Friday, February 22, 2013

Sajak Musisi Jalanan

Namaku Acil. Yah, aku biasa dipanggil begitu. Aku tak tau nama asliku. Ibuku sudah lama meninggal ketika aku ingin bertanya siapa namaku dan bagaimana rupa ayahku. Bang Codet yang memberiku nama itu. Katanya itu singkatan dari "Anak keCIL". Hahaha. Ada-ada saja ide pria setengah gila itu. Tapi aku menyayanginya. Begitupun dia, kurasa.

Dia selalu memberiku nasi bungkus sisa makanannya. Dua atau tiga suap nasi, cukuplah untuk mengisi perut kecilku. Terkadang kalau Bang Codet lagi senang hati, aku di belikan sebungkus nasi dengan segudang campuran kuah ikan. Makanan termewah yang pernah kumakan adalah ayam goreng, yang kudapat dari tong sampah sebuah restoran kaki lima. Aku pikir itu adalah sisa makanan pelanggan restoran itu. Terkadang aku ingin makan sesuatu yang aku lihat di sebuah brosur. Kata Bang Codet nama makanan itu pizza. Ah, pasti enak sekali makanan itu. Hanya orang-orang kaya yang diperbolehkan mencicipinya, begitulah kira-kira yang Bang Codet bilang kepadaku.

Jakarta adalah rumahku. Aku bisa tinggal di trotoar manapun, sesukaku. Atapnya adalah hamparan langit yang bertabur polusi jalanan. Hei, jangan berharap banyak untuk bisa melihat bintang di langit Jakarta. Di kota ini, bintang berada di tanah. Orang-orang yang berdiri di gedung pencakar langit pasti sangat memahami hal ini. Aku suka rumahku. Hanya saja aku tak berharap hujan terlalu sering mengguyur jakarta. Bisa kewalahan aku mencari tempat tidur. Aku tak mau tidur di trotoar basah. Biarpun aku hanya anak jalanan, tapi aku tetap peduli terhadap kesehatanku sendiri. Kalau nanti aku sakit, bagaimana aku mengisi sejengkal perut ini? Matilah aku.

O iya, dulu aku sering berkejaran dengan petugas Pol PP. Mereka membawaku ke sebuah ruangan ber-AC. Banyak bapak-bapak berperut buncit disana. Seharian aku ditahan. Kadang sampai menginap. Mereka lebih tampak membual daripada menasehatiku. Aku biarkan saja dan tak peduli apapun yang mereka katakan. Mengapa? Mereka sama sekali tak memberikan jalan keluar. Aku benci sekali aparat seperti itu. Tapi kini aku sudah pintar. Bang Codet yang mengajariku. Ketika petugas itu datang lagi untuk memisahkanku dari rumahku, aku bersembunyi di balik semak. Kadang aku melempari mereka dengan batu. Aku kesal.

Aku pernah mendengar pidato Pak Presiden, beliau bilang kalau pengemis dan anak terlantar akan dipelihara oleh negara. Aku bertanya, dimana negara yang dia bilang itu? Apa tangan negara tak mampu memberi makanan dan tempat tinggal layak untuk anak kecil seperti aku?

Aku tak mengenal bangku sekolah. Terkadang aku ingin memakai seragam dan belajar dengan layak. Namun jalanan menuntutku menjadi seorang musisi. Yah, musisi jalanan. Setidaknya aku bisa menghasilkan uang sendiri, bukan mereka yang masih merengek pada orang tua saat menginginkan sesuatu. Dasar anak manja!

Aku punya cita-cita. Menjadi seorang presiden. Aku tak tahan dengan negara yang kacau balau ini. Aku ingin jadi presiden. Akan ku tata kembali sistem pemerintahan Indonesia. Aku pintar menata kardus-kardus yang berserakan di pinggir toko. Bagiku, Indonesia ini juga seperti kardus-kardus berserakan itu. Cuma butuh niat dan tindakan yang kuat supaya yang berantakan itu bisa tersusun rapi.

Sampai disini saja aku bercerita. Aku takut kalian muak membaca tulisan bodoh anak yatim piatu lusuh sepertiku. Aku mau kembali ke jalanan dulu. Banyak telinga para penumpang bis yang sudah rindu suara merduku. Biar jelek begini, aku pintar bernyanyi lho. Kalian tak percaya? Lain kali akan ku perdengarkan syair indah dari om Iwan Fals, tapi kalian harus membayarku dengan uang kertas bergambar pahlawan Pattimura. Tidak, tidak. Aku hanya bercanda. Bernyanyi itu hobiku. Kalian mau mendengarkannya saja aku sudah senang.