Tuesday, March 5, 2013

13 Heksa




"Pengen banget yah?"

"Udah dari dulu..", aku membereskan beberapa buku yang berserakan di meja, lalu menatap Arinda kembali, "tapi ga pernah kesampean".

"Kalau gitu beli lah.."

Ku sodorkan jejeran angka yang ku tulis di buku agendaku tadi tepat di hadapan Arinda, "lebih besar pasak daripada tiang, Rin.." Aku melongos lesu.

"Sejak kapan seorang Naira jadi manusia pesimis gini?"

"Sejak realiti mengalahkan mimpi-mimpiku"

"Hahaha!" Arinda tertawa meledek.

Aku hanya tersenyum ketus sambil menjitak lembut kepalanya. "Ah elu ngeselin deh!"

Arinda mengambil kalender duduk yang selalu terpajang rapi di meja kerjaku. Di tunjuknya sebuah tanggal yang aku lingkari dengan simbol hati lengkap dengan sebuah note 'my 13 hexa'.

"Nih, masih ada beberapa bulan lagi. Nabung doong. Ngeharapin kado dari orang-orang di hari ulang tahun itu udah mainstream banget. Kenapa kamu ga bikin sesuatu yg spesial untuk dirimu sendiri di tanggal itu?", Arinda berbicara dengan semangat berkobar-kobar.

"Apaan sih lo? Berisik deh!", aku mengambil kalender itu dan meletakkannya kembali.

"Batu deh! Ya udah, gue cuma nyaranin. Kalo lo mau ngikutin ya alhamdulillah, kalo kagak, gue paksa lo buat nurut. Hahaha."

"Yee, rese!" Aku mencubit tangan Arinda. Gadis itu melompat-lompat kesakitan. Dia membalas dengan mencubitku lebih keras. Seketika suara tawa kami membahana keseluruh penjuru kamar.

Ku lirik lagi sebuah tanggal yang tampak begitu bersinar di kalender dudukku. "13 heksa..", gumamku.

Sebenarnya, tanpa sepengetahuan Arinda, aku udah membuat sebuah rencana untuk merayakan tanggal itu. Hari dimana angka 18 akan digantikan oleh angka 19. Aku semakin tua saja. Dan kali ini, aku emang pengen ngelakuin sesuatu yang berbeda. Setidaknya aku ingin membuat hari itu menjadi spesial untuk diriku sendiri. Buat apa berharap banyak pada orang lain bila kita bisa menciptakan kebahagiaan kita sendiri? Ku tatap sebuah gambar yang terselip diantara buku agendaku. "See you on my birthday." Ku dekap gambar itu erat, seakan aku benar-benar sedang memeluk wujud nyatanya.

****

Kriiing! Kriiing!

suara alarm dari hapeku berhasil memaksaku bangun. Sudah jam 06.30 pagi, namun mataku masih sangat mengantuk. Pasalnya, aku baru tidur jam 4 pagi tadi. Tepat jam 12 malam, Arinda dan teman-temanku yang lain membuat kejutan yang konyol. Mereka berpakaian serba putih dengan wajah berlumuran bedak, lalu menakutiku hingga aku meringis.  Sepertinya mereka tau banget kalo aku takut sama hal mistis kayak gitu. Yak, mereka berhasil membuatku ingin melempar mereka dengan CPU.

Setelah itu aku digeret ke ruang tengah. Semua lampu dimatikan. Gelap sekali. Tak berapa lama, Arinda membawa kue kecil seukuran cupcake yang berhias lilin angka 0 diatasnya.

"Kok angka nol sih?", aku bertanya heran.

Arinda tersenyum, "dimulai dari nol yah!", katanya sambil memperagakan slogan khas pertamina itu.

Aku tersenyum haru. Namun dari semua itu, aku masih mengharapkan satu kejutan lagi.

****

Telunjukku terus saja mengetuk meja, menunggu seseorang yang sejak tadi ku nantikan. "Lama banget sih!" Tak lama terdengar seseorang mengetuk pagar rumah.

Itu dia!
Aku segera melompat dari ruang tamu dan membukakan pintu. Kehadiran pria itu langsung ku sambut dengan senyum sumringah. Setelah menandatangani sebuah berkas, ia menyerahkan sebuah box persegi berukuran sedang.

"Makasih ya, Mas", kataku pada kurir JNE itu.

Tanpa aba-aba, aku langsung membuka kotak itu secara perlahan. Sebuah benda hitam tampak duduk manis diantara sterofoam yang memeganginya kokoh. Dengan hati-hati dan rasa yang campur aduk, ku ambil benda itu dan mulai menjajalnya. Mata kiriku kini sudah menempel di viewfindernya. Lensa itu kuputar ke kiri dan kanan, berusaha mencari fokus manual.

Ciklek!

Foto pertamaku terpampang di layar; strip merah bertuliskan Canon.

"Selamat ulang tahun, Naira", bisik hatiku mantap.