Wednesday, March 27, 2013

Kamalei


Hai, namaku Kamalei. Aku seorang anak yang terlahir cacat. Amak bilang, aku lahir prematur, 7 bulan sudah menyapa dunia. Mungkin itu sebabnya fisikku berbeda dari teman-temanku yang lain. Aku hanya tinggal berdua dengan amak, di sebuah gubuk kecil di pinggir kota Jakarta.

“Malei..! Pulang nak, sudah senja.”

“Iya, Mak. Sebentar lagi.”

Itu amakku. Ia wanita yang hebat. Setiap sore ia selalu berkeliling menelusuri jalanan, menyinggahi satu rumah ke rumah yang lain, menawarkan dagangannya; air bersih. Di daerahku, sulit sekali untuk mendapatkan air bersih. Meski desa kami di lalui sebuah sungai yang cukup besar, namun airnya tak dapat di gunakan karena sudah tercemar. Airnya berwarna hitam, mengeluarkan bau yang menyengat. Alirannya pun sudah tak jelas, mengarah ke timur atau ke barat. Namun beberapa warga masih saja mau mencuci dan mandi dengan keadaan seperti itu.

Untunglah di dekat rumahku ada sumur yang airnya lumayan jernih. Jadilah amak menimba sumur itu dan mendagangkannya. “Untuk membantu tetangga,” ujar amak. Beliau tak mematok harga untuk setiap sekaleng penuh air jernih. Seikhlas hati saja, karena warga di sini hanya bekerja sebagai buruh. Bahkan sebagian dari mereka hanya pengamen dan pemulung jalanan. Untuk mengeluarkan uang seribu saja pasti sangat berat bagi mereka.

“Dinda, aku pulang dulu yah. Besok kita belajar bersama lagi. Oke?!”

“Oke, Malei.”

Gadis manis yang baru saja aku ajak mengobrol tadi bernama Dinda. Dia temanku. Emm, temanku satu-satunya. Aku tak punya banyak teman di sini. Mereka mengolok-olokku karena aku cacat. Padahal, mereka tak lebih hebat dariku. Hanya saja, mereka bisa bebas bersekolah dan aku tidak.

Aku sangat ingin bersekolah. Memakai seragam, ikut upacara, belajar, pasti seru sekali. Namun mimpi itu terpaksa aku kubur dalam-dalam.

“Kamu mau sekolah di sini? Hahaha. Anak miskin dan cacat sepertimu ga pantas untuk bersekolah di sini. Harusnya kamu ke SLB (Sekolah Luar Biasa) saja. Itu lebih cocok untuk menampungmu. Pulanglah, kamu membuang-buang waktu saja berada di sini, nak. Hahaha!”

Begitulah cercaan yang ku dapat dari seorang kepala sekolah yang menjabat di sebuah sekolah, satu-satunya sekolah di desaku. Aku pulang hari itu. Namun aku kembali di hari berikutnya, dan berikutnya, dan berikutnya. Namun nada suara dan air mukanya tetap sama kepadaku. Terakhir kali aku kembali ke sekolah itu, seorang satpam mengusirku dan mendorongku hingga aku terjerembab di depan gerbang sekolah.

Di perjalanan pulang, ku lihat sebuah poster sisa kampanye cagub-cawagub beberapa bulan lalu. Masih tertulis jelas di poster itu, “sekolah gratis bagi anak tidak mampu.” Andai saja aku bisa bertemu dengan gubernur penebar janji itu, aku ingin bertanya padanya, dimana sekolah gratis yang anda janjikan, Tuan? Apa anda melupakan janji anda? Apa semua orang besar seperti itu? Apa aku tak berhak mendapatkan ilmu dan belajar yang layak seperti anak-anak yang lain?

****

“Kamu belajar bersama gadis itu lagi?”, kata amak seraya menuangkan teh untukku.

“Iya, Mak. Tadi Malei mengalahkan dia dalam soal matematika,” senyumku mengembang, "lalu karena kesal, Dinda mencubit pipiku.” Kataku sambil menunjukkan pipi kananku yang habis di cubiti oleh Dinda.

“Hahaha. Malei.. Malei..”, amak tertawa, lalu mengelus kepalaku. Ah, aku suka sekali kalau amak sudah melakukan ini. Tanpa menunggu detik berikutnya, aku telah berada di pelukan amak.

“Maafkan amak, Malei, tak bisa menyekolahkanmu.”

“Belajar itu tak harus di bangku sekolah kan, Mak. Amak mengajarkan Malei tentang hal yang tak bisa Malei dapatkan di sekolah. Dan Dinda mengenalkan Malei seperti apa pendidikan itu. Malei senang, Mak. Tak usahlah Amak sedih begitu.”

Ku lihat pipi amak basah. Sepertinya perkataanku tadi menyentuh hatinya. Di antara bulir air mata amak, aku berdiskusi dengan diriku sendiri, lalu membuat janji. Sekolah, kelas, papan tulis, guru. Suatu saat nanti, aku akan duduk di situ, memakai seragam dan belajar seperti anak-anak yang lain. Meski aku cacat, tapi aku punya mimpi yang sempurna.

Hai dunia! Kenalkan, aku Kamalei.