Monday, April 1, 2013

ALBIAN




"Albi masih belum ngubungin lo?"

Aku hanya menggelengkan kepala.

"Sini deh hape lo. Gue mau ngubungin dia." Chika berusaha merebut hp yang sejak tadi kugenggam.

"Eh, jangan! Jangan!" Aku berusaha menyembunyikan hp-ku dari jangkauan Chika. "Mungkin dia lagi sibuk banget.."

Chika menyerah karena tak berhasil merebut hp-ku. Ia lalu menjatuhkan diri di kasur.

"Udah seminggu loh, Bian. Bukan satu atau dua hari lagi."

Aku ikut merebahkan diri di kasur, tepat di samping Chika.

"Gue ga ngerti deh ama lo. Kenapa lo bisa tahan pacaran sama cowo secuek itu?!"

"Dia ga cuek, kok," belaku. "Kan udah gue bilang, mungkin dia lagi sibuk banget, makanya ga bales sms atau telpon balik gue."

"Mungkin? Haha. Sampe kapan lo menerka-nerka apa yang sebenarnya belum tentu kayak gitu? Siapa tau dia disana lagi.."

"Chik..!" Aku berusaha memotong perkataannya. Aku benar-benar tak ingin tau apa yang akan diucapkannya selanjutnya. "Gue percaya Albi, oke?!"

"Gue cuma ga tega ngeliat lo gini. Terus-terusan menanti kabar dari dia yang tak kunjung hadir."

"Kalo karena ini aja gue kalah, berarti cinta gue cemen, dong?" Aku menatap Chika, berusaha mengisyaratkan bahwa aku baik-baik aja. Aku lega karena sahabatku itu percaya padaku. Ku alihkan pandangan ke arah lain. Ada bulir hangat yang tiba-tiba saja mengalir tanpa permisi dari pelupuk mataku.

****

Kring.. Kring.. Kring..

Hapeku tiba-tiba berbunyi. Serentak, aku dan Chika terduduk dan segera melihat layar.

"Albi.. Albi..!" Sorak soraiku dalam hati.

Namun euforia itu harus segera ku hentikan, karena telpon itu bukan dari Albi, seperti yang ku harapkan.

"Siapa?" Tanya Chika penasaran.

"Vano.." Aku melongos lesu. "Gue angkat ga nih?"

"Angkat aja, angkat!" Chika yang mendengar nama Vano di sebut langsung berubah girang. Betapa tidak, Vano adalah pria yang di kagumi semua cewek di kampusku, termasuk Chika. Baginya, pria itu begitu sempurna. Tinggi, putih, pintar, memiliki senyum yang sangat manis, dan yang paling penting, dia pecinta fotografi, seperti Chika.

Namun bagiku, dia pria yang menyebalkan. Sebenarnya ia tak seburuk itu, hanya saja, dia begitu menginginkanku untuk menjadi kekasihnya. Aku heran, mengapa dari semua cewek cantik yang ada di kampus, dia malah memilihku; gadis yang tak punya keistimewaan apapun.

"Halo?!" Akhirnya aku mengangkat telponnya.

"Hai Bian, ini gue, Vano." Katanya di ujung suara.

"Iya, gue tau!" Jawabku ketus. "Ngapain lo nelpon? Sepatu lo ilang lagi? Apa pulpen lo kebawa gue lagi?"

"Emm, engga kok. Kali ini hati aku yang ilang." Dia mulai mengeluarkan bius mautnya. Aku hampir saja akan menutup telpon ketika dia mulai berbicara lagi.

"Eh.. Eh.. Jangan di tutup, dong. Gue cuma becanda, kali."

"Becanda lo garing, Van."

"Yaudah, sori. Gue ga akan becandain lo lagi deh. Betewe, liat ke luar jendela deh."

"Buat apa?"

"Udah liat aja."

Aku menatap Chika. Kedua tangannya di tadahkan sejajar bahu sebagai isyarat bahwa dia berkata "apa?"

"Vano nyuruh gue ngeliat keluar jendela." Kataku setengah berbisik.

"Hah?", Chika terbelalak, kemudian tersenyum. "Yaudah sono liat keluar jendela." Ia mendorong-dorong punggungku.

"Aduuuh, tu anak pasti mau ngelakuin yang aneh-aneh lagi deh."

"Egepe dah. Buruan liat."

Dengan berat hati sambil di dorong-dorong Chika, aku berjalan keluar jendela. Ku lihat Vano sedang berdiri di depan mobilnya.

"Tuh kan.. Ngapain coba dia kesini?!"

"Hai Vanoo!" Chika yang tak menggubris omonganku melambaikan tangan ke arah Vano yang langsung di balas olehnya.

"Hai Chika." Sapanya tak kalah ramah.

"Ngapain lo kesini?", tanyaku sambil berteriak dari balkon kamar lantai dua.

"Lo turun deh. Ga enak ngobrol sambil teriak-teriak gini."

Setelah berdiskusi alot dengan Chika, akhirnya aku turun dan menemuinya. "Ngapain sih lo kesini?"

"Temenin gue hunting foto dong," Pintanya lembut.

"Engga ah, gue sibuk!"

"Please, gue ga ada temen nih."

"Kenapa lo ga ngajak temen-temen lo yang lain aja?"

"Gue pengennya sama elo."

"Kenapa harus gue?"

"Entahlah, gue ngerasa nyaman aja kalo jalan sama lo. Plis jangan tolak yah.." Vano melipat kedua telapak tangannya di depan dada, memohon agar gue mau menemaninya.

Aku berpikir sejenak, menatap hapeku yang tak kunjung berdering; tak ada kabar darinya. "Yaudah, gue temenin."

"Yes!", ia mengepalkan tangan pertanda senang.

Sesaat kemudian, aku sudah berada di dalam mobil Vano. Chika menolak ku ajak dan lebih memilih pulang. "Gue ga mau ganggu kalian," katanya.

"kita mau kemana nih?", tanyaku membunuh keheningan yang sejak tadi kami ciptakan.

"Lo suka bintang, kan?" Tanyanya yang terus menatap jalanan senja Jakarta.

"Lo tau darimana?"

Vano tersenyum tipis. "Gue bakal bawa lo ke suatu tempat dimana lo bisa melihat bintang lebih dekat."

Aku tertawa kecil. "Mustahil bisa ngeliat bintang dari langit Jakarta."

"Siapa bilang kita bakal ngeliat dari langit Jakarta?"

Aku menatap wajah Vano dengan penuh penasaran. Ia melirikku sebentar, menebar senyumnya yang selalu sukses membius para wanita, lalu kembali fokus menatap jalanan. Vano memutar setir mobilnya ke arah jalan tol dalam kota. Aku bertanya-tanya, kemana ia akan pergi membawaku?

Aku kembali menatap layar handphoneku yang tetap tak bergeming. Entah mengapa, aku begitu berharap bahwa pria yang sedang menyetir di sampingku adalah Albi, bukan Vano. Aku berharap orang yang mengajakku melihat bintang adalah Albi, bukan Vano.

Tiba-tiba perkataan Chika tadi melintas di pikiranku.

"Udah seminggu yah?," tanyaku dalam hati.

Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku dan Albi saling tertawa, meski hanya lewat tulisan. Aku begitu merindukan sosok pria itu. Pria yang selalu muncul dan mengganggu pikiranku setiap saat, bahkan di saat tersibukku sekalipun.

Dalam pengabaiannya, aku mencoba mengerti. Masa depan adalah segalanya baginya, dan aku hanyalah pelengkap kecil yang mungkin tergeser dari sebuah tempat di otaknya. Aku mendukung mimpi-mimpinya sepenuhnya. Aku meyakini satu hal, saat ia merindukanku, ia pasti kembali; meski entah kapan.

Ku lihat rambu lalu lintas bertuliskan "Bosscha" baru saja kami lewati.

"Bosscha?"

"Yup. Observatorium terbesar di Asia Tenggara..", terang Vano sambil membelokkan mobilnya ke arah pintu masuk wilayah peneropongan bintang itu. 

Aku tertegun tak percaya. Bosscha adalah salah satu tempat yang sangat ingin aku datangi. Dan kali ini, aku benar-benar berada di Bosscha.

"Cuaca malam ini lumayan cerah, yah." Katanya saat kami memasuki gedung observatorium itu.

"Iya..", jawabku seadanya.

Vano lalu membawaku ke ruangan utama, dimana teleskop Zeiss berada. Milky Way, Orion, dan rasi bintang lain dapat ku lihat dengan jelas. Bintang yang seringnya hanya ku lihat seperti titik-titik kristal yang berkelap-kelip di langit malam, kini terlihat lebih besar, lebih jelas, dan lebih indah.

"Kamu beruntung banget, malam ini komet Halley bakal melintas di langit Bandung.."

"Serius??" Aku tersenyum sangat senang. Ku pandangi setiap sudut langit dari teleskop Zeiss. Hatiku tak berhenti mengagumi setiap seluk langit yang ku lihat. Semuanya begitu sempurna.

"Gimana lo bisa tau kalo gue suka banget sama bintang?" Ku lepas perhatianku dari bintang, kemudian menyorot matanya dengan penuh tanya.

"Gue juga tau makanan favorit lo, buku favorit lo, bahkan film kartun yg paling sering lo tonton."

"Chika?" Pertanyaan itu berhasil merubah raut mukanya. "Jadi, Chika yang ngasi tau lo semua hal tentang gue?"

"Lo jangan marah ke dia. Gue yang maksa dia buat cerita semua tentang lo."

"Apa sih niat lo ngedekatin gue?"

"Gue sayang sama lo, Bian.." Vano tiba-tiba berlutut di depanku, mengulurkan tangan kanannya. "Please, be my girl."

"Apaan sih lo, Van? Norak tau ga?! Berdiri gih."

"Gue ga bakal berdiri sampe lo ngejawab proposal gue tadi."

"Lo mau jawaban? Sorry, gue ga bisa terima lo jadi cowo gue." Mataku terasa panas. Aku berusaha agar air mataku tak jatuh malam ini. Aku memalingkan wajahku dari hadapannya.

"Karena Albi?" Ia berdiri, menatapku dengan serius.

Aku berbalik arah dan membalas tatapannya dengan tatapan kesal.

"Tau apa lo soal Albi?" Ku dengar nada suaraku meninggi, namun aku tak berusaha untuk menurunkannya. Aku merasa pria di depanku ini sudah terlalu lancang untuk memasuki kehidupanku.

"Apa yang lo harapin dari cowo kayak gitu? Apa yang lo harapin dari hubungan LDR lo yang terlalu dingin, Bian?"

Ingin rasanya aku menampar Vano, namun aku mengurungkan niatku. Aku tak mau keadaan semakin mengendalikanku untuk melakukan hal-hal yang tak ku inginkan.

"Bian, buka mata hati lo. Ada gue disini, yang lebih nyata, yang bisa ngebahagiain lo. Gue bukan sebuah handphone dingin yang tak memunculkan kabar lebih dari seminggu. Gue bukan deretan tulisan ataupun suara semata. Gue bukan bayangan, gue nyata, seseorang yang bisa selalu hadir di samping lo bahkan di hari-hari terberat lo.." Vano menggenggam tanganku. Rasa hangat dari sentuhan jemarinya merasuk hingga seluruh penjuru hatiku. Namun aku segera melepaskan genggaman itu sebelum aku benar-benar terjatuh ke dalam zona nyaman.

"Sorry, Vano, gue ga bisa. Gue sayang sama Albi.." Lirihku. Kini air mata benar-benar telah membasahi pipiku.

"Apa sih kurangnya gue, Bian?"

Aku menggelengkan kepala. "Lo ga kurang apapun. Lo bahkan mendekati sempurna, Vano. Lo pinter, lo tampan, lo kayak bius yang bisa taklukin siapapun cewe yang lo mau.."

"Kecuali lo." Potongnya.

Ku tatap mata beningnya dalam-dalam. "Kenapa lo pilih gue?"

"Karena lo ga bisa ngelepasin Albi dari benak lo. Karena lo punya sayang yang begitu tulus buat Albi. Karena lo begitu mempertahankan Albi walau segala hal menentang tindakan lo. Karena keteguhan lo itu, gue berharap gue bisa mendapat posisi seperti Albi di hati lo."

"Lo ngerti perasaan gue, kan? Gue ga peduli meski ada jutaan cowo kayak lo yang berusaha miliki hati gue, karena hati gue udah memilih Albi. Albi segalanya buat gue. Dia semangat gue, dia inspirasi gue. Gue ga peduli meski sekarang gue ga tau gimana kabarnya, karena gue yakin dia bakal baik-baik aja. Gue cuma berharap kebahagiaannya, dengan ataupun tanpa gue. Mungkin lo mikir kalo gue adalah cewe tolol yang pertahanin hatinya buat seorang cowo yang mungkin ga akan bertindak sama kayak yg gue lakuin ke dia." Sial, air mataku mengalir semakin deras. Aku tak berharap hal ini terjadi, terlebih di depan Vano.

"Tau ngga, Bi?" Vano menyerahkan sapu tangannya dan berusaha menghapus air mataku. Namun sekali lagi, aku mengelak. "Andai gue tau dimana Albi sekarang, gue pengen nyamperin dia dan bilang kalo dia cowo paling beruntung karena bisa memiliki hati lo."

Aku tersenyum dan menghapus air mataku.

"Dan dia cowo paling bego, karena udah mengabaikan cinta yang tulus dari lo." Aku tertawa kecil mendengar perkataannya. Lalu ada hening panjang yang menyelinap diantara pembicaraan kami.

"Eh, liat! Komet Halleynya melintas!" Vano yang sudah berada di depan teropong langsung menarik lenganku. Ku tempelkan mataku tepat di view findernya. Komet Halley beserta ekornya yang panjang terlihat keren banget saat melintasi langit Bandung.




Aku sangat berterima kasih pada Vano, karena dia selalu ada di sampingku, meluangkan waktunya hanya untuk membuatku tersenyum, membuatku melupakan kesedihanku sejenak. Namun sayang, aku ga bisa, ga kan pernah bisa menyisakan ruang di hatiku untuknya.

"Aku bahagia kalo kamu bahagia, Bian." Bisiknya, disaksikan jutaan cahaya bintang di langit kota Bandung.



****

Sesampainya di rumah, aku kembali mengecek hapeku, berharap ada notifikasi dari Albi. Namun lagi-lagi, nihil. Ku tekan nomornya yang sudah ku hapal diluar kepala, lalu terdengar nada sambung mengalun.

Aku baru saja ingin berkata halo ketika mailboxnya menderu di telingaku.

"Hai, ini Albi. Kalo kalian denger nada ini, tandanya gue lagi sibuk banget. Tinggalkan pesan setelah bunyi beep.."

Aku menarik napas panjang, dan mulai berbicara.

"Bi, aku ga pernah minta apapun sama kamu. Aku ngerti dengan kesibukanmu yang super itu. Tapi kali ini aku mohon kabulin satu permintaan aku. Aku ga minta kamu untuk hadir di samping aku, karena itu mustahil buat kita. Aku cuma minta kamu luangin sedikit aja waktu kamu buat aku. Ingat aku di sela kesibukan kamu. Aku kangen di ledekin kamu lagi, di cerewetin kamu lagi. Aku kangen ketawa bareng kamu lagi. Cuma 5 menit dari 24 jam-mu, Bi. Boleh, kan?"

Aku mematikan telponku dan menjatuhkan diri ke kasur. Memandangi penjuru kamar yang terasa begitu sepi. Hanya bayangnya, selalu bayangnya, yang berusaha ku genggam agar tak hilang dari ingatanku.

****


Buat kalian, aku minta maaf karena telah lancang merasuki pikiran kalian dengan bayanganku,
tak sengaja mengizinkan hati kalian menyisakan sedikit tempat untuk menuliskan namaku.
Aku sungguh minta maaf karena ngga bisa berkata YA atas pertanyaan kalian.

Buat kamu, apa kabar kamu? Masih sibuk mendesain masa depanmu? Jaga kesehatanmu yah.
Aku masih disini, menunggu kepulanganmu; ke hatiku..