Wednesday, March 6, 2013

Yang Mereka Sebut Maya


Hanya sekali. Kita menyaksikan matahari terbit di timur, dan menghabiskan hari itu hingga pangeran siang digantikan tugasnya oleh ratu berwajah pucat yang kita namai bulan. Pertama kalinya, aku melihat baris wajahmu secara nyata. Senyum yang selalu muncul di garis bibirmu, tawa yang selalu kamu ciptakan di akhir celotehmu, juga sorotan tajam dari matamu yang jatuh tepat di depan mataku.

Aku hanya diam. Mencoba mangacuhkan rasa rindu yang semakin mengganggu, setiap kali aku membaca jejeran huruf yang kamu kirimkan di sela hari-hariku. Namun aku tak pernah berhasil. Bayangmu selalu berhasil menarikku untuk mencicipi rasa ini. Rasa yang hanya bisa memudar ketika jarimu mengisi setiap sela jariku; pertemuan.

Kamu di sana, di sebuah kota yang dinaungi istana yang kini kehilangan masa jayanya. Sedangkan aku disini, kota dimana roda pemerintahan negara berputar dalam sebuah gedung putih. Beribu jarak terbentang memisahkan kita. Tak ada yang mampu aku lakukan selain memeluk kata-kata dan suaramu. Sesekali aku memandang langit, berharap kamu juga melakukannya. Setidaknya, kita berada di bawah langit yang sama meskipun kita memandangnya dari tempat yang berbeda.

Entah bagaimana kamu menamai hubungan ini. Sebuah kata yang kamu ucapkan dari percakapan konyol kita. ketika aku dan kamu, menggenggam janji yang mungkin orang lain takkan mengerti; kita. 

Aku akan segera pulang; menemuimu. Bisakah sejenak kamu duduk disampingku? Aku ingin menunjukkan pada mereka kalau cinta yang kita jalin secara maya, bukanlah cinta yang fana. Ada buih-buih rasa yang membumbung tinggi hingga mengetuk pintu nirwana. Cinta ini tak bersifat maya seperti ruang yang kita gunakan untuk menyatukannya.

"Janji kelingking?"
"Janji kelingking."
Sesederhana itu, cerita kita tercipta.