Hai, namaku Kamalei. Aku seorang
anak yang terlahir cacat. Amak bilang, aku lahir prematur, 7 bulan sudah
menyapa dunia. Mungkin itu sebabnya fisikku berbeda dari teman-temanku yang
lain. Aku hanya tinggal berdua dengan amak, di sebuah gubuk kecil di pinggir
kota Jakarta.
“Malei..! Pulang nak, sudah senja.”
“Iya,
Mak. Sebentar lagi.”
Itu
amakku. Ia wanita yang hebat. Setiap sore ia selalu berkeliling menelusuri
jalanan, menyinggahi satu rumah ke rumah yang lain, menawarkan dagangannya; air
bersih. Di daerahku, sulit sekali untuk mendapatkan air bersih. Meski desa kami
di lalui sebuah sungai yang cukup besar, namun airnya tak dapat di gunakan
karena sudah tercemar. Airnya berwarna hitam, mengeluarkan bau yang menyengat.
Alirannya pun sudah tak jelas, mengarah ke timur atau ke barat. Namun beberapa
warga masih saja mau mencuci dan mandi dengan keadaan seperti itu.
Untunglah
di dekat rumahku ada sumur yang airnya lumayan jernih. Jadilah amak menimba
sumur itu dan mendagangkannya. “Untuk membantu tetangga,” ujar amak. Beliau tak
mematok harga untuk setiap sekaleng penuh air jernih. Seikhlas hati saja,
karena warga di sini hanya bekerja sebagai buruh. Bahkan sebagian dari mereka
hanya pengamen dan pemulung jalanan. Untuk mengeluarkan uang seribu saja pasti
sangat berat bagi mereka.
“Dinda,
aku pulang dulu yah. Besok kita belajar bersama lagi. Oke?!”
“Oke,
Malei.”
Gadis
manis yang baru saja aku ajak mengobrol tadi bernama Dinda. Dia temanku. Emm,
temanku satu-satunya. Aku tak punya banyak teman di sini. Mereka
mengolok-olokku karena aku cacat. Padahal, mereka tak lebih hebat dariku. Hanya
saja, mereka bisa bebas bersekolah dan aku tidak.
Aku
sangat ingin bersekolah. Memakai seragam, ikut upacara, belajar, pasti seru sekali.
Namun mimpi itu terpaksa aku kubur dalam-dalam.
“Kamu
mau sekolah di sini? Hahaha. Anak miskin dan cacat sepertimu ga pantas untuk
bersekolah di sini. Harusnya kamu ke SLB (Sekolah Luar Biasa) saja. Itu lebih
cocok untuk menampungmu. Pulanglah, kamu membuang-buang waktu saja berada di
sini, nak. Hahaha!”
Begitulah
cercaan yang ku dapat dari seorang kepala sekolah yang menjabat di sebuah
sekolah, satu-satunya sekolah di desaku. Aku pulang hari itu. Namun aku kembali
di hari berikutnya, dan berikutnya, dan berikutnya. Namun nada suara dan air
mukanya tetap sama kepadaku. Terakhir kali aku kembali ke sekolah itu, seorang
satpam mengusirku dan mendorongku hingga aku terjerembab di depan gerbang
sekolah.
Di
perjalanan pulang, ku lihat sebuah poster sisa kampanye cagub-cawagub beberapa
bulan lalu. Masih tertulis jelas di poster itu, “sekolah gratis bagi anak tidak
mampu.” Andai saja aku bisa bertemu dengan gubernur penebar janji itu, aku
ingin bertanya padanya, dimana sekolah gratis yang anda janjikan, Tuan? Apa
anda melupakan janji anda? Apa semua orang besar seperti itu? Apa aku tak
berhak mendapatkan ilmu dan belajar yang layak seperti anak-anak yang lain?
****
“Kamu
belajar bersama gadis itu lagi?”, kata amak seraya menuangkan teh untukku.
“Iya,
Mak. Tadi Malei mengalahkan dia dalam soal matematika,” senyumku mengembang, "lalu
karena kesal, Dinda mencubit pipiku.” Kataku sambil menunjukkan pipi kananku
yang habis di cubiti oleh Dinda.
“Hahaha.
Malei.. Malei..”, amak tertawa, lalu mengelus kepalaku. Ah, aku suka sekali
kalau amak sudah melakukan ini. Tanpa menunggu detik berikutnya, aku telah
berada di pelukan amak.
“Maafkan
amak, Malei, tak bisa menyekolahkanmu.”
“Belajar
itu tak harus di bangku sekolah kan, Mak. Amak mengajarkan Malei tentang hal
yang tak bisa Malei dapatkan di sekolah. Dan Dinda mengenalkan Malei seperti
apa pendidikan itu. Malei senang, Mak. Tak usahlah Amak sedih begitu.”
Ku
lihat pipi amak basah. Sepertinya perkataanku tadi menyentuh hatinya. Di antara
bulir air mata amak, aku berdiskusi dengan diriku sendiri, lalu membuat janji.
Sekolah, kelas, papan tulis, guru. Suatu saat nanti, aku akan duduk di situ,
memakai seragam dan belajar seperti anak-anak yang lain. Meski aku cacat, tapi
aku punya mimpi yang sempurna.
Hai
dunia! Kenalkan, aku Kamalei.