Thursday, September 5, 2013

Kepingan Kenangan Yang (Berusaha) Dilupakan

Waktu adalah sesuatu yang tak bisa diulang kembali. Meski kau melewati hari yang sama, tanggal yang sama, bulan yang sama, kau takkan pernah berhadapan dengan tahun yang sama. Waktu adalah pusara yang terus berjalan maju. Waktu tak bisa di perlambat ataupun di percepat. Namun waktu bisa membawamu bermain-main ke masa lalu. Memutar ingatan yang pernah tercipta melalui sebuah tulisan maupun senyuman di dalam figura.

September, setahun yang lalu. Kejadian yang random membuat aku bertemu dengannya. Sederhana. Hanya sapaan hai yang mencuat dari layar blackberry-ku. Sebuah kata yang mampu merajut pertemanan, meski dalam dunia maya.

Awalnya, semua berjalan tanpa apa-apa. Obrolan yang tercipta hanya basa-basi yang seringnya malah terlalu basi. Dari obrolan basi itu, aku mulai mengenalnya. Dia yang kukenal dengan nama Gizka (tentu saja bukan nama asli), adalah seseorang yang berpikiran kritis. Aku menyukai cara berpikirnya. Hampir setiap malam, aku berdebat argumen dengannya. Kami membahas segala. Mulai dari politik yang sebenarnya sama sekali tak kumengerti, namun kuracau seolah-olah aku paham tentang itu; Indonesia dan segala keadaannya yang menyedihkan; para penikmat hidup yang bernaung di bumi dengan hanya berbekal mimpi; hingga membahas tentang mimpi kami sendiri.

Aku ingin menjelajah Indonesia. Bukan hanya berada di wilayah itu, tapi benar-benar tinggal sementara waktu disitu.
Mimpi gila yang saat ini sedang dia wujudkan.

Aku ingin mengabadikan sisi-sisi indah dari alam bumi pertiwi. Biar semua orang tau, Indonesia itu punya sisi lain yang bisa dibanggakan hingga ke kelas dunia.
Mimpiku yang (belum) kuwujudkan ke dunia nyata.


Dia pernah membuatku begitu mencintai malam, hingga aku berteman baik dengan insomnia. Dia pernah membuatku begitu nekat, berjalan sendirian, mendekatkan jarak Jakarta-Jombang dalam waktu tempuh 14 jam. Menjelajahi wilayah asing bersama sebuah ransel yang kusandangkan di punggungku. Merasakan gerahnya siang dan dinginnya udara malam dari dalam gerbong kereta. Bertemu dengan wajah-wajah baru dan membuat warna berbeda dari cerita hidupku. Membuatku berusaha lebih hebat dari biasanya. Membuatku percaya bahwa tak ada usaha yang sia-sia, selama aku tak menyelipkan rasa putus asa di dalamnya.

Dia mengajarkanku cara mencintai dengan cara yang berbeda; bahwa mencintai tak harus bertatapan, tak harus bertemu.. dan tak harus memiliki.

Dia mengajarkanku untuk membedakan kata ingin dan butuh. Bukan berlari mengejar sesuatu yang terus pergi, namun berhenti, lebih peka untuk melihat sekitar. Lebih peka untuk menyadari sebuah perhatian yang berada di dekatku selama ini. Sebuah kesungguhan yang mampu melengkapi kata butuh.

Setahun setelah September itu, waktu terus bergerak maju. Kini, aku tak banyak mendengar kabarnya. Berita terakhir yang aku tau, dia kembali mencicipi dunia pendidikan, mendedikasikan hidupnya di bidang Hubungan Internasional. Kuharap beberapa tahun kedepan ia mampu menjadi duta negara, dan kembali membuat jejak baru di sebuah wilayah, yang mungkin lebih jauh dari impiannya dulu.

Aku memilih jalanku sendiri. Menikmati hidupku dengan orang-orang yang kusayangi. Menyibukkan diri dengan hobi yang kusuka. Mengisi setiap waktuku dengan hal-hal yang mungkin suatu hari dapat kuingat dan membuatku tersenyum karena itu.

Waktu emang ga bisa diputar lagi untuk membawa kita kembali mencicipi masa lalu. Waktu cuma bisa bikin kita mengenang, dan akhirnya menyadari bahwa kenangan itu selamanya hanya akan menjadi kenangan. Waktu juga yang akhirnya menyuruh kita menentukan pilihan, apakah kenangan itu harus pergi, dilupakan, atau tetap tinggal. Pada akhirnya, kita cuma bisa tersenyum dan menangis dalam satu waktu, ketika kita menemukan kembali kenangan yang pernah terlupakan.