Wednesday, March 20, 2013

Kamu Sibuk, Tuan?



Di sela hiruk-pikuknya kesibukan dunia kantor, aku memutar arah kursiku ke jendela ruangan, menatap Jakarta dari lantai 29 dimana kantorku berada. Sejenak melepas penat, ku dekati pandanganku pada burung-burung yang tak sengaja terbang melintas langit yang kini tampak semakin gelap. Sepertinya hujan akan segera turun. Burung-burung itu mengepakkan sayapnya dan meluncur dengan cepat, kembali pulang.

Ku terka, mereka sudah menjelajahi langit di sepanjang hari ini. Jauh dari rumah, jauh dari keluarga yang senantiasa mengkhawatirkan mereka, juga menyelipkan doa untuk keselamatan mereka. Burung-burung kecil itu terbang menembus awan, seakan langit tak berujung itu menjadi arena yang sangat nikmat untuk di cicipi. Bermanufer kesana kemari, menantang bahaya yang siap menelan mereka bulat-bulat.

Meski begitu, sang induk tak pernah melarang mereka menjadi pengembara langit. Mungkin induknya telah memahami bahwa anak-anaknya takkan sehebat sekarang bila mereka terus di pingit dan di kurung walau dalam sangkar emas sekalipun. Mungkin induknya telah mengikhlaskan anak-anaknya untuk pergi hingga ke seluruh penjuru manapun yang ingin mereka jejaki, meski hal itu akhirnya menciptakan jarak yang terus merentang panjang, jauh dan dingin. Semakin dingin dan beku ketika mereka tak saling berkabaran.

Seketika aku tertawa geli atas pemikiranku barusan. Bagaimana para burung berkomunikasi dalam jarak ribuan kilometer? Mereka tak punya handphone seperti manusia. Mungkin keikhlasan itu. Ikhlas melepas, ikhlas dengan ketidaktahuan, ikhlas dengan rentangan jarak. Pada akhirnya, kemanapun burung-burung kecil itu mengudara, apapun yang akan mereka temui di perjalanan mereka, hanya satu tempat yang akan selalu mereka rindukan, dan nantinya tempat mereka kembali; rumah, berkumpul dengan induknya.

Mataku menerawang luas. Langit Jakarta semakin gelap. Gemuruh mulai bertabuh silih berganti. Ku ganti pandanganku ke sebuah benda putih yang tergeletak kaku di samping komputerku. Benda yang ku kenal dengan nama handphone itu tampak begitu dingin dan sendu. Tak ada led hijau yang menyala; led yang hanya ku khususkan untuk setiap notifikasi darimu. Beberapa hari ini benda putih itu tersungkur, naas sekali. Aku mulai mengasihani tubuhnya yang dingin, tak tersentuh hangatnya jajaran pesan yang dulu sering kamu kirimkan.

Genggaman jariku mungkin cukup membantu. Ku buka history chat darimu, mungkin saja hal itu akan membuat tenang perasaan si putih yang terus merindukanmu. Aku ikut tertawa membaca setiap tulisanmu yang begitu konyol. Sepertinya aku jauh lebih merindukanmu melebihi si putih.

Aku mencoba bersikap tenang dengan ketiadaan kabarmu, meski hatiku bergejolak hebat. Beribu-ribu pertanyaan kucoba tekan dengan sangat rapat agar ia tak membuncah memecah tangisku.

Kamu sibuk sekali yah? Ya, aku cukup mengerti. Kamu adalah sesosok pria yang begitu memperjuangkan masa depanmu. Kamu sosok pekerja keras yang tak peduli aral. Kamu begitu ingin membawa mimpi-mimpimu ke dunia nyata. Bukankah begitu, Tuan? Kejarlah. Jadilah seperti apa yang kamu inginkan. Aku mendukungmu. Sungguh.

Kesibukanmu itu mungkin telah menggeserkan posisiku dari sel-sel di otakmu, hingga aku tak lagi sempat terpikirkan. Kesibukanmu itu mungkin membuatmu sangat lelah, hingga sebuah kabarpun tak sempat kamu kirimkan padaku. Tak mengapa, aku akan segera terbiasa dengan ini. Aku hanya sedang berusaha ikhlas, seperti induk burung itu. Kamu tetaplah begitu, bersinar dengan apa yang sedang kamu tekuni. Pada akhirnya, saat kamu merasa rindu, aku berharap kamu akan kembali menyapaku.

Hujan telah membasahi tiap sisi Jakarta. Burung-burung itupun tak terlihat lagi. Mungkin mereka telah tiba di sarangnya. Mataku juga menurunkan hujan, sayup-sayup membasahi wajahku. Namun mengapa kamu belum juga kembali? Apa kamu tersesat di tengah perjalananmu, Tuan?