Thursday, May 2, 2013

Salju di Pucuk Edelweiss


Jika tak bisa menghancurkan jarak yang terbentang sinis, mungkin aku harus mencari jengkal untuk melangkah..




Aku semakin sulit berjalan. Napas yang kuatur sedemikian rupa kini mulai tersengal-sengal. Langkahku semakin pendek, mencoba tetap menapaki punggung gunung yang terus menanjak. Aku tertunduk, mengatur napas dan mulai berjalan lagi. Kubenarkan posisi ransel yang menggantung berat di pundakku. Selangkah, dua langkah.. aku tak tahan lagi.

"Istirahat bentar dong," kueratkan genggaman tangan kiriku dengan sedikit menarik, memberi tanda kepada seseorang yang sejak tadi memegangiku untuk ikut istirahat.

"Yaudah, duduk di sana aja. Ada batu besar, tuh..", katanya seraya menunjuk sebuah batu yang terletak tak jauh dari tempat kami berdiri.

Dia menggenggam tanganku lebih erat lagi, memastikan bahwa aku terus bersamanya. Kubalas genggaman tangannya dan mulai melangkahkan kaki lagi hingga akhirnya kami tiba di sebuah batu yang cukup besar untuk diduduki. Aku langsung menurunkan ranselku dan menjatuhkan badan di batu itu. Dia mengambil tempat di sampingku.

"Capek yah?", tanyanya.

Aku mengangguk, mengiyakan. Bahkan untuk bersuara saja aku sudah terlalu lelah. Sambil mengatur napas, kusapu pandangan ke seluruh penjuru jalan. Beberapa pendaki terlihat melintas. Setiap dari mereka menyapa kami dengan ramah, "permisi kak..", katanya. Kubalas sapaan mereka dengan senyum dan suara yang sedikit kupaksakan diantara lelahku.

Sudah suatu kebiasaan di gunung untuk melakukan hal itu. Menyapa para pendaki yang melintas maupun yang sedang beristirahat, bertukar makanan dan minuman, bertukar cerita dan pengalaman dengan orang-orang yang baru di kenal. Menjalin persahabatan dari sesama pecinta alam. Karena di tempat ini, kita punya tujuan yang sama. Dan di tempat ini, solidaritas dan kerendah-hatian akan sangat kontras terlihat.

Selain para pendaki, sepanjang sorotan pandanganku hanya ada pepohonan rindang dan jalan setapak yang berbatu. Disini, tak ada keramaian seperti yang sering kutemukan di kota. Hanya ada suara jangkrik, burung, dan aliran sungai.

"Detak jantung alam," gumamku dalam hati.

Kunikmati suasana ini, menghirup udara yang dihembuskan oleh dedaunan hijau, membiarkan oksigennya menelusuri setiap rongga tenggorokanku. Mengatur kembali mekanisme pernapasanku yang kini mulai normal lagi. Meluruskan kakiku dan membiarkannya menyatu dengan tanah. Berkotor-kotoran, berlelah-lelahan, dan hanya ada kesenangan.

"Jalan lagi yuk?!", ajaknya setelah kami beristirahat cukup lama.

"Yuk!" kataku semangat.

Jemarinya kembali mengisi sela-sela jemariku. Dengan sebuah genggaman yang erat, kami berdua kembali menapaki punggung gunung Gede itu. Melangkah, menciptakan jejak baru. Menanjak, lebih dekat menuju puncak. Semangat, rasa yang akan membawaku mencapai tujuanku. Berkali-kali aku lelah, tersengal, hingga mengharuskanku kembali beristirahat, mengatur napas, lalu kembali berjalan dan menapak lagi.

"Semangat dong. Tinggal lima menit lagi, nyampe!"

"Lima menit kali berapa?", kataku sambil menahan lelah.

Lima menit. Kalimat yang dijadikan andalan agar semangat mendaki terus terpacu. Kalimat ajaib yang nyatanya memang membuat para pendaki terdorong untuk lebih cepat melangkah. Kalimat yang membuatku menahan tawa, karena tak mungkin mencapai puncak dari tempatku berdiri hanya dalam waktu lima menit. Mungkin lima menit dikali puluhan denting jarum jam.

****

"Puncak!!"

Terdengar suara dari atas, tak jauh dari tempatku berada. Aku dan dia langsung berpandangan dan tersenyum senang.

"Udah deket. Yuk!" Dia terus menuntunku hingga ke puncak gunung Gede. Aku terus menggenggam tangannya, tak ingin terlepas walau sekejap. Kuciptakan kembali beberapa langkah terakhirku, hingga akhirnya kami berdua tiba di puncak.

Sinar hangat matahari dan udara sejuk langsung menyambut kedatangan kami. Sebuah kawah belerang dengan warna kuningnya yang khas tampak menawan di sebelah kiri, tanpa tertutup sebersit kabutpun. Di sebelah kanan terdapat beberapa tenda pendaki. Aku juga menemukan penjual nasi uduk, yang katanya kegiatan itu sudah berlangsung sejak jaman Pak Soeharto. Ngga kebayang gimana cara mereka tiba di puncak sambil menjajakan dagangannya, mengingat diriku saja yang mencoba naik ke puncak dengan penuh perjuangan.

Kuhembuskan segumpal napas ke udara. Lelah yang sejak tadi kurasakan, kini semua seakan sirna, tergantikan oleh kekaguman akan sapuan karya Tuhan yang saat ini kutatap. Aku meregangkan sendi-sendi kakiku, merasakan sejuknya semilir angin dan hangatnya sinar matahari.

"Makasi ya udah bawa aku sampai ke puncak," kataku pada pria itu. Pria yang sejak awal menemaniku meniti langkah dari awal sekali hingga kakiku berhasil menginjak tanah tertinggi gunung Gede.

"Samasama", balasnya dengan senyum ramah.

"Makasi juga karena udah jadi semangat aku.." bisik hati kecilku, kalimat yang takkan pernah di dengarnya.

Aku memutar ingatan, mereka ulang kejadian yang telah aku alami selama pendakian. Menapaki jalan berbatu yang terjal sambil menyandang ransel yang berat. Peluh yang terus mengucur deras dan napas yang tak bisa mengalir normal. Di sepanjang perjalanan, yang kupikirkan hanya bagaimana aku bisa sanggup terus berjalan. Bagaimana aku tak berhenti dan menyerah. Mungkin, aku takkan pernah sampai ke puncak jika tak ada dia. Thanks, Al.

Mataku kembali menerawang, mencari-cari sesuatu yang menjadi tujuan awalku menuju puncak gunung Gede. Edelweiss. Sekawanan bunga itu banyak tumbuh subur di alun-alun Surya Kencana. Namun untuk tiba disana, aku harus mengerahkan tenaga dan waktu yang lebih banyak lagi. Syukurlah, aku tak terlalu kecewa karena di pinggir kawah gunung ini juga terdapat segerombol kecil bunga abadi itu. Letaknya yang tumbuh di tepi jurang membuatku tak dapat menyentuh bunga kuning itu. Tapi tak mengapa, melihatnya langsung dengan mataku sendiri saja sudah membuatku senang untuk membunuh rasa penasaranku.

"Gue bakal ambilin bunga itu buat lo," kata pria itu, menatap tepi jurang sambil mencari-cari jalan setapak untuk turun kebawah.

"Ngga usah. Turunnya susah, ntar lo jatuh.."

Perkataanku tak digubrisnya sama sekali. Dengan sekejap pandang, kulihat kini ia telah mengatur pijakan kaki dan akhirnya tiba di samping tempat tumbuhnya bunga itu. Dengan sekelebat cahaya, putaran lensa dan menjatuhkan titik fokus diantara kumpulan bunga edelweiss, dia kembali naik dan membawa si kuning kecil itu di dalam layar kameranya.

"Dasar nekat!", kataku yang hanya dibalas seringai olehnya.


****


Bagai salju di pucuk edelweiss. Naungan putih diantara kuning, salju yang terpancar indah bersama keabadian bunga edelweiss. Putihnya rasa, tulusnya perjuangan, manisnya harapan, abadinya semangat. Menjelma menjadi satu kata, mewakili sebuah makna, dalam sebersit senyum yang mengembang; dia.

Punggung gunung Gede menjadi saksi bisu, bagaimana anak manusia saling berjuang demi mencapai tujuannya. Seperti realitas hidup yang penuh dengan lika-liku, ragam masalah dan juga kebahagiaan. Aku percaya, segalanya akan manis pada waktunya. Aku memang tak bisa menghancurkan jarak yang terbentang sinis, mungkin saatnya aku harus mencari jengkal untuk melangkah. Membiarkan jarak terus menertawai kebodohanku hanya akan membuatku terlihat semakin bodoh. Kulepas jarak itu, membiarkan ia berlalu dan tersapu waktu. Sisanya, biarlah semesta yang bekerja. Entah bagaimana ia akan membuat jengkal ini berevolusi. Yah, only love can break your heart.



Diantara keindahan gunung Gede, aku menemukan cinta..