Thursday, February 21, 2013

Ketulusan


"Mengapa kamu memilihku? Padahal kamu tau di hatimu tertulis nama orang lain."

Gadis itu terdiam. Ditatapnya lekat mata seorang pria di depannya yang penuh dengan tanda tanya. Seketika itu dibuangnya pandangannya, beralih pada sang matahari dan semburat cahaya jingganya yang mulai menghilang, tenggelam di ufuk barat.

"Aku ingin mencintai orang yang mencintaiku, ketika aku sadar mencintainya hanya akan membuat lukaku makin dalam", tukas gadis itu jujur. Ada rasa getir yang menyeringai di tiap perkataannya.

"Bukankah hanya butuh ketulusan dalam mencintai? Ikhlaslah memberi rasa sayang, maka takkan ada luka yang kamu rasakan", Gizka mencoba meyakinkan. Kini kesepuluh jemari mereka mulai mengisi celah satu sama lain.

 "Mencintai tanpa memiliki? Itu bullshit, Giz!" Naira membiarkan kakinya di gelitik semburan air pantai. Namun ia sadar, hatinya telah lama digelitik bayangan masa lalu. Nama pria yang dulu dan selalu memenuhi setiap sudut hati dan pikirannya kini mencengkram ingatannya. Menggantung dan mengalun riuh dalam setiap bayang-bayang pikirannya. Sesak. Bulir hangat mulai menggenang di pelupuk matanya.

"Kamu lihat tanah yang menjulang tinggi menantang langit itu?", Naira mengarahkan pandangannya ke sebuah gunung yang ditunjuk Gizka. "Gunung itu selalu memberi keindahannya. Apa dia pernah marah ketika manusia hanya bisa merusaknya? Itulah ketulusan, Nai.."

Naira terdiam lagi. Kata - kata pria itu menyentuh hatinya. Nai meraba hatinya sendiri, mencoba menemukan jawaban dari kebingungannya.

"Kamulah gunung itu. Dan aku adalah manusianya." Suaranya terdengar parau. Digigitnya kuat-kuat bibir bawahnya, agar genangan air mata yang tertumpu pada pelupuknya tak tertumpah.

Gizka hanya tersenyum simpul. Diacaknya rambut gadis itu yang tampak berantakan tersapu angin senja, lalu melingkarkan kedua tangannya mengelilingi bahu gadis itu. Dengan sedikit menarik, dibiarkannya gadis itu terkulai dalam pelukannya.

"Apa aku yang udah terlalu bodoh? Ga bisa melihat cinta yang selama ini tulus kamu beri? Pengharapan konyolku akannya, seperti pungguk merindukan pluto. Jauh dan mustahil aku gapai," Nai mulai terisak.

"Jika nanti ufuk senja tak lagi jingga, embun enggan hadir menyambut pagi, meski aku tak lagi mampu mengingat, namamu udah terpatri di hati ini. Ga akan berubah."

Naira menyeka air matanya yang kini mulai membasahi pipi. Ia tersenyum seadanya. "Bantu aku mencintaimu. Jadilah dayung keduaku. Aku sangat lelah mendayung perahu ini sendirian."

Naira menenggelamkan wajahnya ke pelukan Gizka. Ada rasa hangat yang ia dapati disana. Sebuah cinta, yang mungkin takkan bisa ia temukan dari seorang pria yang hingga kini namanya masih tertulis jelas di hatinya. Seorang pria yang sangat ia cintai, namun tak pernah mengerti isi hatinya. Seorang pria yang hanya hidup di angannya, namun tak pernah hadir di depan matanya. Seorang pria, yang bahkan tanpa disadari Naira, takkan pernah bisa membalas perasaan gadis itu. Seorang pria, yang ia harapkan bisa menghilang dari cerita hidupnya.

Nai berjanji pada dirinya sendiri, akan memberi cinta pada orang yang saat ini ada di rangkulan tangannya. Orang yang benar-benar menyayanginya. Orang yang nantinya akan menggantikan nama yang telah terpatri di hatinya dengan sebuah nama baru. Nama yang akan mengisi hari-harinya, melukis barisan senyum di bibirnya, menumbuhkan benih cinta di hatinya. Gizka.