Thursday, March 21, 2013

3 Sahabat, 2 Pangeran, 1 Cinta




"Abis ini kita kemana lagi nih?", tanya Naira sambil menghabiskan sisa minumannya yang tinggal setengah botol.

"Temenin gue cari senar gitar dong. Senar si biru udah pada putus", pinta Afdal seraya mengeluarkan dompet. "Santai, minuman lo lo pada, gue yang bayarin deh. Asal lo mau nemenin gue. Ya ya ya!"

"Beeh, perasaan lo baru ganti senar seminggu yang lalu deh, kok udah putus aja?!" Gizka yang baru saja mematikan puntung rokoknya langsung buru-buru mengambil uang yang di sodorkan Afdal sebelum pria itu berubah pikiran, lalu menghampiri kasir dan membayar minuman mereka.

"Yaudah, gue temenin deh. Sekalian gue juga mau liat-liat lensa tele." Naira tersenyum dan menatap Afdal dan Gizka secara bergantian.

"Oke! Yuk cabut!" Gizka merogoh saku celananya, mengambil kunci vespa dan berjalan menuju parkiran. Naira dan Afdal mengikuti.

"Kamu bareng aku aja yah, Nai", kata Gizka lembut seraya menyerahkan sebuah helm vespa berwarna merah kepada Naira yang langsung di balas anggukan oleh gadis manis itu.

"Berangkaaaat!" Deru suara vespa dan motor bebek memecah suasana gerah siang itu.

Tiga sahabat.
Berasal dari tiga latar belakang yang berbeda, tiga jalan kehidupan yang berbeda, tiga kepribadian yang berbeda, namun mempunyai satu tujuan yang sama; mewujudkan mimpi mereka. Meski tak sering bertemu, mereka selalu menyempatkan diri untuk sejenak berkumpul bersama.

Naira, satu-satunya gadis di kelompok ini. Cewe manis yang selalu tampil tomboy ini penggila fotografi. Objek yang selalu jadi sasarannya adalah alam. Tuhan itu desainer plus arsitektur terhebat, dan alam adalah salah satu maha karya-Nya. Alasan apa lagi yang ngebuat gue ga tertarik untuk ngabadiin objek sesempurna itu?, begitulah yang selalu ia katakan.

Dua pangeran.
Gizka dan Afdal adalah anggota lainnya dalam komplotan yang mereka namai "Penantang Mimpi" ini. Dan mereka jugalah dua pangeran itu. Dua pria yang dilahirkan dengan penuh keistimewaan.

Afdal adalah pria yang mempunyai pemikiran kritis dan paling netral diantara mereka bertiga. Bakat terpendamnya akan terlihat bila dia mulai memeluk lekuk tubuh benda seksi berwarna biru; gitar kesayangannya. Pria satu ini dianugrahi 10 jemari yang sangat lihai menari diantara barisan senar si biru. Setiap kali ia mulai berkolaborasi dengan si biru, rerumputan seakan berhenti bergoyang, diam menikmati alunan suara petikan gitarnya. Sayangnya, dia sering ceroboh sehingga senar-senar gitar itu sering putus karenanya.

Gizka, si pria bervespa, punya sisi lain untuk menikmati hidup. Seperti Naira, ia juga pecinta alam. Bukan hanya mengaguminya, Gizka lebih tertarik untuk terjun langsung dan menelusuri maha karya Tuhan itu. Dia suka mendaki gunung, menyusuri hutan dan menikmati sunset dari pinggir tebing curam. Dalam setiap kesempatan, dia suka mengajak Naira ikut menjelajah bersamanya. Dan tentu saja, Naira tak pernah menolak ajakan sahabat baiknya itu. Selain ia bisa menambah koleksi foto-foto alamnya, ia juga bisa lebih dekat dengan Gizka, pria yang entah berapa lama diam-diam telah mengisi tiap ruang di hatinya.

***

"Siang, Bang Tigor. Biasa, satu set senar yah." Sapa Afdal pada Tigor, pemilik toko musik langganannya.

"Bah! Cemananya kau ni? Baru minggu lalu kau beli senar di tokoku, udah balek lagi kau kesini beli senar baru. Nanti orang-orang pada ngira senar yang awak jual tak bagus kualitasnya, padahal kau yang anarkis kali pake barang", omelan logat batak yang sangat tidak diharapkan Afdal di terik siang begini keluar begitu saja dari mulut Bang Tigor.

Naira dan Gizka hanya tertawa geli melihat wajah Afdal yang berubah kecut setelah di sembur Bang Tigor.

"Maap lah Bang, laen kali bakal lebih hati-hati aku..", jawabnya santai sambil mengikuti logat batak bang Tigor.

"Ah, suka-suka kau lah. Ku pikir-pikir, bagus jugalah senarmu itu sering-sering putus. Paling tidak, laku jualan aku ini. Hahaha."

Afdal mengeluarkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan dan mengambil satu set senar yang di sodorkan bang Tigor. "Thanks yah bang!"

Selanjutnya mereka meluncur ke toko kamera. Mata Naira seketika bersinar melihat lensa Canon yang selama ini ia idamkan terpajang anggun di dalam sebuah lemari kaca. Kini baris senyumnya juga ikut melebar dan terlihat manis, saat melihat lensa idamannya itu tengah turun harga.

"Tunggu apa lagi? Buruan beli." Bisikan setan dari Gizka membuatnya melenggang masuk ke dalam toko tersebut, menunjuk lensa yang dia inginkan dan menggesekkan kartu ATM; tabungannya selama ini, di mesin kasir. Tak sampai 10 menit, Naira keluar dari toko itu sambil menimang sebuah lensa tele idamannya.

"Ciyeeeh, lensa baruuu," ledek Afdal.

"Gilaa, harusnya gue baru bisa dapetin ini dua bulan lagi. Secara tabungan gue masih belum cukup. Untung banget senar lo putus, Af, jadinya gue bisa beli nih lensa."

"Harusnya lo bilang makasih ke gue. Kalo ga ada bisikan setan gue, lo ga kan terhasut buat beli tuh lensa." Gizka mengangkat dagunya cukup tinggi, bergaya sok cool.

"Iya deeh, gue makasih banget ama lo berdua, pangeran-pangeran kere. Hahaha."

"Selamat yah, si item punya lensa baru." Secara spontan Gizka mengusap kepala Naira. Usapan yang membuat hati Naira seketika berdesir tak karuan.

"Fotoin aku dong pake lensa baru kamu", lanjutnya lembut sambil menatap lurus ke dalam mata Naira. Pandangan mereka bertemu, kemudian saling tersenyum.

Naira segera men-setting timer di dSLRnya. "Camera rolling aaanndd..", dengan sigap Naira menghampiri kedua pria itu yang telah siap memasang pose paling kece mereka, "..cheeeeese..!"

***

Naira berlari secepat yang ia bisa tanpa mempedulikan sudah berapa orang yang ia tabraki di lorong bandara sore itu.

"Bodoh! Mengapa tak mengabariku?", air matanya mulai berjatuhan bersama peluh keringatnya. Di antara keramaian, akhirnya ia melihat Afdal.

"Gizka mana?", katanya dengan napas terengah-engah.

"Baru aja masuk. Pesawatnya udah mau terbang."

"Kenapa gue ga di kabarin?!" Naira menatap Afdal dengan tajam. Mata itu terus berair, meski Naira telah berusaha menghapusnya berkali-kali.

"Gue kira lo udah tau.." Nada suara Afdal terdengar menyesal. "Bukannya lo berdua deket banget?"

Naira memeluk Afdal dan menangis sejadinya. Bendungan yang selama ini ia tahan akhirnya pecah.

"Maafin gue ya, Nai. Gue ngerti kok perasaan lo."

"Kenapa selalu elo yang ngerti sih, bukan dia?"

"Anggep aja lo ditakdirkan jadi pejuang cinta yang hebat."

"Gue ga ngerti, kenapa gue mempertahankan perasaan gue buat dia yang begitu misterius?"

"Kalo ngga ada hal seperti itu, buat apa ada kata "sabar" dalam kosakata?" Afdal mengambil sapu tangan dari saku celananya. "Nanti pasti ada waktunya kok..", katanya seraya menyerahkan sapu tangan itu kepada Naira.

"Kapan kita tau kita sabar ke orang yang tepat?", Naira terduduk lesu di pinggiran koridor. Afdal  mengambil tempat di samping Naira. Ia melihat sudut mata gadis itu, yang kini kosong karena objek yang selalu mengisi celah itu telah pergi.

"Ketika kita tak cepat lelah melakukan itu, Nai. Ga akan ada yang namanya sia-sia, kalo elo ngelakuin itu dengan ketulusan."

Afdal hanya bisa menenangkan hati Naira, seperti yang selalu ia lakukan selama ini. Ia mengerti bagaimana gadis itu menahan perasaan yang selama ini ia tujukan hanya pada Gizka. Ia paham dengan segala curhatan yang selalu Naira tumpahkan padanya tiap malam, dan topik itu tak lepas dari Gizka. Ia tahu, bahwa hanya Gizka, sahabat terbaiknya, yang selalu Naira jadikan objek fotonya, secara diam-diam. Dan seperti selama ini, ia hanya ingin sahabat baiknya itu tersenyum, bukan menangis seperti yang sedang dilihatnya sekarang.

Naira menghapus air matanya, mencoba tersenyum. Kini ia harus belajar mengikhlaskan sesosok sahabat yang mungkin menempati kasta yang lebih tinggi di hatinya, pergi mengejar cita-citanya. Amerika. Negara yang akan di naungi Gizka selama bertahun-tahun untuk mempelajari budaya negri Paman Sam itu.

Tanpa sempat mengucapkan kata pisah, tanpa sempat menjelaskan arti senyuman yang selama ini selalu diciptakannya hanya untuk Naira, tanpa sempat menatap wajahnya yang mungkin untuk terakhir kali, Gizka membawa rasa ketidakpastian itu terbang bersamanya. Di tangannya tergenggam sebuah foto; dua pangeran dan satu gadis manis yang tersenyum di antara mereka.

Satu cinta.
Tak semua rasa itu harus di ungkapkan, namun cukup di rasakan. Pada akhirnya, hanya waktu yang akan menjawab semua pertanyaan kita, kapan kita harus lanjut, atau berhenti memperjuangkan hati dan perasaan ini untuk dia.

Namun seberapa jauhpun waktu melangkah, takkan ada yang berubah. Penantang Mimpi tetaplah berisi tiga sahabat yang selalu diiringi kegilaan, meski orang-orang di dalamnya tak lagi berada di tempat yang sama. Dua pangeran tetaplah menjadi pangeran di hati Naira. Dan satu cinta takkan pudar rasanya, bila setiap rasa itu di hiasi dengan ikhlas dan ketulusan.