Monday, April 22, 2013

Senja


"If we meet and know each other, it must be there something good ahead, so thankful"



Aku masih duduk termangu di tepi dermaga. Menatap senja dengan sedikit memicingkan mata. Meski tak lagi sekuat tengah hari, namun cahaya matahari masih menyilaukan mataku. Kakiku yang telanjang tanpa alas kaki kini kubenamkan ke dalam air. Seketika air laut itu menggelitikku dengan sapuan manjanya. Hangat, damai, sunyi.

Kubuka kembali sebuah buku catatan yang selalu aku bawa kemanapun aku pergi. Sebuah catatan yang penuh akan tulisan tanganku sendiri. Di halaman pertamanya terdapat sebuah foto dua orang remaja yang saling tersenyum renyah. Aku tersenyum memandangi foto itu. Ku arahkan telunjukku, menyusuri salah satu wajah yang terdapat di foto itu, seakan aku sedang mengelus wajah asli pemiliknya. Sepasang mata yang bening, hidung mancung, senyum manis yang sempurna.

"Pasti Tuhan menciptakanmu dengan hati riang, Tuan," gumamku. Ku balik lembaran catatan itu, membaca halaman berikutnya.

Once upon a time..
Begitu kalimat pertama yang tertulis di halaman itu. Aku mengerutkan dahi dan mengingat-ingat kembali bagaimana aku dulu begitu bingung dalam memilih kata yang tepat untuk memulai cerita ini; kisah kita.

Aku tertawa. Ingatanku telah menyeretku ke beberapa waktu silam, dimana semesta telah menautkan benang merahnya di jariku dan jarimu, hingga kita tak sengaja berkenalan, bertemu, dan berteman dengan absurd dalam kemayaan.

Ku baca kata demi kata yang tertulis di buku itu. Aku terdiam, tertawa, menggerutu, tersenyum, menangis. Tak kusangka, buku sederhana itu telah menuliskan kisah kita dengan banyak guratan emosi di dalamnya. Seperti sebuah proyektor, satu persatu sketsa kejadian yang aku lalui bersamamu terputar ulang. Semua hal pahit-manis tergambar jelas disana. Semakin aku membalik halaman, semakin aku membaca kisah itu, bayangmu semakin muncul, membesar, seakan ingin melonjak keluar dari otakku.

Halaman terakhir terbuka. Masih bersih dan kosong, belum terusik setitik tintapun. Ku ambil sebuah pulpen yang aku selipkan di saku bajuku sejak tadi. Ku lemparkan pandanganku ke ufuk barat. Matahari kian sembunyi, kembali ke haribaannya. Semburat cahaya merahpun kian berhamburan di bawah kaki langit. Awan-awan tipis mulai kehilangan dirinya, tersapu angin malam yang meliuk-liuk diantara udara senja.

Ku tarik napas agak dalam, lalu membuangnya dengan cepat. Segores tinta mulai mengotori halaman itu. Dengan penerangan alam seadanya, ku coba membuat sebuah cerita terakhirku. Cerita yang akan menutup kisah ini.

Di awal, sebelum aku mulai memutuskan untuk membukukan kisah kita, aku berharap kelak akhirnya akan ada ending yang aku tulis dengan sebuah senyuman. Begitulah yang aku lakukan sekarang, aku tersenyum sambil merangkai kata demi kata yang kuharap akan indah bila suatu saat kamu menyempatkan waktu untuk membacanya. Namun mataku tak ikut tersenyum. Ada sebuah bulir air bening bernaung disana. Ku tahan sekuat yang kubisa agar ia tak jatuh dan membasahi kertasku. Namun seiring banyaknya kata yang kutulis, seiring itu pula ia meluap, dan akhirnya menetes deras, memburamkan tulisanku, tepat setelah aku menuliskan kalimat terakhirku, "The end.."

Kisahku telah usai. Suatu saat, bila kamu memintanya, aku akan izinkan kamu untuk membacanya. Namun sebelumnya aku minta maaf, kisah itu tak berakhir bahagia. Tak mengapa, kan?

Aku belum berniat untuk menulis di catatan baru lagi. Aku kekurangan cahaya. Matahariku telah tenggelam. Angin semakin kencang berhembus kearahku. Tak ada lagi langit senja atau burung yang terbang rendah menuju sangkar. Gelap malam mulai menyelimuti hari.

Aku masih betah bersandar di sebuah tiang di tepian dermaga. Menatap gelap. Sendirian. Menunggu pagi, yang mungkin membawa cahaya baru yang lebih hangat untukku..