Tuesday, May 7, 2013

Faya, Bukan Siti Nurbaya


"Niko itu baik, lho," kata mama yang sedang mengaduk secangkir kopi di ruang makan.

"Aku masih mau sekolah, ma. Aku pengen kuliah, bukan nikah!" Ku atur suaraku agar tak terdengar meninggi di telinga mama.

"Ujung-ujungnya kamu juga bakal jadi pelayan suami kamu. Dapur-kasur thok. Jadi buat apa sekolah tinggi-tinggi? Ngabisin biaya aja!"

Suara mama terdengar sangat marah atas pembangkanganku. Tak kutatap wajahnya yang kuterka pasti sudah merah padam itu. Kubiarkan tubuhku tenggelam di dalam sofa dan menutup mataku agar bulir air hangat ini tak menetes lebih deras. Aku terisak, tak bersuara. Kudengar langkah kaki mama semakin jelas, mendekat kearahku. Beberapa detik kemudian sebuah sapuan halus mendarat lembut di pundakku.

"Kamu ngerti kondisi keuangan kita kan, nduk? Kalo kamu nikah sama Niko, kita bakal bisa menebus rumah ini.." Mama mengelus pundakku yang terus berguncang.

"Dia itu 15 tahun lebih tua dari aku, Ma. Dia lebih cocok aku panggil Om daripada kekasih.."

"Mama sama Bapak kamu juga terpaut umur 15 tahun."

"Apa mama pernah bahagia nikah sama Bapak?!" Kini aku memberanikan diri untuk menatap wajah orang yang telah melahirkanku 18 tahun yang lalu, tepat di kedua matanya. Mataku yang telah basah dan sembab masih bisa melihat paras yang ada di depanku ini, wajah sendu yang berusaha ditutupi dengan ekspresi ceria. Sudah kutebak, ia akan diam seribu bahasa bila kulontarkan pertanyaan seperti itu.

Bapak. Ayah yang paling tak bertanggung jawab terhadap keluarganya. Pergi meninggalkan kami begitu saja dengan beban hutang yang menggunung, yang menyebabkan kondisi keuangan kami berada di ujung tombak. Rumah beserta isinya telah disita oleh bank. Kami harus menebus bermilyar-milyar rupiah untuk menebus tempat tinggal yang menjadi warisan mama turun-temurun dari kakek buyutnya ini.

Elisabeth. Huh! Bule jalang itu yang telah menyebabkan kehancuran keluargaku. Aku membencinya, sejak pertama kali bapak mengajaknya berkunjung kerumah ini dan memperkenalkannya padaku dan mama sebagai sekretaris baru di kantor bapak. Saat itu aku masih berusia 7 tahun, dan aku sudah membenci sorot matanya yang tajam dan mengerikan. Bapak bilang kinerjanya bagus, tapi aku bilang dia hanya wanita murahan yang selalu memamerkan auratnya secara gratis. Bapak menamparku karena itu, tetapi aku puas karena tamparan bapak tak sesakit lecutan perkataanku yang langsung menusuk hatinya. Sejak kejadian itu, ia tak pernah lagi berkunjung kerumah. Baguslah, setidaknya lantai rumahku tak terkotori oleh sampah berjalan sepertinya.

Terakhir kali aku bertemu Elisabeth saat aku menginjak usia 14 tahun. Itu adalah hari ulang tahunku, dimana aku dan mama sedang berkeliling di mall, tak sengaja memergoki bapak tengah bercumbu mesra dengan Elisabeth disalah satu tempat makan yang cukup elit di sudut Jakarta. Spontan aku langsung mendekati meja mereka, mengambil sebuah gelas dan langsung menghantamkannya tepat di kepala bule jalang itu. Aku tersenyum puas melihat tubuh hampir telanjangnya tersungkur di lantai. Aku segera pergi dan menarik tangan mama dari tempat nista itu.

Aku selalu meminta mama untuk bercerai dengan Bapak, namun mama menolaknya. Ia bilang, ia tak ingin aku kehilangan kasih sayang dari seorang ayah. Ayah yang mana yang ia maksud? Iblis itu bahkan tak pantas disebut sebagai seorang ayah.

Aku tak punya ayah. Aku tetap bisa hidup walau tak ada kehadiran sosok seorang ayah. Itu yang selalu aku tekankan pada diriku. Aku tak sudi mempunyai ayah seperti dia. Ayah yang tak pernah mengajakku bermain layang-layang atau sekedar berlibur di taman. Ayah yang hanya memberi contoh buruk pada kehidupanku. Aku benci Bapak! Pekik hatiku keras-keras. Yah, biarlah aku menjadi anak yang durhaka. Setidaknya Tuhan mengerti alasan dibalik pemberontakanku ini.

****

"Kamu pasti bisa mencintainya. Jalanin aja dulu.." Mama tetap berusaha membujukku, namun aku tetap berusaha menolak.

Aku tak ingin membohongi perasaanku. Ada sebuah nama yang telah lama aku ukir di relung hatiku. Nama dari seorang pria yang tak sengaja kutemui di sebuah toko buku. Seorang pria yang dengan mudah mencuri perhatianku, dan membuat hari-hariku selalu dirasuki bayangannya. Seorang pria berkaca mata, kurus dan tinggi semampai. Seorang pria yang mempunyai senyum yang manis dan keramahan yang selalu terpancar diwajahnya. Seorang pria yang tak pernah meninggalkan sholat dan suka memberi. Seorang pria yang sempurna dimataku, dan menjadi pilihan hatiku. Faeyza Arsyad.

"AKU.. BELUM.. MAU.. NIKAH, MA !!" kueja kata demi kata dari kalimatku dengan tegas.

Ku ambil jaketku yang tergantung di pinggir sofa dan segera menuju pintu depan. Tepat sebelum tanganku berhasil memegang pegangan pintu, pintu itu dibuka dari luar. Tampak wajah Niko menyembul, membawakan seikat bunga mawar.

"Eh, Faya. Mau kemana?," Niko menyapaku dengan suara manisnya yang menurutku terlalu dibuat-buat. Kubalas sapaannya dengan pandangan sinis.

"Ke laut, mancing hiu. Ikut lo?!" Jawabku ketus.

"Kemana aja asal bareng Faya pasti aku ikut kok"

"Yaudah, ntar lo gue jadiin umpannya." Aku langsung beranjak pergi, meninggalkan Niko dengan air mukanya yang berubah pasi.

Kunyalakan mobil dan segera menghilang dari sapuan pandangan. Perasaanku tak karuan. Aku tak tau harus melakukan apa untuk menghindari bujukan mama, menikah dengan Niko, si pria hidung belang beristri dua itu. Aku benar-benar masih ingin merasakan umur beliaku. Berpetualang, mewujudkan impianku, menciptakan jejak baru, mengukir kisahku, merasakan cinta dari orang yang aku cintai. Aku tak ingin kebebasanku direnggut oleh Niko. Ini bukan jaman Siti Nurbaya lagi. Aku tak mau perjodohan ini terjadi. Aku ingin memilih sendiri orang yang akan kujadikan imamku di sisa hidupku, dan orang itu pastilah bukan Niko. Tak akan pernah!

Soal rumah, biarkan saja ia disita bank. Biarkan saja warisan leluhur itu lenyap. Toh setelah mama, takkan ada lagi yang ingin mengurusi rumah berarsitek belanda itu. Rumah itu sudah tua, sudah pantas dirubuhkan. Seperti eyang buyutku yang sudah lama menyatu dengan tanah. Dimakan cacing. Hancur, bahkan hingga tulang belulangnya.

Aku kembali menangis. bodoh sekali. Tiba-tiba bayangan Eza muncul di tengah lamunanku. Dia tersenyum dan memanggil namaku dengan lembut. Wajahnya yang bersinar tampak seperti malaikat penyelamat bagiku. Lalu muncul wajah mama. Kali ini ia tak menangis. Mama bilang, aku boleh kuliah. Aku boleh lebih dekat dengan Eza. Aku tak harus menikahi Niko. Rumah telah ditebus Niko tanpa meminta imbalan apapun dari keluargaku. Senyumku mengembang. Tangisku hilang. Rasanya lega sekali. Mungkin Tuhan sedang berpihak padaku.

Lalu muncul bayangan yang lain. Seorang gadis yang tengah terbujur kaku di sebuah ruangan yang didominasi warna putih dan hijau. Aku tak mengenal gadis ini. Lalu ada suara tangis. Suasana mulai ricuh. Aku ingin membuang bayangan ini, namun semakin kucoba, bayangan itu semakin jelas dan terlihat nyata. Terdengar suara mama, suara papa, dan.. Itu aku! Apa yang terjadi? Gadis yang terbujur di kasur itu aku. Tidak mungkin. Aku sedang menyetir mobil, saat ini.

Oh, tidak! Kupandangi diriku sendiri yang kini mulai lenyap. Aku tak lagi berada di dalam mobil. Kualihkan pandangan ke sekitar. Tampak kerumunan orang dan beberapa polisi sedang menyidak di pinggir jalan. Kulihat mobilku hancur, menabrak trotoar. Kini aku mengerti apa yang terjadi. Aku tersenyum. Tubuhku meringan. Cahaya putih muncul dan semakin berkelebat hebat. Semua berubah putih. Aku hilang. Aku padam.