecipratan air karena pengemudi motor yang tak bertatakrama. Semua kejadian itu membuatku semakin enggan tinggal di kota ini.

"Tebakan lo bener. Hari ini mungkin hari tersial gue. Dari pagi sampe malem, gue terus aja ngalamin kejadian-kejadian yang ngejengkelin banget. Contohnya ya ini, celana gue basah gara-gara pengemudi motor yang ugal-ugalan itu."

Ku dengar ia tertawa geli. Mungkin ceritaku terdengar lucu di telinganya. Namun itu membuat kekesalanku jadi agak mereda. Entahlah, aku suka ketika mendengar tawa lembutnya.

"Kenapa lo ketawa? Lucu ya?!"

"Bukan begitu. Aku hanya heran, mengapa anda bertingkah seolah-olah andalah manusia yang paling tak beruntung di muka bumi ini."

"Tentu saja. Emang gitu kok." Aku menceritakan padanya tentang kesialan apa saja yang telah menimpaku satu harian ini. Ada jeda yang panjang ketika aku selesai bercerita. Mungkin dia paham dan akhirnya akan menarik kembali kalimat yang telah ia ucapkan sebelumnya. Namun belum sempat aku membanggakan diri atas predikatku sebagai manusia tersial, ia mulai bersuara lagi.

"Di Turki, ada seorang anak yang rela terus terjaga sepanjang hidupnya. Sebab apabila ia lalai dan tertidur, jantungnya akan berhenti berdetak dan dia akan mati. Anda hanya melewatkan batas jam tidur anda beberapa jam hingga akhirnya anda terlambat bangun, dan dengan alasan itu anda menyebut diri anda sebagai manusia tersial. Bagaimana dengan anak itu? Ia sama sekali tak pernah mengeluh tentang penyakitnya yang sangat aneh itu."

Aku terdiam, menanggapi ceritanya dengan keheninganku.

"Sekelompok anak di Banten, rela menyeberang sungai berarus deras dengan bergelantungan di jembatan yang hampir roboh, demi bersekolah. Tidakkah anda bayangkan, bagaimana jika mereka tergelincir dan jatuh ke sungai? Anda hanya berjalan beberapa ratus meter ke sebuah shelter, lalu dari situ anda bisa duduk santai di dalam bis ber-AC hingga ke kantor anda. Apakah anda sesial itu, Tuan?"

"Hei itu berbeda. Rumah gue jauh banget dari jalan yang dilalui kendaraan umum. Ditambah gue yang terlambat bangun, trus ada meeting pagi, semua itu jadi suatu kesialan bagi gue. Bukankah lo juga bakal bete kalo lo ngalamin kejadian kayak gue?" Aku berusaha membela diri. Namun dia tak menggubris pertanyaanku.

"Anda lihat seorang ibu tua yang duduk disana, Tuan?" Gadis itu menunjuk ke arah jembatan penyebrangan yang tadi kulewati. Aku melihat seorang pengemis tua berbaju lusuh. Air mukanya terlihat begitu lelah dengan sesekali melirik mangkok kecilnya yang kosong tak terisi recehan dari para pejalan kaki yang melintasinya.

"Iya, gue liat. Ada apa dengan pengemis pemalas itu?"

"Kira-kira sudah berapa hari ia tidak makan, yah?" Aku terheran karena gadis di sampingku ini malah balik bertanya kepadaku.

"Mana gue tau. Emang gue tukang ngasi makan dia?!," jawabku sekenanya.

"Udah tiga hari," katanya kemudian. "Aku selalu memperhatikan nenek itu dari sini. Sesekali aku memberinya nasi bungkus bila aku sedang puasa. Ia tak punya sanak saudara, juga tempat tinggal. Di jembatan itulah ia tidur dan mencari makan. Udara dingin dan sengatan terik matahari adalah sahabatnya. Ia tak bisa beranjak pergi, kakinya lumpuh. Jika petugas Pol PP sedang beraksi, ia pasti ikut terciduk.."

"Kenapa dia ga balik aja ke kota asalnya, daripada memilih bersakit-sakitan di kota ini?" potongku di antara perkataannya.

"Ini rumahnya. Ia lahir dan besar di Jakarta. Dulu ia orang yang cukup berada. Namun setelah suaminya meninggal, ia ditelantarkan oleh anak-anaknya. Jadilah ia seperti sekarang ini."

"Oh, gitu? Trus hubungannya sama gue, apa?"

"Anda hanya kehilangan jatah makan siang anda. Itupun kalau boleh saya terka, anda meminta bantuan office boy untuk membelikannya. Sedangkan ia, untuk mendapatkan sesuap nasi saja harus rela kehujanan, tersengat sinar matahari, dicaci maki bahkan diperlakukan kasar. Apa pernah ia mengeluh? Seluruh waktu dan perkataannya ia gunakan untuk berdzikir, bukan menggerutu seperti anda."

Aku tersentak kaget. Memikirkan kembali tentang hidupku yang kurasa lebih baik dari orang-orang yang masuk ke dalam cerita gadis ini. Aku punya tempat tinggal yang cukup nyaman untuk kutinggali, aku punya kendaraan pribadi walau hanya sebuah motor, aku punya pekerjaan layak dengan gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhanku selama sebulan. Aku bahkan bisa menabung dari penghasilanku itu.

"Cobalah berpikir dari sudut pandang yang berbeda, Tuan. Maka anda akan lebih bisa bersyukur atas apa yang telah anda dapatkan."

Aku terdiam, mencerna setiap kata dalam kalimatnya dengan teliti. Menghubungkan setiap bait tuturnya dengan alur hidupku. Ya, harusnya aku tak perlu menggerutu tentang hari yang menyebalkan ini. Banyak sisi lain yang bisa aku jadikan sebuah kesenangan, daripada harus mempola pikiranku menjadi kesal dengan kejadian-kejadian buruk yang kualami.

Ku tarik hisapan terakhir dari puntung rokokku, lalu membuang puntungnya sembarang.

"Aku harap anda segera menghentikan kebiasaan anda untuk membuang puntung rokok yang masih menyala sembarangan, Tuan. Karena beberapa hari yang lalu, sebuah rumah terbakar habis karena kecerobohan seseorang yang membuang puntung rokok sesukanya. Akibat dari kelakuannya itu, seorang anak kehilangan orang tuanya, dan seorang adik kehilangan abang tercintanya."

Hujan telah berhenti. Gadis itu mengibaskan payungnya dari sisa air hujan sebelum akhirnya menutup payung itu dan menyimpannya ke dalam ransel. Sekilas kulihat luka bakar yang bernaung di leher dan sebagian lengan kanannya.

"Hujannya sudah reda, Tuan. Jangan terlalu lama berdiri disini, nanti anda bisa masuk angin. Aku pamit dulu, Tuan. Sampai bertemu lagi."

Untuk pertama kalinya pandangan kami bertemu. Diantara cahaya lampu jalan yang temaram, aku bisa melihat wajah belianya yang tersenyum manis, cantik sekali. ku terka, ia masih berusia belasan tahun, namun pemikirannya melebihi aku yang hampir memasuki kepala tiga.

Dia lalu berbalik dan menghentikan sebuah taksi. Kupandangi terus taksi yang dinaikinya hingga menghilang di persimpangan. Tanpa sempat berkenalan atau sekedar mengucapkan terima kasih, aku terdiam, berdiri seperti orang bodoh yang baru saja bertemu malaikat. ku cari puntungan rokok yang aku buang tadi, mematikan apinya dan membuangnya ke tempat yang semestinya.

Aku kembali menyusuri jembatan penyeberangan itu sesaat setelah membeli dua bungkus nasi goreng. "Nek, mau makan bareng saya, ngga?," tanyaku pada sorang nenek, sang pengemis tua itu.