Sunday, February 24, 2013

Gizu

Hai, aku Gizu. Ibuku bilang aku akan segera menginjak usia  tujuh tahun 2 hari lagi. Ia berjanji akan menghadiahiku sepeda, agar aku tak berjalan kaki lagi menuju sekolahku yang berjarak 5 km dari tempat tinggal kami. Aku senang sekali saat mendengar hal itu. Kakiku sering lecet karena perjalanan yang aku tempuh sangat menyebalkan. Aku sering terlambat, padahal aku sudah berlari secepat yang aku bisa. Aku berharap bisa berangkat lebih pagi, namun aku harus membantu ibu mengantarkan kue, untuk di titipkan ke warung-warung kopi di dekat danau Poso. Ibu tak pernah berani keluar rumah karena ia mengenakan kerudung. Aku tak mengerti mengapa.  Ibu hanya tersenyum datar saat aku tanya.

Tepat 2 hari yang lalu. Desaku diserang oleh segerombolan orang asing. Mereka berpakaian serba hitam dengan salib di dada dan ikat kepala berwarna merah. Wajah mereka bengis dan kejam. Ibu yang menyadari kedatangan mereka langsung menyembunyikan aku di dalam lemari, lalu membungkusku dengan pakaian seadanya.

"Tetap disini!", katanya lembut.

Setelah memelukku cukup lama dan mendaratkan sebuah ciuman hangat di keningku, ia berlalu pergi. Sesaat kemudian ku dengar suara tembakan dan dentuman bom. Riuh sekali. Lalu terdengar suara tangis dan teriakan memekik. Aku takut, ibu.

Brak!

Tiba-tiba aku mendengar seperti ada yang mendobrak pintu rumahku. Ibu. Itu suara ibu. Aku coba mengintip dari sela lemari kayu. Beberapa pria bertubuh tinggi tegap terlihat disana. Mereka tampak seperti malaikat maut. Tidak, mereka lebih menyeramkan daripada malaikat pencabut nyawa itu. Mereka seperti iblis. Salah satu diantara mereka tersenyum bengis. Ku dengar ibu menangis memohon ampun. Tidak, apa yang mereka lakukan? Mereka mulai merobek baju ibu. Astaghfirullah! Jangan perkosa ibuku! Aku ingin keluar dan menghabisi bajingan-bajingan itu. Namun ku lihat mata ibu melirik ke arahku, memberi isyarat agar tidak melakukan tindakan bodoh apapun.

Ibu meringis kesakitan. Secara bergantian tiga hewan biadab itu menikmati tubuh ibuku. Aku menggigit bibirku. Aku tak tahan. Aku keluar dari persembunyianku. Ku raih sebuah kursi kayu yang berada di dekatku.

"Jangan sakiti ibukuuu!"

Ku layangkan kursi itu tepat ke arah kepala salah satu bajingan yang kini berada di atas ibu. Ia tersungkur. Darah segar mengalir dari kepalanya. Ku lirik dua temannya yang tercengang melihat kejadian beberapa detik yang lalu. Belum sempat ku lemparkan kursi itu ke arah mereka, aku terlebih dahulu diserang. Sebuah ujung senapan mengenai pelipisku. Aku terjatuh menghempas lantai. Ku dengar pelatuk di tarik, dua timah panas meluncur dari mulut senjata laras panjang itu. Ibu berteriak.

Gelap.

****

"Selamat ulang tahun, jagoan ibu. Jadilah anak yang sholeh, seperti almarhum ayahmu. Seringlah membaca al-qur'an, dan pegang teguh agama islam di dadamu. Apapun yang terjadi, jangan pernah ingkar kepada Allah", senyum ibu menghiasi awal hariku, tepat saat aku membuka mata, setahun yang lalu.

Namun hari ini berbeda. Batu nisan ibu bahkan tak mampu mengucap sepatah katapun. Mataku panas. Ku tatap gemerisik air di pinggiran danau Poso. Lambaian rerumputan yang dulu sering menggodaku untuk bermain bersamanya, kini tak lagi sama. Warna hijau itu kini berhias bercak darah sisa pertempuran kemarin lusa. Minggu pagi, harusnya matahari bersinar cerah hari ini. Namun goresan awan kelabu menghalangi sinarnya. Rintik hujan menambah suasana pilu.

Ibu, mengapa perbedaan itu menjadi sebuah masalah besar? Bukankah pancasila dan undang-undang membebaskan umat manusia untuk memeluk agama sesuai keyakinannya? Bahkan di ibu kota, mesjid dan gereja dibangun berhadapan, sebagai simbol toleransi umat beragama.

Mengapa ibu? Mengapa untuk meyakini Tuhan saja harus sesulit ini? Bukankah Tuhan hanya satu? Cuma cara kita mengenalnya saja yang berbeda. Bukankah ini hanya urusan hamba dan Tuhannya? Apa urusannya orang lain mengganggu hubungan kita dengan Sang Pencipta? Jelaskan padaku ibu, apa yang salah? Bahkan Tuhan tak menuntut manusia untuk memeluk satu agama. Mengapa manusia jahanam itu bertingkah seolah-olah mereka lebih berkuasa dari Tuhan?

Hening. Tak ada jawaban. Rintik hujan semakin deras. Makam ibu menjadi becek. Ku peluk gundukan tanah merah itu.

"Bawa aku pergi dari sini, Ibu.."

Sejenak ku rasa curahan hujan berhenti membasahi tubuhku. Aku berbalik melihat ke belakang. Ah, pria berjubah hitam itu lagi. Aku tersenyum dan memejamkan mata. Sebuah jentikan dari tuas senapannya berhasil mengantarkanku lebih dekat dengan ibu. Kini aku tak merasa sendiri lagi.