Tuesday, May 21, 2013

Rasa



"Ketika kamu bertemu dengan orang yang mau melakukan apapun tanpa kamu minta, jangan pernah bertindak bodoh untuk membiarkannya berlalu pergi"



Aku memperhatikannya, bahkan sebelum aku benar-benar mengenalnya. Aku tertarik dengan segala aktifitasnya di dunia maya, ketika kami bahkan belum pernah saling menyapa. Saat itu, ia tengah memasang avatar foto tersenyum datar dengan tangan kanan memegang kamera, disebuah sudut panorama Bromo. Gayanya yang terkesan cuek dan acuh membuatku penasaran untuk mengenalnya lebih dalam lagi.


****


Pukul 11.00 waktu Indonesia bagian kampus. Matahari sangat bersemangat untuk melontarkan seluruh sinarnya ke arah bumi, yang berhasil membuat peluh keringatku dan sebagian besar penghuni kampus mengucur deras dari pori-pori kulit. Aku tengah memainkan Blackberry-ku sambil berdiri di depan kelas bersama teman-temanku, menunggu dosen yang hampir selalu datang lebih lama dari mahasiswanya.

Ditengah hiruk pikuk dan canda tawa kami, dari ujung koridor, muncul seseorang yang belum pernah kutemui sebelumnya, menghampiri kami dengan langkah agak tergesa-gesa.

"Udah masuk, belum?", tanyanya yang entah ditujukan kepada siapa.

"Belum. Tuh pintunya masih dikunci..", jawabku kemudian, yang kuterka cukup jelas untuk menjawab pertanyaannya. Dia hanya mengangguk menanggapi jawabanku.

Diam-diam, kuperhatikan setiap sisi pria yang tengah berdiri di depanku itu dari kaki hingga ujung rambut. Tak ada yang salah dengan penampilannya, hanya saja..

"Buset dah tu rambut! Bisa nyimpen konci motor kali yah?!", celetuk salah seorang temanku.

Eum, style rambutnya pasti bakal mengundang banyak pasang mata untuk sejenak meliriknya. Rambut kribo layaknya rambut Edi Brokoli. Sejujurnya, aku juga berpikiran sama dengan temanku, dia terlalu aneh untuk dianggap manusia normal. Terlebih, aku belum pernah sekelas dengan orang-orang berstyle sejenis dia. Namun dia terlihat tak peduli dengan apa yang kami pikirkan tentangnya. Dia tetap cuek dan bertingkah seolah-olah tak ada hal aneh yang sedang terjadi.

"Nama lo siapa?", tanya Putri kepada manusia kribo itu ketika kelas sudah dimulai.

"Naifal..", jawabnya seraya mengulurkan tangan.

"Gue Putri", balas temanku yang juga mengulurkan tangan, dan akhirnya mereka saling berjabat.

"O iya, ini temen gue, Naira," Putri melirik kearahku yang diikuti oleh Naifal. Kubalas pandangan mereka dengan sebuah senyuman dan uluran tangan.

"Hai, gue Naira", kataku datar. Naifal menjabat tanganku dan ikut menyebutkan namanya.

"Kok gue baru liat elo sekarang sih? Padahal ini kan udah pertemuan ketiga..", tanya Putri, membuka pembicaraan.

"Iya, kemaren-kemaren gue sibuk", jawab si manusia kribo itu ramah. Aku hanya memperhatikan dan sesekali ikut dalam pembicaraan seru mereka.

Berhari-hari setelah jabat tangan itu, aku baru menyadari bahwa ia adalah pria pemegang kamera yang kutemui di dunia maya.


"Takdir telah memainkan perannya. Dan ketika dua anak manusia dipertemukan, aku yakin akan ada sesuatu yang baik di depan"


****


Aku meraih Blackberry-ku yang sejak tadi terdiam dingin di atas kasur. Tak ada BBM ataupun telpon dari Gizka, pacarku.

"Mungkin dia lagi sibuk", gumamku dalam hati. Hanya itu alasan yang dapat kupikirkan. Setidaknya hal itu dapat menenangkan hatiku dari seluruh pertanyaan dan rasa rindu akibat tak mendapat kabar darinya dalam beberapa hari belakangan ini.

Kutekan berapa deret nomor yang sudah kuhafal diluar kepala. Sesaat kemudian, nada sambung terdengar. Aku menunggu dan berharap dia yang berada di seberang sana mengangkat telponku. Namun tak ada respon. Kuulangi lagi kegiatanku itu, namun hasilnya tetap sama, telponku tak diangkat olehnya.

"Gizka, kamu lagi ngapain sih?", aku mulai menggerutu.

Kuhempaskan tubuhku ke atas kasur. Kutatap kembali layar Blackberry-ku dan membuka aplikasi BBMnya. Aku search nama Gizka, dan mulai mengiriminya sebaris chat..

"Hei Mr. Koala.. I miss you~"

Hanya centang dengan huruf D diatasnya. Kutunggu beberapa menit, simbol itu tak urung berubah. Aku terdiam. Sejenak kurasakan pelupuk mataku mulai memanas. Ada rasa sesak yang tiba-tiba menyeruak, dan tanpa bisa kucegah, bulir bening mengalir lembut membasahi pipiku.

Pikiranku menerawang, memutar kembali baris-baris ingatan yang tak sengaja tercipta antara aku dan Gizka. Mulai dari pertemuan pertama kami hingga sebuah hari yang kuanggap indah di hidupku. Kuingat setiap denting waktu yang kuhabiskan bersamanya, meski hanya dijembatani lewat tulisan. Sebuah senyum simpul yang selalu tercipta di wajahku, namun entah diwajahnya. Sebuah rindu yang selalu mengganggu hari-hariku, namun entah diharinya. Semakin aku memikirkan masa itu, semakin aku tersadar, aku hidup atas perasaanku sendiri. Aku hidup dengan sebuah cinta dan kebahagiaan yang aku ciptakan sendiri, bukan bersamanya.

Aku mulai bertanya pada hubungan ini, hubungan yang kurasa hanya ada dianganku, namun tak ada dalam anggapannya. Ikrar yang tercipta kala itu, hanyalah sebuah barisan kalimat yang mungkin tak terlalu berarti baginya, namun aku terlanjur menganggapnya istimewa. Logikaku tergantikan dengan rasa yang selama ini kutujukan hanya padanya. Tanpa kusadari, logikaku berbisik keras bahwa aku harus berhenti berharap dari rasa semu, dari ikatan yang sebenarnya tak pernah benar-benar terikat.

"Menyayangi seseorang itu haruslah ikhlas", kuingat kembali kata-katanya beberapa waktu yang lalu. Yah, itulah yang seharusnya aku lakukan sejak dulu. Kini aku mengikhlaskannya pergi, mengejar seseorang yang ia cintai. Entah siapapun orang itu, kuharap Gizka benar-benar bisa bahagia bersamanya.

Mengikhlaskan jauh terasa lebih mudah daripada terus berharap hal yang takkan pernah bisa kudapatkan. Mengikhlaskan membuatku merasa lebih lega, dan mengerti, bahagia tak harus selalu mendapatkan apa yang kita inginkan.

Dalam sekelebat kenangan yang hilir mudik memenuhi otakku, tiba-tiba bayangan manusia kribo itu muncul. Semakin jelas dan membesar, menggantikan sekumpulan memori yang sejak tadi telah menempati jutaan sel otakku. Ia tersenyum, aku terperanjat. Seketika semua hilang. Hanya ada aku diantara atmosfer kamar yang kosong.


****


Hari ini aku sekelas sama manusia kribo itu lagi. Kuterawang seisi kelas, namun aku belum menemukan batang hidungnya. Sepertinya pria itu telat, atau mungkin engga masuk. Aku kembali mencatat, lebih tepatnya mencoret-coret buku catatanku. Aku sedang tak berminat dengan pelajaran hari ini. Entah kenapa, aku terus mencari-cari keberadaannya. Dan tepat disaat aku melirik ke arah pintu keluar, manusia kribo itu muncul. Namun tidak kali ini. Dia engga kribo lagi, seperti biasanya.

"Weits, ada yang rapian tuh", lagi-lagi temanku menyeletuk. Namun aku yakin Naifal tak mendengar celetukan itu.

Aku terus saja mencoret-coret buku catatanku. Entah apa yang sedang kutulis. Tangan dan otakku tak bekerja sejalan. Sesekali, kucuri pandang ke arah manusia yang tak lagi kribo itu, yang duduk di kursi belakang sebelah kananku. Aku menggeleng kepala ketika kudapati ia tengah asyik dengan kameranya, padahal dosen lagi berkoar di depan kelas.

"Kelakuan..", kataku dalam hati.


****


Sudah sebulan sejak jabat tangan di dunia nyata itu, aku semakin akrab dengan Naifal. Dia mengajariku cara melukis dengan cahaya, yang orang-orang lebih sering menyebutnya dengan memotret. Dibalik gayanya yang acuh dan cuek, dia cukup manis dan perhatian. Dia sesosok pria yang humoris, menyenangkan dan mampu membuat suasana jadi hangat dan berwarna. Tanpa kukomandoi, bayangnya mulai sering mengganggu pikiranku. Sepertinya, aku mulai menyukainya.

Bagiku, sebulan bukanlah waktu yang lama untuk mengenal seseorang. Bukan pula waktu yang singkat untuk merasakan segelintir rasa yang aneh di hatiku. Sebelum pertemuan yang benar-benar nyata itu, aku telah lama menyadari keberadaannya. Dia yang kukenal di dunia maya, adalah seorang Naifal yang konyol. Dan dia di dunia nyata, tak jauh berbeda dengan kesan pertamaku, konyol.

Kutemukan rasa nyaman saat didekatnya. Aku merasa seakan semua beban hidupku luruh ketika sudut mataku mendapati sosoknya. Ada sebuah senyum yang melengkung sempurna di hatiku, dan kutahu, ini tak hanya sekedar rasa suka.

Kurapalkan doa di akhir sujudku, bertanya pada Sang Maha, tentang dia yang akan menjadi bagian dari hidupku. Tentang dia yang akan menemaniku menciptakan jejak diantara jejak langkahku. Tentang dia yang akan membantuku mewujudkan mimpiku diantara mimpi-mimpinya. Tentang dia yang akan menciptakan sesungging senyum di bibirku, dan bahu tempatku bersandar dari keluh kesahku. Diakhir doa, kupejamkan mataku dan terdiam beberapa saat.

Kudengar suara pintu di ketuk. Segera kuraih kunci dan membuka pintu. Aku tersenyum, mendapati sesosok pria yang tengah berdiri dibalik pintu itu. Naifal, sang pria itu, ikut tersenyum. Sekilas kulihat taburan bintang berkelip sayup. Aku tahu, Tuhan telah menjawab doaku.


****

Kehadiranmu membuat warna di hidupku tak hanya mejikuhibiniu