Thursday, March 7, 2013

Aku, Kamu, Sama!



"Kenapa kamu kembali?!", tanyaku tajam yang langsung menusuk hatinya.

Ia terdiam cukup lama. Pandanganku lurus ke depan, tak melirik dia yang sejak tadi duduk di sampingku. Aku tak ingin menatap mata itu lagi, mata yang selalu berhasil membuatku luluh. Mata yang berhasil membuatku tak ingin berpaling. Mata yang sanggup membuatku mengatakan bahwa aku mencintainya.

"Mengapa kamu begitu sinis padaku?", tanyanya lembut.

"Sinis katamu?!"

Kali ini aku benar-benar menatap mata hitam kecoklatan itu. Pandangan kami bertemu. Cahaya dari penerangan lampu taman yang redup membuatku samar melihat wajahnya. Ia tak berubah, wajah yang sama yang ku temui beberapa bulan yang lalu. Namun kini aku benci melihat wajah itu. Setiap lekuk pipinya membuat masa lalu kembali mencabik-cabik ingatanku.

****

Semuanya masih tergambar jelas. Ketika dia pertama kali menggenggam jariku. Ketika dia mengatakan bahwa dia juga mencintaiku. Hari itu menjadi salah satu hari terindah dalam hidupku. Dekapan hangat yang tak bisa aku lupakan, seolah aku menemukan sebuah sandaran hati yang begitu nyaman, hangat dan tak pernah ingin aku lepaskan. Sebuah rasa yang muncul dari kecil sekali, semakin lama semakin membesar. Rasa yang hanya aku tujukan untuk dia. Sebuah rasa yang didalamnya terselip doa agar dia selalu bahagia.

Dia selalu ada mengisi celah di hari-hariku. Selalu memberiku semangat dengan senyumannya yang begitu manis, menurutku. Semua berjalan seperti hembusan angin di padang rumput; sejuk dan menyenangkan. Meski tak ada ikatan dalam hubungan ini, namun aku cukup bahagia karena aku memiliki hatinya. Setidaknya untuk beberapa saat, sebelum aku tau kalau semua perkataan dan perlakuannya hanya kebohongan semata.

Dia tak pernah mencintaiku. Itulah kalimat yang pertama kali dia tusukkan tepat di jantungku. Aku meringis, mengasihani diriku sendiri. Betapa bodohnya aku, begitu percaya dengan segala bualannya. Aku berharap kamu tak pernah membuat janji bila kamu tak mampu mewujudkannya. Karena bersamaan dengan janji, ada harapan yang mengiringinya. Harapan yang percaya bahwa janji itu akan terjadi suatu saat nanti. Suatu saat, entah kapan saat itu tiba.

Aku membiarkannya mengendap pergi, bersama gadis itu, gadis yang sangat disayanginya; bukan aku. Perlahan ku susun kembali bingkai demi bingkai kehidupanku. Cukuplah malam itu saja aku merasa sakit yang luar biasa. Menguras air mata untuk kesalahan konyolku hanya akan membuatku semakin terlihat konyol. Karena dalam mencintai seseorang, haruslah dengan rasa ikhlas, sehingga kita takkan merasa sakit bila pengharapan akannya tak pernah sampai.

Ikhlas. Sungguh sulit bagiku untuk mengikhlaskan cinta ini memudar. Bayanganmu terus saja muncul di celah kosong tiap molekul di otakku. Semakin aku berusaha lupa, semakin kuat ia mencengkramku. Seiring itu pula, rasa benci muncul di hatiku. Yah, aku membencimu karena aku tak bisa tidak mencintaimu. Bodohkah aku? Mungkin. Aku telah menjadi bodoh sejak pertama kali hatiku mengenalmu.

****

Aku dan dia masih terpaku di bangku taman. Ku tatap beberapa burung di langit yang terbang beriringan, pulang menuju sarangnya. Langit jingga kini tak terlihat lagi, berganti dengan langit gelap tanpa bintang. Tak ada suara yang timbul selain degub jantungku yang semakin jelas ku dengar.

Pria itu berdiri. Sepertinya ia kesal karena daritadi aku mengacuhkan segala kalimatnya. Meski begitu, sebenarnya aku mendengar setiap kata yang ia ucapkan. Ada rasa senang di hatiku ketika dia berkata bahwa ia tak lagi bersama gadis itu. Aku tak tau apa yang terjadi dengan hubungan mereka. Aku melirik sudut matanya, ada kesedihan dan kekecewaan disana. Seperti yang pernah aku alami beberapa bulan yang lalu.

Mungkin aku mengerti. Dia juga sama sepertiku, ingin memperjuangkan cinta yang diam-diam menggerogoti hati dan pikiran. Ingin merasakan kebahagiaan saat rasa yang kita pelihara itu juga dirasakan olehnya, yang namanya selalu ada dalam doa yang kita rapalkan di setiap sujud. Dia sama sepertiku, belajar ikhlas untuk mencintai, bukan terus menerus mengharapkan.

Kini ia berlutut di depanku, menggamit tanganku dan memasangkan sebuah cincin di jari manisku.

"Aku ingin mencintaimu.."

Aku tak berusaha melepas lingkaran cincin itu. Entah mengapa, aku ingin mempercayainya sekali lagi. Ada ketulusan yang aku lihat di matanya. Mungkin sudah saatnya aku belajar memaafkan. Aku ingin menyembuhkan rasa sakit ini bersamanya. Cinta itu bodoh. Mencintaimu adalah kebodohan yang kedua. Namun aku akan memilih menjadi seorang yang bodoh, hanya untuk melihat sebaris senyum terus menggantung diantara pipimu.